Siang itu cukup sibuk. 20 menit berlalu, perahu kami mendekat sekumpulan keramba berderet dengan bekelompok sesuai areal dan pemiliknya.
Laju perahu perlahan merapat. Semakin dekat perahu mendekat, kami jelas melihat keramba-keramba bertebaran di tengah laut. Ia berbentuk persegi empat mengapung yang pagari alat seperti busa besar.Â
Di tengahnya jarring yang melindungi lobster supaya tidak berenang ke laut lepas. Ada puluhan keramba persegi empat mengapung disana.
Saking penasaran, saya mendekat ke salah satunya. Anak muda yang mengantarku mengangkat jaringnya, terlihatlah lobster-lobster besar.Â
Sambil terpana saya berguman, "Wow besar besar sekali lobster ini. Eksotik dan indah kulit dan belalainya...."
Dengan berani, saya memegang salah satu lobster dengan teknik yang sudah diajari anak muda supaya tidak digigit. Kuat dan keras belalai dan kulit lobster yang masih hidup. Awalnya mengeliat dan bergerak saat kupegang. Lama-lama lobster anteng dan nampak gagah dan indah.
Diantara puluhan keramba, saya melihat bangunan kamar kecil. Itulah rumah dengan satu kamar yang dibangun nelayan. Di situlah si nelayan menunggu dan menjaga lobster dari pencurian dan memberi makan saat jadwal tiba. Apalagi di musim menjelang panen, pencurian jamak terjadi bila tak diawasi. Meski hujan dan badai ombak di laut, nelayan yang menjaga harus berdiam di rumah di tengah laut. Beresiko bukan..?
Tak terasa, hampir setengah jam kami bermain-main dengan lobster di tengah samudra. Bangga karena bisa menyaksikan ratusan lobster berenang di keramba. Nelayan lain melambai tangan dari jarak beberapa meter. Ia adalah temen anak muda nelayan yang habis menjaga karambanya beberapa malam di tengah laut yang lebih jauh.
Terik siang makin merangas. Rintik hujan pun berhenti. Kami siap-siap hengkang dari tengah laut. Ombak siang itu makin terasa gelombagnya. Ini bertanda air laut segera pasang. Secepat itu pula kami beranjak pulang.Â