Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Penulis 1070 lebih artikel dan 55 buku, trainer menulis, dan mengisi berbagai seminar/ workshop menulis, pendidikan, dan peningkatan mutu guru, baik di daerah maupun nasional.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Quo Vadis Manajemen Berbasis Sekolah

24 Agustus 2015   12:32 Diperbarui: 24 Agustus 2015   12:52 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

 

[caption caption="MBS Bertujuan untuk meningkatkan pengelolaan layanan pendidikan di sekolah."][/caption]

Suatu hari, Saya bertanya kepada seorang tokoh di kampung tempat Saya dilahirkan siapa yang membangun Madrasah Ibtidaiyah (MI) di kampung ini? Kebetulan Saya sendiri belajar di madrasah ini. Tokoh tersebut menjawab bahwa yang membangun madrasah tersebut adalah warga masyarakat. Madrasah tersebut dibangun sekitar tahun 1950-an. Pembangunannya dilaksanakan secara swadaya. Tanah dan bahan bangunannya berasal dari sumbangan warga masyarakat, dan dibangun secara bergotong royong oleh seluruh warga masyarakat. Madrasah ini pun sampai saat ini masih berdiri dan dikelola oleh sebuah yayasan.

Zaman dulu, bukan hanya sekolah atau madrasah saja yang dibangun secara bergotong royong, mesjid, jalan, dan MCK, dan fasilitas umum lainnya dibangun secara swadaya atau bergotong royong. Tingkat kepedulian, tanggung jawab, dan rasa tanggung jawab masyarakat sangat tinggi. Gotong royong menjadi karakter masyarakat, dan suasana kekeluargaan pun sangat erat diantara warga sekampung.

Seiring dengan berjalannya waktu dan perubahan dalam masyarakat, kepedulian dan rasa tanggung jawab masyarakat masalah yang berkaitan dengan kepentingan publik semakin menurun termasuk dalam hal tanggung jawab mengelola pendidikan. Seolah-olah urusan pendidikan adalah tanggung jawab pemerintah, sementara masyarakat seakan tidak perlu lagi peduli.

Dengan adanya sekolah gratis, sekolah menjadi sangat ketergantungan kepada pemerintah utamanya dalam hal pendanaan. Seolah-olah orang tua atau masyarakat terbebas dari tanggung jawab terhadap pendanaan pendidikan. Padahal pendidikan menjadi tanggung bersama pemerintah, orang tua siswa, dan masyarakat. Kesalahan persepsi ini berdampak ketika ada sekolah, terutama sekolah negeri memungut biaya, pasti akan diprotes orang tua dan ramai diberitakan oleh media.

Berkaitan dengan rendahnya partisipasi masyarakat dalam pendidikan, maka pemerintah meluncurkan Manajemen Berbasis Sekolah (MBS). MBS merupakan sebuah model pengelolaan sekolah dimana pemerintah memberikan otonomi atau wewenang kepada sekolah untuk mengelola sekolah sesuai dengan karakteristik, kebutuhan, dan potensi sekolah masing-masing. Selain itu, sekolah dapat memanfaatkan berbagai sumber daya untuk meningkatkan kualitas sekolah.

Melalui MBS, pemerintah juga mendorong peran serta warga sekolah (Kepala Sekolah, guru, staf dan siswa) dan masyarakat (orang tua siswa, masyarakat, dunia usaha dan industri (DUDI), ilmuwan, dan sebagainya) untuk berpartisipasi meningkatkan mutu sekolah.

Sebagai tindaklanjutnya, maka Kemdiknas menerbitkan Surat Keputusan Nomor 044/U/2002 tentang Dewan Pendidikan dan Komite Sekolah. Dewan pendidikan dan Komite Sekolah merupakan lembaga mandiri yang dibentuk dan berperan dalam peningkatan mutu pendidikan berupa pertimbangan, arahan atau dukungan tenaga, sarana dan prasarana, serta pengawasan pendidikan di daerah dan di sekolah.

Komite Sekolah memiliki empat peran, (1) pemberi pertimbangan (advisory agency) dalam penentuan dan pelaksanaan kebijakan pendidikan di satuan pendidikan, (2) pendukung (supporting agency), baik yang berwujud finansial, pemikiran, maupun tenaga dalam penyelenggaraan pendidikan di satuan pendidikan, (3) pengontrol (controlling agency) dalam rangka transparansi dan akuntabilitas penyelenggaraan dan keluaran pendidikan di satuan pendidikan,  dan (4) mediator antara pemerintah (eksekutif) dan masyarakat di satuan pendidikan.

Pada kenyataanya, Komite Sekolah pun banyak yang belum melakukan perannya dengan optimal. Indikasinya dimulai dari pemilihan pengurus Komite Sekolah tidak secara demokratis. Pengurus, utamanya Ketua Komite Sekolah banyak yang ditunjuk langsung oleh Kepala Sekolah, tidak melalui musyawarah mufakat. Banyak juga pengurus Komite Sekolah yang tidak tahu tugas pokok dan fungsinya.

Selanjutnya, ada kesalahpahaman dalam menjalankan peran Komite Sekolah. Pengurus Komite Sekolah lebih banyak menjalankan peran kontrol, sementara peran-peran lainnya terabaikan. Komite Sekolah lebih banyak menyoroti masalah keuangan sekolah, sehingga menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan antara Kepala Sekolah dengan pengurus Komite Sekolah.

MBS yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan mutu sekolah, dalam kenyataannya belum berhasil. MBS juga ironi dengan program sekolah gratis yang diluncurkan pemerintah. Apalagi sekolah gratis merupakan janji kampanye  yang harus direalisasikan. Melalui dana BOS, sekolah “disuapi” oleh pemerintah dan dilarang memungut kepada orang tua siswa. Dengan adanya  dana BOS, seolah-olah orang tua siswa terbebas dari kewajiban membiayai pendidikan anaknya. Sementara melalui MBS, justru sekolah diharapkan mampu mengoptimalkan peran serta masyarakat, termasuk dalam hal pendanaan.

Kalau zaman dulu, ketika sekolah membangun sarana sekolah seperti ruang kelas, orang tua siswa ikut menyumbang uang, material, atau tenaga. Mereka rela tidak dibayar, karena toh hal tersebut untuk kepentingan anaknya yang bersekolah di situ dan untuk dimanfaatkan adik-adik kelasnya nanti, tetapi saat ini sulit mencari orang tua yang seperti itu. Ketika ada orang tua siswa bekerja di sekolah, mereka tetap harus diberikan upah kerja. Hal ini sebenarnya tidak salah juga jika sekolah mampu memberikan upah.

Orang-orang tua siswa yang lainnya, kalau pun tahu di sekolah ada pembangunan sarana, mereka tidak mau tahu dan cenderung tidak mau berpartisipasi, karena beranggapan sekolah telah mendapatkan dana bantuan dari pemerintah. Ketika ada fasilitas sekolah yang rusak, banyak orang tua yang hanya mempertanyakan dan menyayangkan kerusakan fasilitas tersebut, tanpa ada niat atau pro aktif untuk membantu memperbaikinya. Kehadiran orang tua siswa pun biasanya pada rapat awal tahun dan pembagian raport anak. Itu pun kalau tidak mewakilkan kepada pembantu atau anggota keluarga yang lain.

Sebelum munculnya istilah MBS seperti saat ini, para orang tua, nenek buyut kita bergotong-gotong royong membangun sekolah, memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap sekolah. Itulah MBS yang sebenarnya. MBS yang lebih banyak aksi daripada teori. Substansi dari MBS adalah adanya partisipasi, kerjasama, dan kepedulian antara berbagai pihak terkait. Dan itu jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh para pendahulu kita.

Sekarang MBS menjadi quo vadis. MBS yang digembor-gemborkan pemerintah tersebut hanya bagus di atas kertas saja, sementara dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, perlu upaya dan penyadaran terhadap masyarakat secara serius dan terus menerus berkaitan dengan pentingnya partisipasi orang tua/ masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah. Selian itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada pengurus Komite Sekolah berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya, dan mendorong perlunya sinergi antara Sekolah dan Komite Sekolah dalam menyukseskan MBS.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun