Di tengah ramainya tuntutan mundur terhadap Ketua DPR Setya Novanto yang disangka terlibat dalam kasus pencatutan nama Presiden Joko Widodo berkaitan dengan perpanjangan kontrak PT Freeport yang kemudian banyak disebut dengan kasus “Papa Minta Saham”, muncul nama Sigit Priadi yang mengundurkan dari jabatannya sebagai Dirjen Pajak.
Alasan mundurnya Sigit Priadi sebagai Dirjen Pajak karena merasa gagal dalam mencapai target pajak tahun 2015. Tahun ini pemerintah menargetkan pendapatan dari sektor pajak sebesar Rp 1.294 triliun. Namun, dari target sebesar itu baru tercapai sekitar Rp 865 triliun, atau kurang 430 triliun dari target.
Pengunduran diri Sigit Priadi cukup mengejutkan karena selama ini pejabat di Indonesia sulit untuk mundur meskipun dinilai gagal dengan menyampaikan berbagai dalih supaya terus bertahan. Berbagai usulan bahkan tekanan untuk mundur diabaikan, hanya dianggap angin lalu, hanya dianggap kelompok barisan sakit hati karena tidak kebagian kue kekuasaan. Begitu alotnya menuntut seorang pejabat untuk mundur, aksi-aksi unjuk rasa kadang berakhir dengan bentrok baik antara pihak yang pro dan kontra, maupun antara pihak pengunjuk rasa dengan aparat keamanan.
Persidangan Majelis Kehormatan Dewan (MKD) DPR yang menyidangkan dugaan pelanggaran etika yang dilakukan oleh Ketua DPR menjadi tontonan yang membosankan, menjemukan, sekaligus memuakkan bagi rakyat. Prosesnya begitu bertele-tele, alot, bahkan ada kecurigaan beberapa anggota MKD yang berasal dari partai Golkar akan menjadi bemper Setya Novanto untuk tetap bercokol pada kursi ketua DPR.
Walau sudah ada bukti rekaman pembicaraan antara Setya Novanto dengan Direktur PT Freeport, tetapi keabsahannya dipersoalkan karena rekaman tersebut diambil tanpa izin Setnov, dan kedudukan Menteri BUMN Sudirman Said sebagai pelapor pun dipersoalkan. Perdebatan-perdebatan pada sidang MKD bukan membahas hal-hal yang substansial, tetapi hal-hal yang bersifat prosedural serta mengaburkan substansi permasalahan yang sebenarnya.
Mundur dari jabatan belum menjadi budaya di Indonesia. Yang terjadi justru sebaliknya, berbagai cara dilakukan untuk bertahan dari jabatan, walau harus menghianati nilai-nilai kejujuran atau mengorbankan rekan kerja sendiri. Mengapa sulit untuk mundur? Karena di negeri ini jabatan dipertuhankan bahkan diperjual belikan. Jabatan dijadikan alat atau sarana untuk mengeruk kekayaan, keuntungan, dan aji mumpung. Oleh karena itu, ketika seseorang berkuasa, banyak yang menyalahgunakan wewenangnya. Akibatnya, banyak yang terlibat kasus korupsi.
Biaya politik yang tinggi pada saat pemilu atau Pilkada menyebabkan seseorang anggota DPR atau DPRD harus mengembalikan modal dengan berbagai cara. Oleh karena itu, beberapa waktu yang lalu, Gubernur dan beberapa mantan anggota DPRD Sumut ditahan KPK terjerat kasus suap. Terus, dua hari yang lalu, dua anggota DPRD Banten juga tertangkap tangan KPK menerima suap. Kasus-kasus tersebut semakin menambah deretan kasus korupsi yang melibat Kepala Daerah dan anggota DPRD.
Di negara-negara Asia seperti Jepang atau Korea Selatan, mundur menjadi hal yang biasa dilakukan ketika dianggap gagal atau terlibat dalam sebuah skandal. Bagi mereka mundur adalah bagian dari rasa malu sekaligus tanggung jawab. Bagi mereka, mundur lebih terhormat daripada tetap memegang jabatan tetapi merasa terhina. Bahkan, dalam film-film samurai atau ninja, ketika seorang samurai atau ninja gagal menjalankan tugas, mereka melakukan bunuh diri (harakiri) untuk menebus kesalahannya.
Ketika di Jepang dan Korea Selatan mundur dianggap sebagai cara untuk menjaga kehormatannya, justru di Indonesia terbalik, seorang pejabat mundur dianggap sebagai aib¸ memalukan, dan dianggap tidak bertanggung jawab karena mundur di saat konsidi sulit. Inilah perbedaan logika berpikir (mind set) antara orang Jepang atau Korea Selatan dengan orang Indonesia.
Mundurnya Sigit Priadi dari jabatannya sebagai Dirjen Pajak semoga menjadi contoh bahwa mundur itu adalah bentuk sikap ksatria, rasa malu, tanggung jawab, dan cara untuk menjaga harkat dan martabat diri.