Mohon tunggu...
Rial Roja
Rial Roja Mohon Tunggu... Editor - Digital Marketer/Content Writer

Menghidupkan tulisan dengan gaya santai namun informatif. Mari berbagi cerita dan inspirasi!

Selanjutnya

Tutup

Horor Pilihan

Pelukan Terakhir Sang Penyihir

21 November 2024   07:43 Diperbarui: 21 November 2024   07:46 45
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Foto Seorang Wanita di Huta. (Sumber: www.freepik.com)

Di sebuah desa terpencil yang ditutupi oleh hutan lebat, terdapat sebuah rumah kuno bernama "Pondok Penyihir". Pemilik rumah tersebut, seorang perempuan bernama Nira, dituding melakukan santet beberapa tahun lalu. Meski Nira sudah meninggal, bisikan arwahnya yang bersemayam di dalam rumah masih membuat warga sekitar ketakutan.

Beberapa orang skeptis terhadap narasi tersebut. Arka, seorang pemuda pemberani, selalu menganggap cerita Nira hanyalah mitos sederhana yang bertujuan untuk menakut-nakuti anak-anak. Jadi, ketika temannya, Tio, menantangnya untuk masuk ke dalam rumah saat bulan purnama, Arka menerima tantangan itu tanpa ragu.

Malam itu, bulan purnama menyinari jalan berkelok-kelok menuju kabin yang lapuk. Arka berjalan dengan penuh tujuan, tidak terpengaruh oleh dinginnya malam yang menggigit. Pintu kabin terbuka dengan bunyi mencicit yang keras, seolah telah menunggu saat ini untuk menyambut tamu yang disayangi.

Di dalam ruangan, udaranya kental dengan aroma kayu kuno dan rempah-rempah eksotis. Sebuah meja kecil menempati bagian tengahnya, dikelilingi lilin yang sudah lama padam. Di salah satu sudut, sebuah kursi goyang tua bergerak pelan, meski tidak ada angin sepoi-sepoi.

Arka merasakan getaran di punggungnya. "Itu hanya angin," katanya lembut, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.

Bergerak lebih jauh ke depan, dia melihat sebuah buku besar tergeletak di seberang meja. Sampul kulit berwarna gelap ditandai dengan simbol yang tidak biasa. Didorong oleh rasa penasaran, dia mengulurkan tangan untuk membukanya, tapi begitu jari-jarinya menyentuh sampulnya, sebuah suara lembut namun memerintah bergema dari belakangnya.

Apakah Anda bersedia menerima konsekuensi yang timbul dari rasa penasaran Anda? Arka terkejut. Dia menoleh untuk melihat seorang wanita dalam gaun hitam panjang, rambutnya tergerai seperti bayangan. Mata peraknya bersinar terang, bahkan dalam cahaya redup.

"Siapa kamu?" Arka bertanya dengan nada penuh ketakutan.

"Saya Nira, tokoh yang sering kamu dengar dalam cerita rakyat desa," jawab perempuan itu sambil tersenyum lembut. "Apa yang membawamu ke tempat ini, anak muda?" Arka fokus menjaga ketenangannya.

"Saya tidak percaya cerita yang mereka ceritakan tentang Anda. Saya di sini untuk membuktikan bahwa itu semua hanya omong kosong." Nira mendekat, gerakannya tak terdengar. "Kamu pikir aku hanya isapan jempol belaka? Izinkan saya menunjukkan kepada Anda bahwa saya lebih dari itu."

Saat Arka hendak mengatakan sesuatu, Nira mengangkat tangannya, dan tiba-tiba ruangan berubah. Dinding kayunya menghilang, digantikan oleh hutan lebat yang dipenuhi kabut. Bisikan-bisikan seakan datang dari mana-mana, membuat Arka merasa terjebak oleh suatu entitas tak kasat mata.

"Kamu sedang apa sekarang?" dia berteriak, kepanikan terlihat jelas di nadanya.

Nira tersenyum lembut, meski matanya berkabut karena kesedihan. "Aku tidak pernah ingin menyakitimu, Arka. Tetapi kamu berhak mengetahui kebenarannya. Aku bukanlah penyihir yang mereka tuduhkan padaku. Aku hanya seorang wanita yang ahli dalam ramuan dan penyembuhan. Ketakutan dan ketidaktahuan mereka telah mengubahku menjadi monster dalam cerita mereka.

" Arka memandangnya dengan bingung. "Lalu kenapa kamu masih di sini? Kenapa semangatmu belum pergi?"

"Ada yang belum terselesaikan," bisik Nira. "Mereka dengan kejam mencuri nyawa saya. Saya hanya ingin menyampaikan pesan terakhir kepada seseorang yang mau memperhatikan." Arka merasakan tekanan lembut di bahunya.

Dia menoleh ke belakang, tapi tidak ada apa-apa. Dia mulai gemetar, bukan karena udara dingin. "Pesan apa yang kamu punya? Dan mengapa saya terpilih?" Tatapan Nira menusuk. "Kamu adalah keturunanku, Arka. Darahku mengalir melalui kamu."

Arka tersentak mendengar kata-kata itu seperti tersambar petir. "Itu tidak mungkin. Keluargaku tidak pernah membicarakanmu."

"Mereka ingin melupakanku. Mereka ingin menghapus namaku dari sejarah mereka. Tapi kamu, kamu berani datang ke sini. Itu sebabnya aku memilihmu."

Entah dari mana, kabut di sekitar mereka memadat, menciptakan bentuk manusia. Mereka membawa obor dan senjata, wajah mereka dipenuhi amarah. "Inilah yang kutemukan pada malam terakhirku," kata Nira getir.

Arka melihat bayangan mengelilingi Nira sambil meneriakkan kata-kata menyakitkan dan tuduhan. Dia ingin campur tangan, tapi dia merasa mandek. "Apa yang bisa saya lakukan?" dia berpikir.

"Kamu hanya perlu mendengarkan," jawab Nira. "Saya ingin Anda tahu bahwa saya tidak pernah membenci mereka. Bahkan dalam kematian, Aku memaafkan mereka. Tapi saya butuh seseorang untuk membagikan kebenaran ini.

" Bayangan itu menghilang, dan mereka kembali ke gubuk tua. Nira berdiri di hadapan Arka, wajahnya lebih tenang. "Sekarang kamu tahu, aku bisa pergi dengan tenang. Tapi pertama-tama, aku ingin memberimu sesuatu."

Dengan tangan terulur, Nira menarik Arka ke dalam pelukannya sebelum Arka sempat mengucapkan sepatah kata pun. Pelukan itu sejuk namun membawa kehangatan yang tidak biasa. Saat itu, Arka dihujani kenangan yang bukan miliknya Nira menyiapkan obat, membantu orang sakit, dan malam ia dikutuk oleh orang-orang yang ia selamatkan. Saat dia melepaskannya, kehadirannya mulai memudar. "Terima kasih, Arka. Kamu sekarang adalah pelindung kebenaranku."

Arka berlutut, merasa lemas namun hatinya dipenuhi kepenuhan. Ketika dia membuka matanya, dia mendapati dirinya sendirian di dalam gubuk. Buku yang tadinya ada di atas meja telah menghilang, digantikan oleh bunga lavender segar yang anehnya cocok untuk tempat lamanya.

Dia kembali ke desa membawa cerita Nira bersamanya. Pada awalnya, tidak ada yang menganggapnya serius, namun lambat laun, kebenaran mulai terungkap. Gubuk tersebut kini menjadi pengingat bahwa ketakutan dan ketidaktahuan dapat menghancurkan kehidupan, sedangkan kebenaran dan pengampunan memiliki kekuatan untuk menyembuhkan.

Kapan pun keraguan merayap, Arka akan mengingat hangatnya pelukan terakhir sang penyihir, yang mengingatkannya bahwa ia selalu ditemani.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Horor Selengkapnya
Lihat Horor Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun