15 menit, kami menuju ke lokasi yang ditunjuk. Jalanan berbelok dari jalan raya menanjak kami susuri. Pegunungan berdiri di laju kendaraan kami jelas terlihat. Kawasan perdesaan ramai di kiri dan kanan jalan. Akhirnya kami sampai di lokasi. Bangunan mirip klaster perumahan berdiri di depan kami. Pintu gerbang dijaga satpam. Pengantar berbicara dengan satpam maksud dan tujuannya.
Ada 6 kluster bangunan berdiri di sana. Setiap bangunan memiliki areal parkir dan pintu gerbang sendiri. Aman dan tertib. Kami mengamati situasi dan berembuk. Kala mengamati, muncul 3 orang seles nya. Mereka mempresentasikan profil kos kepada kami sebagai calon konsumnya. Singkat cerita, kami tidak sreg dengan berbagai alasan.
Satu kos berikutnya yang ditujukkan pengantar, memikat anakku. Ia berlokasi di samping sungai. Sayang, semua kamar sudah full. Di tengah kebingungan, temen anakku menujukkan lokasi lain. Ia mendapatkannya dari saudaranya. Segerahlah kami menuju lokasi. Dari depan, bangunannya tidak meyakinkan. Ia berlokasi di pinggir jalan raya berkelok. Segera anakku bersama teman masuk ke kos tersebut.
Tiba-tiba anakku menelponku untuk segera melihat kos. Tak dinyana, kamar dan lingkungan kos memikat anakku. Kamarnya bersih dan aman. Ada 2 kamar kosong, karena masa kuliah penghuninya selesai Agustus ini. Pemandangan berupa gunung dan persawahan, terlihat jelas dari jendela kamar. Indah dan mempesona. Ada ruang diskusi di antara kamar untuk hang out penghuni. Keluarga pemilik kos menjadi penjaganya. Hanya 7 kamar tersedia di sana. Anakku dan temannya cocok dengan kos terakhir.
“Teteh” (panggilan sunda ibu pemilik kos) berpesan kepada kami bahwa bila si pengantar (yang ternyata calo) bertanya kos, bilang saja belum jadi. Kami mengangguk tanda setuju. Teteh berujar bahwa si calo meminta persenan (uang jasa antar) kepadanya bila kami mengontrak kos miliknya. Teteh beralasan hadiranku ke kos miliknya, karena informasi sendiri. “Bukan jasa si Calo. Lagian, mereka tidak mempromosikan kosnya”, Imbuhnya. Saat kami bersantap siang di restaurant, keputusan pun diambil. Anakku dan temennya sepakat mengambil kos terakhir dan mentransfer uang muka ke teteh sebagai tanda jadi.
Saat kami hendak pergi dari parkiran, eh si calo muncul di samping kendaraan. Ia bertanya apakah saya hendak mencari kosan lain, ia bersedia mengantarnya ke lokasi lain. Secepatnya, saya jawab sudah cukup dan kami sedang mempertimbangkannya.
Pukul 14.30 menjelang sore, kami tiba di penginapan sederhana di Jatinangor. Istirahat, setelah setengah hari mencari kos di Jatinagor. Tak ada setengah jam, layanan whatsApp istri ramai pertanyaan dari calo dan temannya. “Bagaimana Bu, apakah sudah menentukan kosnya? Kami masih bersedia mengantar lagi?”. Pesan dengan pertanyaan lain bagai teror ke hp istriku. Bila dijawab, pertanyaan lanjutan memberondong yang memusingkan kepala istriku dan mengganggu waktu istirahat.
Uang persenan masalahnya. Sepertinya, si pengirim pesan belum mendapat bagian. Kami mendiskusikan bagaimana menyelesaikan baik-baik. Bagaimana pun anak kami akan hidup di sana beberapa tahun, begitu pikir istriku. Kami menelpon Teteh pemilik kosan dan menceritakan kondisinya. 15 menit berlalu dan alhamdulliah Teteh memberitahu kami bahwa ia bersama suaminya telah menyelesaikan urusan percaloan. Dan sebagai tokoh masyarakat desa, suami teteh akan menjaga keamanan penghuni kos nya. Syukurlah…
Pelajarannya, bila pembaca hendak berburu kos, cari informasi baik-baik sebelum ke TKP. Jangan mudah percaya ke orang yang baru dikenal. Mungkin, buat kesepakatan jelas, bila mencari kos bersama orang baru dikenal. Sebaiknya, petugas keamanan kampus ikut memperingatkan pihak-pihak yang memanfaatkan ketidaktahuan calon mahasiswa dalam pencarian kos misalnya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H