Kenapa demikian?, karena bagi masyarakat yang biasa melewati jalur tersebut tidak akan merasa beban, karena memang merasa tidak ada jalan alternatif yang lebih efektif yang bisa mereka tempuh. Dan meskipun itu ada, tentunya hal itu akan dianggap kejauhan atau buang waktu. Dan pada akhirnya hal ini nampak akan dianggap sebagai cara halus pemerintah DKI melakukan pemalakan kepada masyarakatnya.Â
Kedua, penerapan electronic road pricing (ERP) berpotensi akan menyebabkan terjadinya kemacetan di jalur-jalur lain. Misalnya, jika ada masyarakat pengendara yang tidak memiliki biaya untuk melintas di jalur electronic road pricing (ERP), tentunya jalur lainlah (jalur non prabayar) yang akan menjadi alternatif mereka.Â
Sedikit kita bayangkan, jika seandainya masyarakat pengendara yang tidak punya uang lebih banyak dari pada masyarakat pengendara yang punya uang, maka penumpukan kendaraan lalu lintas akan terjadi lebih banyak (padat) pada jalur yang tidak berbayar. Pada akhirnya, rakyat miskin kembalilah yang akan kena dampak dari penerapan kebijakan electronic road pricing (ERP).Â
Ketiga, penerapan electronic road pricing (ERP) akan menjadi salah satu pendapatan daerah yang sangat menjanjikan. Pertanyaan penulis, lantas uangnya mau dikemanakan? Ke panti asuhan, ke rumah-rumah ibadah, atau ke kantong-kantong pemerintah DKI? Kalau ke kantong-kantong pemerintah DKI kaya enggaklah, kan DKI sendiri memiliki anggaran yang sangat besar dan pendapatan daerahnya juga besar. Ya, kalau pemerintah DKI-nya sedikit tidak mau rakus tentunya mereka akan merasa lebih cukup dengan itu.
Keempat, penerapan electronic road pricing (ERP) bisa menjadi contoh buruk bagi kota-kota macet di Indonesia. Karena sudah pasti mereka akan meniru kebijakan-kebijakan yang berbau uang. Terlebih DKI pun sebagai Ibu Kota Negara Indonesia yang notabene-nya sebagai kota percontohan.
Kelima atau yang terakhir, jika penerapan electronic road pricing (ERP) berhasil, kira-kira sistem pembayarannya mau seperti apa, apa mungkin menggunakan kartu seperti yang digunakan keluar masuk gerbang tol? Ah, kalau seperti itu, sama saja akan menumpuk-numpuk kendaran pada saat antrian keluar masuk. Akhirnya, alih-alih mengurangi kemacetan tapi malah menumpuk kemacetan.
Sahabat readers, itulah sejumlah tanggapan rasional penulis tentang polemik rencana electronic road pricing (ERP). Berkenaan dengan tanggapan tersebut penulis tegaskan bahwa penulis tidak sepakat dengan rencana adanya penerapan electronic road pricing (ERP). Meski penulis juga sadari bahwa memang masalah kemacetan Jakarta butuh solusi. Tapi tak sepantasnya solusi yang pemerintah DKI berikan malah menjadi beban masyarakat Jakarta.
Namun, dari sikap kontra yang penulis sampaikan soal rencana kebijakan penerapan electronic road pricing (ERP). Tak lupa, penulis juga sedikit menyisipkan opini sederhana  soal solusi mengurangi kemacetan Jakarta.
Opini penulis, mungkin langkah yang paling ideal untuk mengurangi kemacetan adalah pemerintah DKI memberlakukannya aturan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan dialihkan ke trasportasi umum. Selain itu, mungkin bisa memperbanyak atau menambah jalur-jalur lintasan baru di area Jakarta.
Sahabat readers, itulah seputar diskusi penulis soal rencana electronic road pricing (ERP) kali ini. Semoga pemerintah DKI tak berpikir panjang lagi untuk membatalkan niatnya. Amin
Sumber: kontan.co.id, cnnindonesia