Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Sekolah, Pesantren, dan Rokok

2 Desember 2015   08:32 Diperbarui: 2 Desember 2015   08:45 775
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Kebiasaan merokok baik di kalangan siswa maupun santri muncul lebih banyak akibat dari efek mencontoh kebiasaan guru dan teman-temannya. Para siswa ketika istirahat, sambil nongkrong di warung, hampir dilakukan sambil merokok, begitupun para santri ketika mengaji atau ngobrol-ngobrol di pondoknya disertai merokok.

Walau demikian, mungkin saja sebelum seorang siswa bersekolah atau santri mengaji di pondok, mereka dari rumahnya sudah memiliki kebiasaan merokok, karena faktanya lingkungan rumah pun banyak orang tua atau anggota keluarga yang lainnya yang memberikan contoh merokok.

Pada sekolah dan pesantren-pesantren tertentu khususnya pada sekolah berasrama (boarding school) atau pesantren terpadu, mungkin saja sudah diterapkan larangan merokok bagi siswa atau santrinya, aktivitas siswa dan santri terus dikontrol oleh pengelola sekolah atau pondok. Tetapi di lingkungan sekolah umum atau pesantren-pesantren salafiyah di kampung-kampung, kebiasaan merokok masih menjadi kebiasaan yang sulit untuk dihilangkan. Bahkan justru bukan dihilangkan, tetapi “diwariskan” dari generasi ke generasi.

Persoalan rokok memang menjadi hal yang dilematis, di satu sisi rokok berbahaya bagi kesehatan, sementara di sisi lain, rokok menjadi salah satu sumber devisa negara. Banyak pihak yang mengantungkan hidup dari rokok seperti petani tembakau dan buruh linting rokok di sentra-sentra industri rokok di Jawa Timur.

Usulan adanya pembatasan atau larangan penjualan rokok mendapatkan tentangan dari para petani dan buruh pabrik rokok, karena dari situlah mereka hidup. Bertani tembakau atau menjadi buruh pabrik rokok menjadi hal yang turun temurun bagi mereka. Sementara para pengusaha rokok mendapatkan keuntungan yang sangat besar dari rokok, bahkan pemilik perusahaan rokok menjadi salah satu orang terkaya di Indonesia bahkan dunia.

Berkaitan dengan plus minus damak rokok, Tahun 2014, Kementerian Kesehatan melansir data bahwa pendapatan negara dari cukai rokok, ternyata tidak sebanding dengan nilai kerugian yang ditimbulkan karena merokok. Pada 2012, pendapatan negara dari cukai rokok hanya sebesar Rp 55 triliun. Namun, kerugiannya mencapai Rp 254,41 triliun. Kerugian tersebut, rinciannya adalah uang yang dikeluarkan untuk pembelian rokok Rp 138 triliun, biaya perawatan medis rawat inap dan jalan Rp 2,11 triliun, kehilangan produktivitas akibat kematian prematur dan morbiditas maupun disabilitas Rp 105,3 triliun. (Republika, 19/09/2013).

Mengapa jumlah perokok di Indonesia semakin meningkat? Menurut Saya disebabkan oleh beberapa hal. Pertama, karena harga rokok yang murah. Sebungkus rokok harganya antara Rp 10 sampai Rp 20 ribu, sementara di Malaysia harga rokok perbungkusnya mencapai Rp 30 ribu. Sedangkan di Singapura, harga rokok perbungkusnya mencapai Rp 80-90 ribu.

Kedua, tidak tegasnya penegakkan aturan tentang merokok. Meskipun ada tulisan bahwa rokok hanya untuk yang berusia 18 tahun ke atas, tetapi faktanya ketika ada anak di bawah umur yang membeli rokok, tetap saja dilayani. Bahkan orang tua suka menyuruh anaknya membeli rokok. Gambar-gambar seram dan tulisan “Merokok Membunuhmu” yang tertera pada setiap bungkus rokok belum secara efektif menekan jumlah perokok.

Ketiga, merokok telah menjadi budaya di masyarakat. Budaya tersebut sudah diwariskan selama puluhan tahun, bahkan pada zaman perjuangan, para pejuang pun merokok. Setiap aktivitas atau kegiatan masyarakat tidak lepas dari rokok. Perusahaan rokok menjadi sponsor acara-acara musik dan olah raga. Di kalangan masyarakat ada ungkapan “uwis mangan ora udud eneg” yang artinya kalau setelah makan tidak merokok, akan terasa enek atau tidak nyaman. Demikian juga pada saat buka puasa, setelah membatalkan puasa, yang pertama kali dicari oleh pecandu rokok adalah rokok, lalu sebelum datang waktu imsyak, para perokok menghisap beberapa batang rokok.

Menghilangkan kebiasaan merokok di lingkungan sekolah dan pesantren bukan hal yang mudah, walau juga bukan hal yang sulit untuk dilakukan. Menurut Saya, beberapa upaya yang dapat dilakukan setidaknya untuk menekan kebiasaan merokok di sekolah dan pesantren antara lain; pertama, para guru dan ustadz memberikan contoh tidak merokok di lingkungan sekolah atau pesantren.

Kedua, adanya larangan merokok ketika mengaji bagi para santri karena akan mengganggu kesehatan dan menyebabkan situasi tidak kondusif. Ketiga, adanya ketegasan dari pedagangan untuk tidak melayani jika ada anak sekolah atau santri yang masih di bawah umur yang membeli rokok. Keempat adanya kampanye bahaya rokok yang dilakukan secara terus menerus oleh pemerintah dan pihak lain yang peduli terhadap bahaya rokok.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun