Ketimpangan ekonomi menjadi tantangan besar di Indonesia. Kita bisa mengamati gedung pencakar langit yang megah, kemewahan kota-kota besar, dan pasar keuangan yang berkembang pesat. Namun masih ada daerah yang kekurangan infrastruktur dasar seperti air bersih dan listrik. Apa yang membuat strategi ekonomi kita membiarkan ketimpangan ini terus berlanjut, meskipun pertumbuhan ekonomi terus berlanjut?
Ketimpangan yang Berakar pada Pembangunan yang Tidak Merata
Salah satu penyebab utama ketimpangan ekonomi di Indonesia adalah kecenderungan pembangunan yang terkonsentrasi di Pulau Jawa, khususnya di Jakarta dan sekitarnya. Pulau Jawa menyumbang porsi yang signifikan terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) nasional, sementara daerah lain, khususnya di Indonesia Timur, seringkali tertinggal. Akibatnya kesenjangan antara daerah berkembang dan daerah tertinggal semakin lebar.
Masalah ini melampaui infrastruktur fisik; hal ini juga mencakup akses terhadap pendidikan, layanan kesehatan, dan kesempatan kerja. Ketika kebijakan pemerintah terlalu fokus pada pembangunan satu daerah, maka daerah lain hanya memperhatikan pertumbuhan ekonomi nasional. Indonesia merupakan negara yang sangat beragam, dan setiap daerah mempunyai potensi unik yang dapat dimanfaatkan untuk pembangunan.
Fokus Kebijakan pada Pertumbuhan, Bukan Pemerataan
Dalam beberapa dekade terakhir, kebijakan ekonomi Indonesia sering kali memprioritaskan pertumbuhan dibandingkan kesetaraan. Keberhasilan suatu perekonomian nasional biasanya diukur berdasarkan tingkat pertumbuhan PDB, tanpa mempertimbangkan distribusi manfaat dari pertumbuhan tersebut.
Permasalahannya adalah pertumbuhan yang tinggi belum tentu berarti kemakmuran yang meluas. Pertumbuhan yang tidak inklusif justru dapat memperlebar kesenjangan antara si kaya dan si miskin. Misalnya, sektor formal yang berkembang pesat di kota-kota besar seringkali hanya memberikan manfaat kepada segelintir orang, sementara pekerja di sektor informal atau masyarakat pedesaan terus berjuang melawan kemiskinan.
Kebijakan Redistribusi yang Lemah
Ketimpangan ekonomi juga disebabkan oleh kebijakan redistribusi yang tidak efektif. Perpajakan progresif yang seharusnya bisa menjadi alat untuk menjembatani kesenjangan ini, belum diterapkan secara optimal. Kepatuhan pajak di Indonesia masih rendah, terutama di kalangan masyarakat kaya.
Selain itu, alokasi anggaran untuk program sosial seringkali tidak mencapai target yang diharapkan. Inisiatif seperti Bantuan Langsung Tunai (BLT) atau Kartu Prakerja memang memberikan sedikit keringanan, namun hanya menawarkan solusi sementara. Untuk mengatasi kesenjangan struktural, diperlukan reformasi yang lebih signifikan pada sistem perpajakan, investasi pada pendidikan dan pelatihan, serta pembangunan infrastruktur di daerah-daerah tertinggal.
Peran Teknologi dalam Memperbesar atau Mengurangi Ketimpangan
Kemajuan teknologi bisa menjadi pedang bermata dua. Di satu sisi, hal ini menciptakan peluang baru bagi masyarakat untuk meningkatkan pendapatannya, terutama melalui platform digital. Di sisi lain, mereka yang tidak memiliki akses atau literasi digital mungkin akan semakin tertinggal.
Kebijakan yang mendorong digitalisasi tanpa mempertimbangkan inklusivitas dapat memperburuk kesenjangan. Misalnya, masyarakat di daerah terpencil seringkali kekurangan akses internet atau keterampilan yang diperlukan untuk memanfaatkan teknologi. Akibatnya, kesenjangan digital muncul sebagai bentuk baru kesenjangan ekonomi.
Apa yang Bisa Kita Lakukan?
Mengatasi ketimpangan ekonomi merupakan tugas yang menantang, namun hal ini pasti dapat dicapai. Langkah pertama adalah mengubah paradigma kebijakan dari sekadar mengejar pertumbuhan menjadi mendorong kesetaraan. Pemerintah harus mengalokasikan lebih banyak dana untuk pembangunan daerah tertinggal, dengan fokus tidak hanya pada infrastruktur fisik tetapi juga pada peningkatan sumber daya manusia.
Selain itu, penerapan perpajakan progresif yang lebih kuat juga penting untuk memastikan bahwa individu yang lebih kaya berkontribusi secara signifikan terhadap program sosial. Digitalisasi juga harus diarahkan pada inklusi, misalnya dengan memberikan pelatihan dan infrastruktur digital di daerah terpencil.
Namun, aspek yang paling krusial adalah mengubah pola pikir kita sebagai masyarakat. Ketimpangan ekonomi bukan hanya soal angka; hal ini mencerminkan pandangan kami mengenai keadilan dan kesetaraan. Jika kita membiarkan ketimpangan ini terus berlanjut, kita tidak hanya berisiko kehilangan potensi ekonomi namun juga membahayakan stabilitas sosial.
Kesimpulan: Jalan Panjang Menuju Pemerataan
Ketimpangan ekonomi di Indonesia bermula dari kebijakan yang mengutamakan pertumbuhan tanpa mempertimbangkan pemerataan. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, kita harus menerapkan langkah-langkah strategis yang tidak hanya mengatasi gejalanya tetapi juga akar permasalahannya. Ini merupakan perjalanan panjang yang memerlukan komitmen pemerintah, sektor swasta, dan masyarakat secara keseluruhan. Pada akhirnya, Indonesia yang sejahtera adalah Indonesia yang tidak hanya sejahtera namun juga adil dan merata.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H