Kata "penganekaragaman pangan dan pangan lokal" mengesankan peran pemerintah hanya mengoptimalisasi. Pangan lokal tidak didorong sebagai pangan pokok daerah. Peta jalan pangan lokal pun hingga kini belum tersusun.
Padahal, Indonesia kaya pangan lokal. Badan Ketahanan Pangan, Kementrian Pertanian, mencatat sumber daya pangan Indonesia sebagai berikut; ada 100 jenis sumber karbohidrat, 100 jenis kacang-kacangan, 250 jenis sayuran, 450 jenis buah-buahan.Â
Potensi pangan lokal menjadikan Indonesia nomor tiga terbesar di dunia dalam keanekaragaman hayati (biodiversity). Keanekaragaman merupakan faktor keberhasilan kedaulatan dan ketahanan pangan.
Dalam sejarahnya, warga nusantara memiliki pola konsumsi pangan yang beragam, seusia kekayaan sumber daya lokal daerahnya (KEHATI, 2019). Contohnya, model lumbung pangan di masyarakat adat Baduy, Ciptagelar, dan Minangkabau, merupakan kearifan lokal berbasis keberagaman.Â
Begitu pula system pertanian tradisional yang ramah varietes tanaman pangan, sistem budidaya hutan dan praktek pertanian berbasis ekologi di desa Wa Yagung, Binuang, Data Dian dan Long Metun kab. Malinau dan kab. Nunukan Kalimantan Utara dan desa di Kalimantan Tengah (WWF Indonesia, 2018).Â
Selain itu, pengembangan sorgum di Pulau Flores, Nusa Tenggara Timur, dan pengembangan sagu di Papua dan berbagai jenis pangan lokal lainnya. Data Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN), memperkirakan 20-30 juta jiwa masyarakat adat bergantung pengambilan pangan dari hutan dan laut sekitar rumahnya.
Sementara itu, industri yang mengolah pangan lokal minim. Hingga 2020, baru beberapa industri berbahan baku pangan local berdiri. Di antaranya; industry ubi kayu di kab. Lampung Timur dan kab. Grobogan, dan sagu di kab. Kepulauan Meranti (Riau), kab. Karimun, kab. Marauke, kab. Seram bagian Timur (Maluku), serta Jagung di kab. Pangkep, kab. Gorontalo, kab. Kupang. Artinya, pengelolaan pangan lokal mengandalkan peran masyarakat lokal secara turun menurun. Â
Berdasarkan praktek dari lapangan, minimal ada empat prinsip pangan lokal sebagai ketahanan pangan. Di antaranya pertama, pangan bersifat lokal yang berarti budidayanya menggunakan benih unggul dan plasma nutfah pangan lokal, serta pengambilannya dari hutan dan laut dengan menerapkan kearifan lokal.Â
Pengelolaan daur-hidup pangan memanfaatkan cara dan teknologi lokal, dengan mendayagunakan modal sosial setempat, dan pengkonsumsianya mengutamakan keberagaman pangan berbasis sumber daya pangan setempat.
Kedua, lestari yang bermakna alami, berkelanjutan, keragaman pangan, varietas lokal, dan menyimpan lebih sedikit limbah pangan, serta ramah lingkungan.Â
Ketiga, pangan juga memenuhi aspek kesehatan, seperti; bergizi, berkualitas, tidak diproses berlebihan, segar, bersih, aman, tidak mengandung pengawet yang tidak alami.Â