Mohon tunggu...
Idris
Idris Mohon Tunggu... Guru - Hidup disayang mati dikenang

Sang Penembus Kabut

Selanjutnya

Tutup

Kebijakan Pilihan

Rencana Pemberlakuan ERP, Bukan Solusi Kemacetan!

15 Januari 2023   12:55 Diperbarui: 15 Januari 2023   13:17 386
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
motorplus-online.com

Sahabat readers, kali ini kita akan diskusi soal polemik hangat yang sedang mencuat di kalangan masyarakat dari hulu hingga hilir. Penasaran, bukan? Yuk, gaskeun!

Sahabat readers, dewasa ini kita sedang dihebohkan dengan isu rencana pemberlakuan electronic road pricing (ERP) di sejumlah ruas jalan DKI Jakarta. Soraknya, ERP tersebut akan direalisasikan pada tahun 2023 meski ketepatan waktunya belum jelas kapan akan disampaikan. 

Penerapan electronic road pricing (ERP) dianggap sebagai salah satu cara jitu pemerintah DKI untuk melakukan pengalihan kendaraan agar berkurangnya kemacetan di ruas-ruas jalan DKI Jakarta.

Pada dasarnya, diketahui bahwa skema electronic road pricing (ERP) adalah sama tujuannya sebagai skema ganjil maupun 3 In 1 untuk mengurai kemacetan. Hanya saja ada perbedaan yang mencolok pengumpulan uang banyak, seperti yang disampaikan oleh Mantan Kepala Dinas Perhubungan DKI Jakarta Muhammad Akbar.

"Perbedaan yang mencolok adalah adanya uang yang terkumpul jumlahnya sangat besar," ujar Akbar kepada kontan.co.id, Rabu (11/1).

Rencananya, jika electronic road pricing (ERP) diberlakukan, itu akan dilaksanakan setiap hari, mulai pada pukul 05.00 hingga 22.00 WIB. Hal tersebut gamplang tertuang dalam draf Rancangan Peraturan Daerah (RAPERDA)

"Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik pada Kawasan Pengendalian Lalu Lintas Secara Elektronik diberlakukan setiap hari dimulai pukul 05.00 sampai dengan pukul 22.00 WIB," demikian bunyi Pasal 10 Ayat (1) dalam raperda tersebut.

Adapun beberapa ruas jalan berdasarkan sumber yang penulis rilis, jalan yang termasuk dalam kategori berbayar atau electronic road pricing (ERP) adalah sebagai berikut.

1. Jalan Pintu Besar Selatan.
2. Jalan Gajah mada.
3. Jalan Hayam Wuruk.
4. Jalan Majapahit.
5. Jalan Medan Merdeka Barat.
6. Jalan Moh. Husni Thamrin.
7. Jalan Jenderal Sudirman.
8. Jalan Sisingamaraja.
9. Jalan Panglima Polim.
10. Jalan Fatmawati (simpang Jalan Ketimun 1-simpang Jalan TB Simatupang).
11. Jalan Suryopranoto.
12. Jalan Balikpapan.
13. Jalan Kyai Caringin.
14. Jalan Tomang Raya.
15. Jalan Jenderal S. Parman (simpang Jalan Tomang Raya-simpang Jalan Gatot Subroto).
16. Jalan Gatot Subroto.
17. Jalan MT Haryono.
18. Jalan DI Panjaitan.
19. Jalan Jenderal A. Yani (simpang Jalan Bekasi Timur Raya-simpang Jalan Perintis Kemerdekaan).
20. Jalan Pramuka.
21. Jalan Salemba Raya.
22. Jalan Kramat Raya.
23. Jalan Pasar Senen.
24. Jalan Gunung Sahari.
25. Jalan HR Rasuna Said.

Berkaitan dengan wacana electronic road pricing (ERP) yang penulis sampaikan di atas, penulis merasa tertarik untuk memberikan beberapa tanggapan yang rasional terhadap pemerintah DKI selaku pihak yang berwenang.

Pertama, hemat penulis wacana penerapan electronic road pricing (ERP) bukanlah solusi untuk mengurangi kepadatan kendaraan pada jalur-jalur yang telah dikategorikan. Namun, sesungguhnya itu malah akan menjadi kontestasi masyarakat untuk berlomba-lomba melakukan pembayaran. 

Kenapa demikian?, karena bagi masyarakat yang biasa melewati jalur tersebut tidak akan merasa beban, karena memang merasa tidak ada jalan alternatif yang lebih efektif yang bisa mereka tempuh. Dan meskipun itu ada, tentunya hal itu akan dianggap kejauhan atau buang waktu. Dan pada akhirnya hal ini nampak akan dianggap sebagai cara halus pemerintah DKI melakukan pemalakan kepada masyarakatnya. 

Kedua, penerapan electronic road pricing (ERP) berpotensi akan menyebabkan terjadinya kemacetan di jalur-jalur lain. Misalnya, jika ada masyarakat pengendara yang tidak memiliki biaya untuk melintas di jalur electronic road pricing (ERP), tentunya jalur lainlah (jalur non prabayar) yang akan menjadi alternatif mereka. 

Sedikit kita bayangkan, jika seandainya masyarakat pengendara yang tidak punya uang lebih banyak dari pada masyarakat pengendara yang punya uang, maka penumpukan kendaraan lalu lintas akan terjadi lebih banyak (padat) pada jalur yang tidak berbayar. Pada akhirnya, rakyat miskin kembalilah yang akan kena dampak dari penerapan kebijakan electronic road pricing (ERP). 

Ketiga, penerapan electronic road pricing (ERP) akan menjadi salah satu pendapatan daerah yang sangat menjanjikan. Pertanyaan penulis, lantas uangnya mau dikemanakan? Ke panti asuhan, ke rumah-rumah ibadah, atau ke kantong-kantong pemerintah DKI? Kalau ke kantong-kantong pemerintah DKI kaya enggaklah, kan DKI sendiri memiliki anggaran yang sangat besar dan pendapatan daerahnya juga besar. Ya, kalau pemerintah DKI-nya sedikit tidak mau rakus tentunya mereka akan merasa lebih cukup dengan itu.

Keempat, penerapan electronic road pricing (ERP) bisa menjadi contoh buruk bagi kota-kota macet di Indonesia. Karena sudah pasti mereka akan meniru kebijakan-kebijakan yang berbau uang. Terlebih DKI pun sebagai Ibu Kota Negara Indonesia yang notabene-nya sebagai kota percontohan.

Kelima atau yang terakhir, jika penerapan electronic road pricing (ERP) berhasil, kira-kira sistem pembayarannya mau seperti apa, apa mungkin menggunakan kartu seperti yang digunakan keluar masuk gerbang tol? Ah, kalau seperti itu, sama saja akan menumpuk-numpuk kendaran pada saat antrian keluar masuk. Akhirnya, alih-alih mengurangi kemacetan tapi malah menumpuk kemacetan.

Sahabat readers, itulah sejumlah tanggapan rasional penulis tentang polemik rencana electronic road pricing (ERP). Berkenaan dengan tanggapan tersebut penulis tegaskan bahwa penulis tidak sepakat dengan rencana adanya penerapan electronic road pricing (ERP). Meski penulis juga sadari bahwa memang masalah kemacetan Jakarta butuh solusi. Tapi tak sepantasnya solusi yang pemerintah DKI berikan malah menjadi beban masyarakat Jakarta.

Namun, dari sikap kontra yang penulis sampaikan soal rencana kebijakan penerapan electronic road pricing (ERP). Tak lupa, penulis juga sedikit menyisipkan opini sederhana  soal solusi mengurangi kemacetan Jakarta.

Opini penulis, mungkin langkah yang paling ideal untuk mengurangi kemacetan adalah pemerintah DKI memberlakukannya aturan pembatasan penggunaan kendaraan pribadi dan dialihkan ke trasportasi umum. Selain itu, mungkin bisa memperbanyak atau menambah jalur-jalur lintasan baru di area Jakarta.

Sahabat readers, itulah seputar diskusi penulis soal rencana electronic road pricing (ERP) kali ini. Semoga pemerintah DKI tak berpikir panjang lagi untuk membatalkan niatnya. Amin

Sumber: kontan.co.id, cnnindonesia

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kebijakan Selengkapnya
Lihat Kebijakan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun