[caption caption="Budaya literasi perlu ditumbuhkan sekaligus harus menjadi kebutuhan guru dalam menjawab tantangan peningkatan profesionalismenya. "][/caption]Dalam perjalanan menuju ke sebuah tempat, Saya berbincang dengan seorang teman yang profesinya sebagai guru. Setelah kami ngobrol ngalor-ngidul, dia mengeluhkan tentang rendahnya minat baca guru-guru di sekolahnya. Di sela-sela waktu kosong mengajar, para guru lebih senang ngobrol atau asyik berselancar di media sosial daripada membaca atau mengerjakan administrasi sekolah. Sementara buku-buku bacaan yang berjejer di lemari sekolah tampak berdebu, kesepian, karena tidak ada yang membaca.
Selanjutnya dia bertanya kepada Saya, bagaimana cara meningkatkan minat baca guru di sekolahnya tersebut? Saya menjawab, untuk meningkatkan minat baca, harus menjadikan membaca sebagai kebutuhan, atau menjadikan membaca sebagai sarana pengembangan diri. Tanpa hal tersebut, sulit bagi seseorang untuk mau membaca. Kalau orang butuh terhadap sesuatu, pasti dia akan mencarinya sampai mendapatkannya, tetapi kalau dia tidak membutuhkannya, walau pun ada di depan matanya, dia akan mengabaikannya.
Selain menulis, membaca adalah salah satu bentuk literasi dasar. Orang yang memiliki budaya literasi yang baik ditandai dengan gemar membaca dan menulis. Aktivitas membaca dan menulis adalah hal yang tidak bisa dipisahkan. Orang harus mau membaca jika ingin menulis. Membaca adalah memasukkan kata-kata ke dalam pikiran, sementara menulis adalah menuangkan pikiran dalam bentuk tulisan.
Di berbagai negara maju, menulis telah menjadi gaya hidup masyarakatnya. Aktivitas menulis biasanya berbanding lurus dengan aktivitas membaca. Dengan kata lain, budaya literasi masyarakatnya sudah tinggi. Menurut Haryanti (2014) literasi adalah keberaksaraan, yaitu kemampuan menulis dan membaca, sedangkan budaya literasi adalah kebiasaan berfikir yang diikuti oleh sebuah proses membaca dan menulis yang pada akhirnya apa yang dilakukan dalam sebuah proses kegiatan tersebut akan menciptakan karya. Membudayakan atau membiasakan membaca dan menulis itu perlu proses jika memang dalam suatu kelompok masyarakat kebiasaan tersebut belum ada atau belum terbentuk.
Hasil penelitian Programme for International Student Assessment (PISA) menyebut, budaya literasi masyarakat Indonesia pada 2012 terburuk kedua dari 65 negara yang diteliti di dunia. Indonesia menempati urutan ke 64 dari 65 negara tersebut. Sementara Vietnam justru menempati urutan ke-20 besar.
Pada penelitian yang sama, PISA juga menempatkan posisi membaca siswa Indonesia di urutan ke 57 dari 65 negara yang diteliti. PISA menyebutkan, tak ada satu siswa pun di Indonesia yang meraih nilai literasi ditingkat kelima, hanya 0,4 persen siswa yang memiliki kemampuan literasi tingkat empat. Selebihnya di bawah tingkat tiga, bahkan di bawah tingkat satu.
Data statistik UNESCO 2012 yang menyebutkan indeks minat baca di Indonesia baru mencapai 0,001. Artinya, setiap 1.000 penduduk, hanya satu orang saja yang memiliki minat baca. Angka UNDP juga mengejutkan bahwa angka melek huruf orang dewasa di Indonesia hanya 65,5 persen saja. Sedangkan Malaysia sudah 86,4 persen.
Guru adalah pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah. Seorang guru profesional tentunya harus selalu mengikuti perkembangan zaman, meng-update informasi, ilmu pengetahuan dak teknologi terbaru supaya bisa menyampaikan materi yang aktual dan kontekstual kepada peserta didik. Jangan sampai ilmu yang disampaikannya ou of date, usang, tidak sesuai dengan perkembangan zaman, dan tidak sesuai dengan kebutuhan peserta didik.
Guru sebagai salah satu sumber belajar jangan sampai gaptek alias gagap teknologi, terdahului oleh peserta didik dalam mengetahui sebuah informasi atau ilmu pengetahuan, apalagi peserta didik saat ini banyak kritis, dengan penguasaan Teknologi Informasi (TI) yang relatif sudah tinggi. Hampir semua peserta didik telah akrab dengan internet yang bisa diakses dari smart phone.
Dalam menumbuhkan budaya literasi, guru seharusnya harus mampu menjadi contoh dan pelopor gerakan sadar literasi, memiliki minat yang tinggi terhadap membaca dan menulis. Dan tentunya, memiliki karya tulis sebagai hasil buah pikirnya. Hal tersebut sebagai sebuah kebanggan, juga bisa menjadi inspirasi dan motivasi bagi rekan sejawat dan para siswanya untuk melakukan hal serupa. Dengan kata lain, membaca dan menulis adalah modal utama sekaligus kompetensi seorang guru.
Guru harus mau menyempatkan waktu, mau mengeluarkan biaya dan tenaga untuk menumbuhkan budaya membaca dan menulis, khususnya terhadap dirinya sendiri, karena aktivitas membaca tentunya membutuhkan bahan bacaan. Walau pun bahan bacaan bisa dibaca di perpustakaan atau internet, tetapi guru pun didorong untuk mau membeli buku referensi terbaru atau berlanggaan jurnal penelitian terbaru agar dapat meng-update pengetahuan mutakhir.
Hampir seluruh guru saat ini telah disertifikasi dan mendapatkan tunjangan profesi. Pemerintah mengharapkan agar guru memanfaatkan tunjangan profesinya untuk hal-hal yang bermanfaat, diantaranya untuk membeli buku atau sumber-sumber bacaan lain untuk menambah pengetahuannya. Setelah membeli buku, langkah berikutnya adalah harus mau membacanya, karena ada kalanya buku yang telah dibeli sekian tahun yang lalu hanya jadi pajangan di lemari atau bahkan segelnya pun belum dibuka.
Buku yang tidak dibaca tentunya akan kurang bermanfaat. Ibarat kita memiliki senjata tetapi tidak digunakan, dibiarkan begitu saja sehingga berkarat dan tidak dapat digunakan. Ada pribahasa “Buku adalah gudangnya ilmu, dan membaca adalah kuncinya.” Oleh karena itu, logikanya adalah bagaimana gudang tersebut bisa dibuka jika kuncinya tidak mau digunakan untuk membuka gudang tersebut?
Butuh kemauan, tekad, dan komitmen yang kuat agar kita mau membaca buku, karena banyak godaan dan tantangannya, utamanya adalah rasa malas. Rasa malas tersebut harus mau dikalahkan, jangan mau dijajah oleh rasa malas. Kemalasan adalah penghambat kemajuan.
Alasan lain yang sering dikemukakan adalah kesibukan. Jika memang banyak kesibukan, upayakan menyempatkan waktu 1-2 jam untuk membaca setelah pulang kerja atau pada waktu istirahat. Intinya adalah manajemen waktu. Pada masa penyesuaian, waktu tersebut mungkin akan terasa lama, karena digunakan untuk melakukan aktivitas yang kurang menyenangkan, tetapi jika dibiasakan, lambat laun akan terbiasa dan akan dapat menikmatinya. Orang yang telah “kecanduan” membaca, akan merasa ada sesuatu yang kurang manakala dia belum membaca pada hari itu. Kemana-kemana akan membaca bahan bacaan seperti masyarakat di Jepang atau Korea Selatan. Semoga seiring dengan tuntutan profesionalisme guru yang semakin tinggi, budaya literasi pun menjadi semakin berkembang di kalangan guru.
Penulis, Widyaiswara Lembaga Penjaminan Mutu Pendidikan (LPMP) Jawa Barat.
Sumber Gambar:
https://haidarism.files.wordpress.com/2014/02/digitalwordcloud.png?w=480&h=404
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H