Di masyarakat patriarkhi, laki-laki menikmati banyak keuntungan di satu sisi, namun di pihak lain mereka terbebani bila tak mampu memenuhinya. Istilah sekarang, ia menghadapi "toxic masculinity”. Yaitu pressure budaya bagi laki-laki untuk bersikap dengan cara atau nilai yang dianggap harus ada di dirinya, seperti; kuat, berkuasa, berwibawa, berpenghasilan (sumber;https://www.alodokter.com/toxic-masculinity-ini-yang-perlu-kamu-ketahui).
Pertanyaannya, bila dalam kondisi tertentu, laki-laki tak mampu memainkan peran gender itu? Bagaimana respond masyarakat dan laki-laki serta perempuan di masyarakat patriarkhi ?
Peran Laki-laki Setelah Menikah
Saat menikah, kondisi sosial memberikan tiga peran bagi laki-laki, yaitu; pemimpin (leader), pencari nafkah (provider) dan pelindung (protector). Persoalannya, apakah peran ini mudah dijalankan laki-laki? Sebagian pria mampu menjalani, namun yang lain merasa berat menunaikanya. Di sini, laki-laki seolah berada di situasi konflik antara citra ideal dan kondisi aktual yang diidealkan masyarakat (Hasyim dkk, 2009).
Ini persis yang dialami Hasbullah diatas. Masyarakat dan keluarga istri memandang dialah pencari nafkah utama keluarga. Kala penghasilann tak menentu, ia menghadapi dilema. Harapan social tak sesuai dengan kondisi aktual. Meski istri memahami kondisinya, namun keluarga besar menuntut peran gender laki-laki – sebagai pemilik penghasilan tetap. Tragis, keluarga istri memintanya hengkang darinya.
Lebih jauh, peran lak-laki sebagai suami sering disempitkan pada pemenuhan kebutuhan material-fisik keluarga. Perannya dalam mendidik anak di rumah direduksi pada pemastian kepatuhan anak dan pemberian sangsi kala ia bersalah. Reduksi peran laki-laki sebagai suami seperti itu berdampak buruk dalam hubungan berkeluarga. Kehangatan hubungan yang inten jarang terjalin antara suami dengan anak.
Sementara perempuan sebagai istri, yang berperan gender mengasuh anak di domistik, membuatnya memikul beban berlipat. Apalagi bila ia memiliki bisnis, pastinya beban ganda ditanggungnya.
Padahal kala suami ditanya, untuk apa dia bekerja giat? Jawabannya tertuju kepada kebahagiaan anak dan istri. Refleksinya, bila anak dan istri tidak happy, akibat pemaknaan sempit peran suami, bukankah ini bertentangan dengan keinginan laki-laki?
Makanya, perempuan dan laki-laki (kesalingan) sama-sama harus menciptakan kondisi yang adil gender, mulai dari domistik hingga publik. Kesepakatan dan dialog yang demokratis serta adil antar keduanya adalah kunci.
Dari pihak laki-laki, ia wajib mendorong berbagai upaya menuju kesetaraan dan keadilan gender melalui peran suami, bapak, tokoh masyarakat, dan pengambil kebijakan.
Laki-laki sebaiknya menjalan tiga peran berikut; pertama, mengubah cara pandang atas peran laki-laki dan perempuan. Kedua, aktif mempromosikan dan mempraktikkan konsep laki-laki yang setara, adil dan anti kekerasan. Ketiga, terlibat aktif dalam aksi menyuarakan kesetaraan dan keadilan serta melawan segala kekerasan terhadap perempuan dan anak.