Banyak orang memandang pernikahan sebagai peristiwa sekali seumur hidup yang harus dirayakan dengan cara yang unik. Namun, di dunia media sosial yang glamor, esensi sakral dari pernikahan sering kali digantikan oleh fokus pada kesombongan dan persaingan status.Â
Tak jarang perayaan pernikahan menguras sumber keuangan dan berujung pada utang yang besar. Tren pernikahan beranggaran tinggi ini bukan hanya fase sementara; ini mencerminkan budaya yang semakin terobsesi dengan citra.
Pernikahan Impian yang Menguras Kantong
Banyak pasangan muda kini menganggap pernikahan mereka sebagai kesempatan utama untuk menunjukkan kesuksesan mereka.Â
Mereka memilih lokasi eksklusif, dekorasi mewah, pakaian desainer, dan memanfaatkan teknologi canggih untuk dokumentasi, yang semuanya dianggap penting. Sayangnya, kebutuhan finansial elemen-elemen tersebut seringkali melebihi kemampuannya.
Ironisnya, banyak masyarakat yang merasa harus mengadakan perayaan mewah karena norma sosial. Mereka takut pesta yang lebih sederhana akan membuat mereka tampak tidak mampu menafkahi atau menghargai pasangannya. Hal ini mengakibatkan keputusan keuangan yang seharusnya sederhana menjadi terjerat dalam masalah status.
Media Sosial dan Standar Tidak Realistis
Peran media sosial sangat penting dalam mendorong tren pernikahan mahal. Dengan postingan dari pernikahan selebriti dan influencer pernikahan yang memamerkan detail luar biasa, platform ini menciptakan cita-cita yang tidak realistis bagi pasangan pada umumnya.Â
Gambar-gambar indah yang dihias dengan bunga-bunga mahal dan para tamu yang berpakaian elegan dapat mendorong banyak orang untuk meniru kemewahan tersebut, meskipun itu berarti melampaui batas finansial mereka.
Selain itu, ada peningkatan tekanan untuk "melestarikan" momen-momen ideal ini di media sosial. Tidaklah cukup hanya dengan mengadakan pernikahan; acara tersebut harus ramah Instagram dan menerima banyak suka. Di sinilah dorongan untuk menyesuaikan diri dengan ekspektasi online terkadang mengalahkan alasan logis.