Kesehatan reproduksi bukan problem perempuan semata, namun pasangan dan juga negara dalam pemberian layanannya. Lebih jauh, problematika perempuan di kesehatan reproduksi menjadi gambaran bagaimana situasi perempuan secara makro. Sehat bukan saja bermakna klinis, namun memiliki arti sosial. Perempuan dibilang sehat tidak hanya memiliki tubuh dan  jiwa yang sehat, namun bagaimana lingkungan sekitar (budaya, kebijakan negara, program, dsb) mendukungnya dengan baik. Maka bila ketidakadilan masih terus menimpa perempuan ranah sosial, maka kesehatan reproduksi menjadi areal terdampak lainnya.Â
Di sinilah semua kalangan harus bersinergi memperbaiki perlakuan terhadap politik kesehatan reproduksi manusia. Di dalam tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs) nomor 3.7, diharapkan tahun 2030, negara menjamin akses universal terhadap layanan kesehatan seksual dan reproduksi, termasuk keluarga berencana, informasi dan pendidikan, dan integrasi kesehatan reproduksi ke dalam strategi dan program nasional.Â
Tujuan ini memiliki indikator adanya proporsi perempuan usia reproduksi (15-49 tahun) atau pasangannya yang memiliki kebutuhan keluarga berencana dan menggunakan alat kontrasepsi metode modern. Dan angka prevalensi penggunaan metode kontrasepsi (CPR) semua cara pada Pasangan Usia Subur (PUS) usia 15-49 tahun yang berstatus kawin, serta angka penggunaan metode kontrasepsi jangka panjang (MKJP) cara modern).
Dari sini jelas, bahwa kemauan semua pihak -- terutama negara -- layak ditunggu. Bila ingin melihat bagaimana politik perempuan dikelola, maka -- salah satunya -- lihatlah bagaimana pengaturan politik kesehatan reproduksi oleh negara dengan baik.Â