Mohon tunggu...
IDRIS APANDI
IDRIS APANDI Mohon Tunggu... Penulis - Penikmat bacaan dan tulisan

Pemelajar sepanjang hayat.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Quo Vadis Manajemen Berbasis Sekolah

24 Agustus 2015   12:32 Diperbarui: 24 Agustus 2015   12:52 173
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Selanjutnya, ada kesalahpahaman dalam menjalankan peran Komite Sekolah. Pengurus Komite Sekolah lebih banyak menjalankan peran kontrol, sementara peran-peran lainnya terabaikan. Komite Sekolah lebih banyak menyoroti masalah keuangan sekolah, sehingga menimbulkan konflik atau ketidakharmonisan antara Kepala Sekolah dengan pengurus Komite Sekolah.

MBS yang awalnya diharapkan dapat meningkatkan mutu sekolah, dalam kenyataannya belum berhasil. MBS juga ironi dengan program sekolah gratis yang diluncurkan pemerintah. Apalagi sekolah gratis merupakan janji kampanye  yang harus direalisasikan. Melalui dana BOS, sekolah “disuapi” oleh pemerintah dan dilarang memungut kepada orang tua siswa. Dengan adanya  dana BOS, seolah-olah orang tua siswa terbebas dari kewajiban membiayai pendidikan anaknya. Sementara melalui MBS, justru sekolah diharapkan mampu mengoptimalkan peran serta masyarakat, termasuk dalam hal pendanaan.

Kalau zaman dulu, ketika sekolah membangun sarana sekolah seperti ruang kelas, orang tua siswa ikut menyumbang uang, material, atau tenaga. Mereka rela tidak dibayar, karena toh hal tersebut untuk kepentingan anaknya yang bersekolah di situ dan untuk dimanfaatkan adik-adik kelasnya nanti, tetapi saat ini sulit mencari orang tua yang seperti itu. Ketika ada orang tua siswa bekerja di sekolah, mereka tetap harus diberikan upah kerja. Hal ini sebenarnya tidak salah juga jika sekolah mampu memberikan upah.

Orang-orang tua siswa yang lainnya, kalau pun tahu di sekolah ada pembangunan sarana, mereka tidak mau tahu dan cenderung tidak mau berpartisipasi, karena beranggapan sekolah telah mendapatkan dana bantuan dari pemerintah. Ketika ada fasilitas sekolah yang rusak, banyak orang tua yang hanya mempertanyakan dan menyayangkan kerusakan fasilitas tersebut, tanpa ada niat atau pro aktif untuk membantu memperbaikinya. Kehadiran orang tua siswa pun biasanya pada rapat awal tahun dan pembagian raport anak. Itu pun kalau tidak mewakilkan kepada pembantu atau anggota keluarga yang lain.

Sebelum munculnya istilah MBS seperti saat ini, para orang tua, nenek buyut kita bergotong-gotong royong membangun sekolah, memiliki kepedulian dan tanggung jawab terhadap sekolah. Itulah MBS yang sebenarnya. MBS yang lebih banyak aksi daripada teori. Substansi dari MBS adalah adanya partisipasi, kerjasama, dan kepedulian antara berbagai pihak terkait. Dan itu jauh-jauh hari sudah dilakukan oleh para pendahulu kita.

Sekarang MBS menjadi quo vadis. MBS yang digembor-gemborkan pemerintah tersebut hanya bagus di atas kertas saja, sementara dalam pelaksanaannya masih jauh dari harapan. Oleh karena itu, perlu upaya dan penyadaran terhadap masyarakat secara serius dan terus menerus berkaitan dengan pentingnya partisipasi orang tua/ masyarakat dalam meningkatkan mutu sekolah. Selian itu, pemerintah juga perlu melakukan sosialisasi dan pelatihan kepada pengurus Komite Sekolah berkaitan dengan tugas pokok dan fungsinya, dan mendorong perlunya sinergi antara Sekolah dan Komite Sekolah dalam menyukseskan MBS.

 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun