Mohon tunggu...
Rial Roja
Rial Roja Mohon Tunggu... Editor - Digital Marketer/Content Writer

Menghidupkan tulisan dengan gaya santai namun informatif. Mari berbagi cerita dan inspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop Artikel Utama

Pungli dalam Pelayanan Publik, Haruskah Kita Menyerah?

27 November 2024   19:48 Diperbarui: 28 November 2024   18:41 46
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ombudsman RI membuka posko pelaporan pelayanan publik Ombudsman on the Spot | KOMPAS/RIZA FATHONI

Permasalahan pungutan liar pada pelayanan publik merupakan permasalahan yang sudah lama meresahkan masyarakat. Mulai dari pengurusan dokumen penting hingga akses layanan kesehatan. "Biaya tambahan" tidak resmi ini sering kali tampak tidak dapat dihindari. 

Hal ini menimbulkan pertanyaan penting: mengapa pungutan-pungutan ini tetap ada, dan haruskah kita menerimanya sebagai bagian dari "tradisi" pelayanan publik? Jawabannya tentu saja tidak. Untuk benar-benar menghilangkan praktik ini, kita perlu mengambil tindakan yang lebih strategis daripada sekadar mengeluh.

Pungli: Akibat Sistem atau Budaya?

Salah satu penyebab utama maraknya pungutan liar adalah sistem birokrasi yang rumit. Prosedur yang panjang dan seringkali tidak jelas menciptakan peluang bagi individu untuk mengeksploitasi situasi tersebut. Misalnya, ketika seseorang membutuhkan dokumen penting dengan cepat, "jalan pintas" suap yang menggiurkan mungkin sulit ditolak.

Meski begitu, kita tidak bisa menyalahkan sistem begitu saja atas masalah ini. Pengaruh budaya juga berperan dalam sifat pungutan informal yang masih berlangsung. 

Di beberapa komunitas, biaya ini dianggap sebagai bentuk "terima kasih" atau "uang rokok" atas bantuan. Sikap ini memperkuat siklus di mana memberi dipandang sebagai hal yang normal, dan pejabat merasa berhak untuk meminta.

Konsekuensi yang Tidak Terlihat

Permasalahan pungutan liar bukan sekedar kehilangan uang berlebih. Parahnya lagi, menimbulkan ketidakadilan yang berdampak pada banyak orang. Mereka yang mampu membayar "lebih banyak" seringkali menerima perlakuan yang lebih baik, sementara mereka yang tidak mampu justru tersisih. Situasi ini melemahkan kepercayaan masyarakat terhadap institusi dan memperburuk kesenjangan sosial.

Selain itu, adanya pungutan liar juga berdampak negatif terhadap efisiensi penyelenggaraan pelayanan publik. Membiarkan praktik-praktik seperti ini terus berlanjut akan menghasilkan sistem yang kurang efektif, karena penekanannya beralih dari penyediaan layanan berkualitas ke arah keuntungan pribadi. Transformasi ini menjadikan pelayanan publik yang seharusnya menjadi hak semua orang, kini hanya menjadi bisnis segelintir orang.

Haruskah Kita Menyerah?

Menyerah bukanlah cara yang tepat. Meskipun korupsi tampak seperti masalah yang menakutkan, ada banyak negara yang berhasil mengurangi atau menghilangkan praktik-praktik tersebut. Rahasianya adalah berani mengubah sistem dan mengubah pola pikir kita.

Merangkul teknologi adalah cara cerdas untuk mengatasi tantangan ini. Transformasi digital pada layanan publik dapat menjadi strategi yang efektif dalam melawan pungutan liar. 

Dengan bantuan platform online yang transparan, individu dapat mengakses layanan tanpa harus berhubungan langsung dengan pejabat sehingga mengurangi peluang terjadinya korupsi. 

Misalnya, beberapa daerah di Indonesia menerapkan aplikasi perizinan online. Meski masih memiliki kekurangan, namun hal ini merupakan sebuah langkah maju yang menjanjikan.

Selain itu, penting untuk menekankan peran pendidikan dan kampanye kesadaran di masyarakat. Mengubah budaya merupakan proses yang lambat, namun dengan inisiatif pendidikan yang konsisten, masyarakat dapat lebih memahami hak-hak mereka dan merasa berdaya untuk menolak terlibat dalam suap. 

Media sosial juga dapat digunakan untuk menyebarkan kesadaran, khususnya dengan berbagi kisah sukses individu yang berhasil mengakses layanan tanpa membayar suap.

Peran Kita dalam Memberantas Pungli

Merasa tidak berdaya menghadapi sistem yang besar adalah hal yang wajar, namun setiap tindakan kecil dapat berkontribusi terhadap perubahan. Kita bisa memulainya dengan menolak suap, meskipun itu berarti kita harus menunggu lebih lama atau menghadapi komplikasi. Pilihan ini mungkin sulit, namun semakin banyak orang yang menolak, semakin kuat dorongan untuk mengubah sistem.

Mendorong transparansi juga mencakup pelaporan pungutan liar yang kami temui. Banyak organisasi pemerintah kini memberikan kesempatan kepada warga untuk melaporkan kejadian serupa. Meskipun tindak lanjutnya tidak selalu memuaskan, namun hal ini tetap merupakan tindakan penting untuk menunjukkan bahwa masyarakat tidak pasif.

Masa Depan Tanpa Pungli: Mimpi atau Kenyataan?

Pemberantasan pungutan liar merupakan tantangan besar, namun bukan berarti tidak mungkin. Dengan kombinasi yang tepat antara reformasi sistem, transformasi budaya, dan partisipasi aktif masyarakat, kita dapat mengharapkan layanan publik yang transparan dan adil. Ingat, pelayanan publik adalah hak kita sebagai warga negara, bukan sesuatu yang harus kita bayar ekstra.

Haruskah kita menyerah saja? Sama sekali tidak! Setiap orang mempunyai peran dalam pemberantasan korupsi, mulai dari menolak suap hingga mendukung langkah-langkah reformasi. Dengan bersikap asertif dan aktif, kita bisa membayangkan masa depan dimana korupsi adalah masa lalu yang kelam, bukan bagian dari kehidupan kita sehari-hari.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Vox Pop Selengkapnya
Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun