Peter Mc Donald (dalam "Domistik Violance Handbook", 2010), menyatakan bahwa tindakan KDRT dilakukan sebagai taktik atau strategi pelaku untuk mendapatkan dan menjaga "kekuasaan" dan "kontrol" nya terhadap pasangan dan anaknya ("men use violence and abuse as a tactic to gain or maintance power and control over partner and children"). Gambaran ini diperkuat temuan Rifka Annisa, bahwa profil kebanyakan pria pelaku kekerasan rumah tangga senada dengan lukisan tersebut.Â
Di sini laki-laki menghinggapi paham "maskulinitas". Yaitu suatu stereotype tentang laki-laki yang sering dapat dikontraskan dengan stereotype perempuan (feminimitas). Pertentangan antara maskulin dan feminim ini membentuk garis lurus dimana setiap titiknya menempatkan derajat kelaki-lakian (maskulinitas) atau keperempuan (feminimitas) (lihat Laki-laki Baru).
Contohnya, laki-laki dilekatkan untuk selalu kuat. Ia harus menjadi pemimpin keluarga. Ia tabu untuk merasa lemah dihadapan perempuan dan anak. Penghasilan laki-laki "harus" lebih tinggi dibanding pasangannya.Â
Kemudian, ia juga merasa berkuasa dan mengontrol atas pasanganya. Bahkan hampir 87 % laki-laki mengatakan bahwa ia merasa menjadi laki-laki sesungguhnya bila dirinya kuat dan "taf" (lihat data survey AUSAID dan Canada fund, dan lembaga international lainnya tahun 2016). Oleh karena itu, pada kasus KDRT, biasanya laki-laki tidak mengaku bersalah. Ia menyanggah dengan mengatakan bahwa hal itu terjadi karena pasanganlah yang  "memprovokasi".
Relasi yang tidak adil -- salah satu faktor -- mendorong maraknya KDRT. Survei AUSAID di atas juga mengatakan bahwa 1 dari 10 laki-laki (secara global) pernah melakukan kekerasan terhadap perempuan dalam hidupnnya. Untuk mengurangi kekerasan terhadap -- khususnya kepada perempuan -- berbagai lembaga pendamping korban KDRT telah mengusulkan.Â
Diantaranya; penghukuman terhadap pelaku KDRT, mengubah budaya bahwa kekerasan tidak boleh digunakan dan diterima publik, budayakan kesetaraan dan keadilan gender, promosikan banyaknya laki-laki yang non-violence, budayakan pendidikan anak yang sehat di keluarga dan publik, mempromosikan kehidupan seks yang sehat -- dengan pernikahan misalnya --, serta membudayakan relasi yang adil dan bermartabat antara laki-laki dan perempuan di segala bidang.
Dalam konteks ini, penulis mengusulkan -- selain program bagi korban KDRT -- program bagi pelaku KDRT juga penting. Program bagi pelaku dilakukan dengan mengintegrasikan perspektif kesetaraan dan keadilan gender.Â
Banyak negara -- terutama di negara maju -- bila hakim memutuskan bahwa pelaku KDRT bersalah, maka pelaku harus melakukan "konseling" kepada lembaga yang ditunjuk. Bila tidak, maka hukumannya diperberat dan tidak boleh menemui pasangannya.
Di Indonesia, UU No. 23 Tahun 2004 tentang Penghapusan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (PKDRT), pasal 50, ayat b, mengamanatkan pelaku melakukan hal tersebut. Disebutkan bahwa "selain pidana sebagaimana dimaksud dalam bab ini hakim dapat menjatuhkan pidana tambahan berupa; b, penetapan pelaku mengikuti program konseling di bawah pengawasan lembaga terntentu".Â
Namun sayangnya hingga kini, aturan yang mengatur mekanisme teknis bagaimana program konseling dilakukan belum dibuat pemerintah.
Diharapkan dengan penanganan paralel terhadap korban dan pelaku kekerasan berbasis gender, fenomena kekerasan tidak mudah terulang di masa depan.Â