Mohon tunggu...
Mh Firdaus
Mh Firdaus Mohon Tunggu... Wiraswasta - Penulis

Penulis dan Traveler amatir. Menggali pengetahuan dari pengalaman terus membaginya agar bermanfaat bagi banyak khalayak..

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama

Laikang, Pesisir Utara Sulawesi Selatan yang Kaya Lobster

2 Juni 2023   16:26 Diperbarui: 4 Juni 2023   19:29 969
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pantai di utara Sulawesi Selatan berhadapan dgn desa Laikang, kaya lobster dan rumput laut (dok. pribadi)

Lobster (Nephropidae) merupakan hasil laut bernilai ekonomi tinggi. Peminatnya datang dari luar dan dalam negri. Negri China, Korea Selatan, Singapura dan Jepang, beberapa negara tujuan ekspor lobster Indonesia. 

Pun di dalam negri, meski harganya mahal, penikmatnya tak surut. Penulis mencicipnya saat ditraktir teman santap malam di restaurant di Makasar, ibu kota Sulawesi Selatan, provinsi penghasilnya. Meski harga makanannya selangit, pengunjung ramai memenuhi.

Karena harganya menggiurkan, bisnis di semua rantai lobster memikat banyak kalangan, terutama pemodal kuat dan aparat pemerintah yang ikut cawe-cawe. 

Penulis teringat Edy Prabowo, mantan mentri Perikanan dan Kelautan yang didakwa terima suap Rp 25,7 Milyar terkait izin ekspor Benur 2001 (sumber). Bagaimana pemodal tidak tergiur di bisnis ini ? Untung selangit dan konsumennya membludak. Namun, apakah nelayan dan warga tinggal dekat pembudidayaannya menikmati manisnya bisnis ini? Berikut ceritaku.

Penulis sempat live in di salah satu desa pesisir penghasilnya. Sebagian besar pemilik kerambah lobster di laut dan sekitarnya adalah pemodal besar yang tidak tinggal di sana. Nalayan lokal menjadi pemilihara -- tepatnya buruh -- yang membudidayakan dan memelihara lobster setiap hari dengan segala resiko. Meski begitu, ada pula warga lokal yang memilikinya.

Sebagian besar lobster dibudidayakan nelayan di tengah laut. Sebagian kecilnya bertengger di dekat pesisir. Kita melihatnya beberapa keramba terapung dari jarak 50 an meter dari garis pantai.

Binatang laut jenis kepiting ini mahal karena dinilai kaya protein dan gizi. Makanannya rajungan, cumi-cumi, kerang, tiram dan ikan rucah serta ikan-ikan planton yang berkeliaran di dasar laut. 

Jumlah keramba di dekat pesisir menyusut karena jumlah lobster menurun (dok. pribadi)
Jumlah keramba di dekat pesisir menyusut karena jumlah lobster menurun (dok. pribadi)

Sementara keramba di tengah laut, tak terjangkau pendangan mata. Minimnya makanan berupa planton ikan kecil bagi lobster -- ini disebabkan penuhnya sampah -- mendorong nelayan memidahkan keramba ke tengah laut.

Karena posisi kerambah berada di tengah laut, jauh dari desa, nelayan merawat dan menjaganya penuh resiko. Oleh karena itu, biasanya di samping hamparan keramba lobster terdapat rumah apung sederhana. Itulah rumah penjaga yang mengawal pemeliharaanya. Hujan dan badai di tengah laut saat malam hari misalnya, harus penjaga hadapi dengan perhitungan. Kecermatan membaca cuaca laut, keahlian nelayan yang dipelajari turun menurun.

Pantai Indah yang Kotor, Namun Kaya Hasil Laut

Deru ombak laut ujung utara pantai Makasar bergulung kencang. Makin mendekat, suaranya menggelegar. Itulah ombak laut di pesisir dusun Puntondo, desa Laikang, kec. Mangarabombang, kab. Takalar, Sulawesi Selatan.

Sore pukul, 17.00 sore, 8 Februari 2023, bersama teman, saya tiba di desa ujung utara Sulawesi Selatan.

Matahari perlahan tenggelam. Awam gelap minyisir siang, segera berganti malam. Keramaian suasana desa pesisir menyusut. Anak-anak nelayan yang sedari tadi berlarian di pasir, satu per satu masuk ke rumah masing-masing. Warga dusun yang kebanyakan nelayan (hampir 77,2 %), duduk berjejer di beranda rumah. 

Jalan raya penghubung desa, membentang dari luar hingga menjangkau ke sudut desa. Jalannya halus dan berbeton. Tak banyak penginapan di sana. Pengunjung datang pagi, dan hengkang sorenya. Bila hendak bermukim menikmati malam pantai, rumah penduduk sandarannya. Apa sebabnya?

Limbah sampah di pinggir pantai menurunkan habitat sumberdaya laut (dok. pribadi)
Limbah sampah di pinggir pantai menurunkan habitat sumberdaya laut (dok. pribadi)

Dugaanku, karena kondisi pantai yang kotor. Sampah berupa botol bekas dan potongan kayu memenuhi sudut pantai. Pasirnya kotor dan hitam di titik tertentu. Bau amis menyergap hidung bila air surut, begitu ungkap warga kepada penulis. Apakah karena di ujung laut bersemayam perusahaan pembuang limbah? Atau prilaku masyarakat sekitar yang menganggap laut tong raksasa sebagai TPS (tempat akhir pembuangan sampah)?

Meski begitu, ada penginapan kosong milik tokoh yang tinggal di Makasar. Disitulah saya bersama teman bermalam. Penginapan ini menghadap persis ke laut. Senja sore mendung, sehingga tak ada pemandangan matahari tenggelam. Ombak menderu hingga malam. Dari penginapan, pemandangaku luas menerawang langsung ke arah bentangan samudra. Sayang, keindahannya hanya tercemari sampah.

Penginapan memiliki dua lantai. Pertama, ruang hangout berisi kursi dan meja. Lantai 2 terdiri dari kamar tidur dan balkon. Sebagian bintang kerlap kerlip di tengah luasnya lautan. 

Sambil menengadah pikiranku melayang, "Kenapa laut seindah ini dan kaya sumderdayanya, namun penuh kotoran...?" 

Kembali ke dusun Puntondo, desa Laikang. Wilayah ini menghadap langsung ke laut. Jamaknya penduduk nelayan, tingkat kesejahteraannya terbatas. Ini terkofirmasi dengan data pengangguran desa yang berjumlah sekitar 35,7 % dari jumlah penduduk (data 2015).

Meski pantai tercemari sampah, namun laut ini kaya rumput laut, lobster dan aneka jenis ikan laut lain. Total produksi hasil laut desa (2015) sebesar; 69,59 persen rumput laut, 18,20 persen ikan dan kepiting, dan 3,21 persen lobster (lihat, Andi Samsir, "Ketahanan Pangan Rumah Tangga Petani Desa Laikang, Kec. Mangrabombang, kab. Takalar")

Jumlah penginapan di pantai desa laikang masih minim (dok. pribadi)
Jumlah penginapan di pantai desa laikang masih minim (dok. pribadi)

Saat santap malam di rumah warga, kami ngobrol santai tentang situasi kampung dengan pemuka masyarakat. Dahulu, di beberapa titik pantai ada pohon bakau sebagai penahan ombak. Dampaknya nelayan mendapat hasil laut beraneka ragam. Konon, rumput laut, ikan dan lobster dari sini diekspor ke kota besar Indonesia Timur dan manca negara. Sayang, cerita itu kini tinggal kenangan, begitu cerita tokoh masyarakat.

Keterkenalan lobster Laikang ke seantera provinsi Sulawesi Selatan mendorong pemodal luar daerah masuk ke budidayanya. Pembuatan infrastruktur (seperti keramba, rumah penjaga) dan keberlanjutan pakan, membutuhkan modal besar. Kebijakan yang mengatur budidayanya -- dari provinsi, kabupaten hingga desa -- belum tersusun. Lalu lintas di laut (dimana lokasi keramba) diatur sesuai kesepakatan para nelayan dengan kepala desa dan BPD (Badan Perwakilan Desa). Kelangkaan aturan berpotensi memunculkan sengketa ke depan? Semoga tidak terjadi.  

Angin laut semilir masuk melalui pintu kamar penginapanku yang tak terkunci. Gerimis turun menyela awan pagi. Waktu menunjukan jam 07.00 pagi, 9 Feb 2023, tak menyurutkanku berjalan pagi menikmati pesisir. Terlihat dari pinggir laut (atau permukimam warga) nun jauh di laut jejeran keramba. 

"Itu baru sebagian kecil dari jumlah semua keramba di laut sekitar kampung", tutur nelayan kepada penulis. 

Di sisi lain, saya melihat sekumpulan perempuan merapikan rumput laut di rumah pingggir laut, milik pengepul.

Rumput laut berwarna kecoklatan subur dan tumbuh di laut sebagai mata pencaharian nelayan (dok. pribadi)
Rumput laut berwarna kecoklatan subur dan tumbuh di laut sebagai mata pencaharian nelayan (dok. pribadi)

Setelah lelah berjalan pagi, saya berhenti di rumah seorang tokoh masyarakat. Hadir pula disana kelompok anak muda dan perempuan. Kami mengobrol santai bersamanya di pelataran panggung tentang pengelolaan sumberdaya laut yang berkeadilan.

Berbagai informasi terungkap. Diantaranya karena aktifitas warga banyak di laut, ada aturan tak tertulis yang mengelola lalu lintasnya sebagai tata kelola keramba lobster dan rumput laut. Anak muda dan perempuan pernah mengikuti pelatihan produk (dodol, stik, dan selei) yang belum dipasarkan. 

Sebagian besar rumput laut dan ikan dijual mentah ke pengepul (papalele). Mereka belum mengolahnya  menjadi produk turunan. Muncul rencana membangun ternak lele sebagai pakan lobster -- karena pasarnya menjajikan -- yang memerlukan studi kelayakan. Dari sini diketahui bahwa seorang anak muda merupakan pengurus bumdes yang mengelola budidaya usaha lobster.

Pas pukul 10.30, siang, saya ditemani anak muda yang pengurus bumdes pergi ke lokasi keramba lobster di tengah laut. Dengan perahu muat 3 orang, kami berlayar ke tengah laut. Gerimis mengiringi perjalan meski tak terasa karena diterpa angin laut yang kecang. Sepanjang perjalanan kami menyaksikan perahu-perahu nelayan hilir mudik di tengah laut. 

Siang itu cukup sibuk. 20 menit berlalu, perahu kami mendekat sekumpulan keramba berderet dengan bekelompok sesuai areal dan pemiliknya.

Laju perahu perlahan merapat. Semakin dekat perahu mendekat, kami jelas melihat keramba-keramba bertebaran di tengah laut. Ia berbentuk persegi empat mengapung yang pagari alat seperti busa besar. 

Di tengahnya jarring yang melindungi lobster supaya tidak berenang ke laut lepas. Ada puluhan keramba persegi empat mengapung disana.

Keramba persegi empat menjadi rumah alami lobster di tengah laut (dok. pribadi)
Keramba persegi empat menjadi rumah alami lobster di tengah laut (dok. pribadi)

Saking penasaran, saya mendekat ke salah satunya. Anak muda yang mengantarku mengangkat jaringnya, terlihatlah lobster-lobster besar. 

Sambil terpana saya berguman, "Wow besar besar sekali lobster ini. Eksotik dan indah kulit dan belalainya...."

Dengan berani, saya memegang salah satu lobster dengan teknik yang sudah diajari anak muda supaya tidak digigit. Kuat dan keras belalai dan kulit lobster yang masih hidup. Awalnya mengeliat dan bergerak saat kupegang. Lama-lama lobster anteng dan nampak gagah dan indah.

Diantara puluhan keramba, saya melihat bangunan kamar kecil. Itulah rumah dengan satu kamar yang dibangun nelayan. Di situlah si nelayan menunggu dan menjaga lobster dari pencurian dan memberi makan saat jadwal tiba. Apalagi di musim menjelang panen, pencurian jamak terjadi bila tak diawasi. Meski hujan dan badai ombak di laut, nelayan yang menjaga harus berdiam di rumah di tengah laut. Beresiko bukan..?

Tak terasa, hampir setengah jam kami bermain-main dengan lobster di tengah samudra. Bangga karena bisa menyaksikan ratusan lobster berenang di keramba. Nelayan lain melambai tangan dari jarak beberapa meter. Ia adalah temen anak muda nelayan yang habis menjaga karambanya beberapa malam di tengah laut yang lebih jauh.

Lobster laut dengan belalai panjang dan warna kulit indah kekayaan laut Indonesia (dok. pribadi)
Lobster laut dengan belalai panjang dan warna kulit indah kekayaan laut Indonesia (dok. pribadi)

Terik siang makin merangas. Rintik hujan pun berhenti. Kami siap-siap hengkang dari tengah laut. Ombak siang itu makin terasa gelombagnya. Ini bertanda air laut segera pasang. Secepat itu pula kami beranjak pulang. 

"Laut yang kaya harusnya dijaga oleh semua kita sebagai manusia. Karena laut memberi banyak bagi manusia. Habitat lobster kini makin ke tengah laut, karena di pesisirnya tercemari kotoran", lamunanku sepanjang perjalanan di perahu menuju darat.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun