"Pendataan dengan PRA (participatory rural assessment), kegiatan pertama saya. Sebelumnya, saya tidak mengikuti kegiatan apa pun. Saya bangga, percaya diri, bebas berpendapat, serta keberanianku tumbuh. PRA penting, dengannya saya mengetahui kondisi desa dan tingginya jumlah disabilitas, yang tak tersentuh pendidikan. Saya bisa duduk setara dengan masyarakat lain. Data yang tergali mencerminkan semua kelompok, terutama perempuan disabilitas akar rumput yang memiliki kebutuhan berbeda", ungkap Ibu Nurahidayati berkaca-kaca.
Tak terbayang sebelumnya, Ibu Nurhidayati (penyandang disabilitas), warga desa Kesamben Kulon, kab. Gresik, Jawa Timur, duduk diantara perwakilan desa di forum penggalian data sebagai bahan penyusunan program pembangunan. Selama ini, ia dan kelompok rentan lain belum menjadi bagian pendataan. Â Â
Penggalian data dengan metode PRA (participatory rural appraisal) berperspektif GEDSI (kesetaraan gender dan inklusi social) disingkat "data GEDSI", mewadahi terwujudnya data inklusif mewakili semua dimensi masyarakat. Pendataan juga berkontribusi membangun kesadaran gender dan inklusif, menghapus diskriminasi antar peserta, dan mengawal kepentingan semua pihak serta memastikan tindakan khusus bagi kelompok marginal.
Sepanjang April -- Oktober 2022, Institut KAPAL Perempuan bekerjasama dengan 8 mitra, didukung Program INKLUSI-DFAT, menggali data GEDSI menggunakan PRA di 9 desa, 10 kabupaten/kota dan 9 provinsi.Â
Kelompok masyarakat terdiri; lansia, remaja, petani, nelayan, mantan buruh migran, pelaku usaha, bidan, guru, kelompok waria, perangkat desa, pendamping desa, BPD (Badan Perwakilan Desa), Bumdes, perempuan miskin, disabilitas dan kelompok marjinal, aktif berbagi pengalaman dan pengetahuan di sana. Alat penggaliannya meliputi; aktivitas harian, ranking sosial-ekonomi dan peta desa. Penggalian diperkuat dengan studi dokumen dan wawancara mendalam.
Bappenas (Badan Perencanaan Pembanbunan Nasional), Kementrian (PP dan PA, Desa dan daerah tertinggal, dan Dalam Negri), secretariat nasional TPB (Tujuan Pembangunan Berkelanjutan), dan aktifis perlindungan social, mengapresiasi pendataan pada "Seminar dan Dialog Kontribusi Data Participaty Rural Appraisal (PRA) Terhadap Peningkatan Akses Perempuan Akar Rumput, Disabilitas dan Kelompok Marjinal", Kamis, 29 Desember 2022 secara on line.Â
Data GEDSI yang tersaji di seminar menggambarkan kompleksitas kondisi Indonesia. Seolah ia bercerita potret Indonesia yang terdiri berbagai suku, budaya dan kepulauan membutuhkan aneka strategi dan program. Kisah NR, contoh kompleksitas data di wilayah kepulauan.
NR (bukan nama asli) perempuan dissabilitas peserta PRA di pulau kab. Pulau Morotai, Maluku Utara. Ia disabilitas fisik dan korban perkosaan saat usianya 16 tahun hingga hamil, sehingga dikawinkan. NR mengalami siksa batin karena menjalani perkawinan dengan pemerkosa selama 2 tahun. Tragisnya, suami berselingkuh dan melakukan KDRT kepadanya hingga bercerai tanpa surat resmi.Â
Kini ia merantau ke kab. Morotai dan menikah lagi meski suaminya meninggal dunia kemudian. Usianya menginjak 40 tahun dengan status perempuan kepala keluarga bersama anak, tiga saudara perempuan dissabilitas fisik, dua orang tua dan tiga saudara tak beridentitas hukum. Ia dan keluarga tak menerima bansos karena tidak terdaftar di data penduduk miskin (sumber; Institut KAPAL Perempuan; 2022).
Kompleksitas Indonesia tidak cukup digambarkan dengan data kuantitatif melalui survey nasional misalnya. Survey menggambarkan kecenderungan umum dan belum memoret kompleksitas. Gambaran riil lapangan, bahan berharga penyusunan program tepat sasaran.
Data Yang Berkonteks
 Data yang menggambarkan kondisi subyeknya tak berdiri di ruang hampa. Kala subyek data tergali, konteks penyertanya pasti mengiringi. Itu yang terjadi di penggalian data PRA perspektif GEDSI. Keanekaragaman Indonesia melatarbelakangi penggalian, seperti; daerah pegunungan dan pegunungan terpencil, pesisir, wilayah rentan bencana alam dan kehutanan, pulau terpencil, desa adat, desa terpencil dan terluar, dsb. Umumnya akses jalan yang rusak, licin, curam, ancaman binatang buas, perkebunan kelapa sawit, tak berlistrik dan air bersih, perahu terbatas dan jalan tergantung cuaca, potensi banjir, rob, longsor, dsb.
Hasilnya, PRA perspektif GEDSI menemukan jumlah data lebih besar dari sumber dokumen di desa. Contohnya, 399 orang dissabilitas di 9 desa yang belum masuk data resmin, 146 kasus perkawinan anak, 745 kejadian kekerasan terhadap perempuan (termasuk anak Perempuan), dsb. Tak jarang, PRA menemukan kasus tidak terungkap seperti; KDRT (kekerasan dalam rumah tangga), kemiskinan ekstreem, beban kerja berlebih, tak memiliki identitas hukum, minim akses bantuan social, buta huruf perempuan, dan Kepala Keluarga Perempuan, dsb (sumber; presentasi hasil PRA oleh Institut KAPAL Perempuan, 2022)
Data yang digali bersama seluruh perwakilan masyarakat laksana cermin kisah nyata kehidupannya. Masyarakat penyusun terasa memiliki. Pejabat (pemerintah desa, RT dan RW serta kepala kampung) terupdate situasi anyar dan kondisi nyata lingkungan dan warganya.
Penulis merasakan antusiasme warga dalam penggalian, kala terlibat PRA di desa Sesait, Kec. Kayangan, kab. Lombok Utara, 13 -- 15 Juni 2022. PRA difasilitasi LPDSM dan Institut KAPAL Perempuan di Bale Sangkep, bruga berbentuk rumah panggung bambu dengan pelataran indah. 40 orang dari unsur desa hadir terdiri; 14 Kawil (kepala wilayah), guru, petani, bidan desa, pelaku usaha mikro, guru PAUD, buruh tani, eks buruh migran, remaja, lansia dan disabilitas tuna runggu dan tuna wicara. PRA dibuka Ibu Desa dan sekdes hadir sore hari.
Warga memulai PRA dengan mempraktekan alat kaji aktifitas harian untuk mendalami aktivitas istri, suami, anak perempuan, anak laki-laki di keluarga. Di sini, masyarakat mampu membedakan kegiatan produktif dan reproduktif, dan pembagian peran suami, istri, anak perempuan, anak laki-laki di keluarga. Aktivitas harian menggambarkan kegiatan 24 jam anggota keluarga yang menunjukan beban masing-masingnya. Tingkat keadilan beban kerja setiap anggota keluarga terpotret jelas.
Informasi ini bahan masyarakat menggambar peta desa, rangking sosial ekonomi, serta memasukannya di tabulasi data. Data yang memerlukan pendalaman dilakukan dalam wawancara dan FGD (diskusi terfokus). Kini, desa pun memiliki data riil warganya yang disusun partisipatif.
"Pendataan PRA ini luar biasa. Semua unsur dilibatkan. Manfaatnya menghasilkan data pilah gender secara detail, data dissabilitas dan kelompok marjinal beserta kerentanan yang selama ini belum ada. Sebagian tak beridentitas hokum. Masyarakat tak memiliki identitas hukum berdampak ke penerimaan bansos. Ini bahan advokasi kami ke dinas terkait. Data akan kami gunakan sebagai perencanaan desa", ungkap Pak Munirep, kepala desa Lenek Kalibambang, kab. Lombok Timur, menanganggapi presentasi data PRA di seminar.
Kontribusi Data GEDSI Bagi Pendataan NasionalÂ
Bappenas, Kemen PP dan PA, Kemendesa, Kemendagri, sekretariat nasional TPB Bappenas dan aktifis mengapresiasi data GEDSI. Sekretariat nasional TPB mengajak Institut KAPAL Perempuan membenahi data GEDSI guna masuk "Dashboard SDGs", khususnya form 6 "pelaporan best practices" dan No.9 "peluang replikasi".
Deketahui, 20 Desember 2022, Bappenas meluncurkan Dashboard SDGs, platform digital visual dan analisis data capaian indikator TPB. Di plafom terdapat; pemutahiran data capaian, penampilan indikator, penambahan fitur analitik bagi pemangku kepentingan, Integrasi dengan repositori praktik baik, dan pengembangan interoperabilitas data (Vivi Sulaswati, 2022). Dasarnya Perpres No. 111 Tahun 2022 tentang pelaksanaan pencapaian TPB yang menekankan prinsip "Inklusifitas". Yaitu pelibatan pemerintah dan non pemerintah seperti; kementrian dan lembaga, filantropi, pelaku usaha, akademisi, ormas, LSM, dsb.
Cara lain adalah memasukan berbagai rumusan program berdasar data GEDSI di matrik pemerintah sebagai prasyarat ide untuk diadopsi di perencanaan pembangunan negara. Â Diantaranya penyusunan RPJMN (rencana pembangunan jangka menengah nasional) dan RPJMD, serta roadmap, metadata, RAN dan RAD TPB, hingga RPJMN 2025-2029 dsb. Meski belum diatur secara nasional, di desa dimana data GEDSI diadakan, kepala desa mengintegrasikannya di programnya, seperti cerita Pak Munirep di desa Lenek Kalibambang. Sinergi alamiah tercipta di beberapa desa. Apakah kondisi ini memerlukan orkestrasi? penulis tidak bisa menjawab...
 Di lain pihak, tgl 15 Oktober-14 November 2022, Bappenas melakukan Registrasi Sosial Ekonomi dikenal Regsosek. Yaitu upaya pemerintah dalam membangun data kependudukan tunggal (single data) sehingga program pembangunan terintegrasi, tidak tumpang tindih dan efesien (sumber: https://www.bps.go.id/regsosek). Tujuh tahapan regsosek; ruang lingkup, tahapan pendataan, koordinasi dan konsolodasi, penyiapan basis data, pengumpulan data, pengolahan data, dan konsultasi publik. Di titik ini, data GEDSI saling melengkapi.
Perlu dicatat, meski penurunan kemiskinan secara nasional tercapai (lihat data BPS). Namun bila kita telisik secara agregat di kab, kecamatan hingga desa, maka temuan data malah sebaliknya. Di sini, sinergisitas antara data GEDSI -- khususnya di level mikro -- untuk targeting bisa saling melengkapi dengan PBDTK 2015 (DTKS) dan Regsosek 2022, serta "best practices" untuk data makro nasional. Semoga...
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H