Mohon tunggu...
IDNations.com
IDNations.com Mohon Tunggu... Karyawan -

Blog gado-gadonya Indonesia

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Pergeseran ‘Makna’ Guru Spiritual

14 September 2016   14:44 Diperbarui: 14 September 2016   15:06 103
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
"Sumber foto: lipsus.kompas.com"]

Ramainya kasus AA Gatot alias Gatot Brajamusti yang ditahan polisi menyita perhatian masyarakat dan kalangan selebritas. Dikenal sebagai guru spiritual beberapa artis sekaligus ketua Persatuan Artis Film Indonesia (PARFI) justru malah berurusan dengan hukum lantaran mengonsumsi serta menyimpan narkoba jenis sabu dan memiliki senjata api ilegal juga memiliki satwa yang dilindungi.

Kasus ini mungkin mengingatkan kita dengan kasus Eyang Subur, guru spiritual artis Adi Bing Slamet. Konon Eyang subur memiliki banyak isteri hingga 25 orang! Waw! Tua-tua keladi juga yah. Hehehe

Kelakuan aneh dua guru spiritual tokoh publik apalagi yang menyeretnya ke masalah hukum sangat menyalahi arti guru spiritual sebenarnya.

Arti Guru Spiritual

Belajar bahasa sedikit, spiritual berarti hal-hal yang berhubungan dengan kejiwaan, rohani, atau batin. Kata spiritual juga merujuk pada hubungan manusia dengan Tuhan.

Dengan demikian guru spiritual dapat diartikan sebagai orang yang membimbing, mengajak, memberikan pemahaman dan mengamalkan segala jenis kebaikan yang diperintahkan Tuhan dalam ajaran agama.

Guru Spiritual selayaknya memiliki ilmu lebih dalam agama, memiliki tingkat kebatinan yang bersih, dan melakukan ajaran agama yang ia ajarkan tersebut. Rata-rata persyaratan memilih guru spiritual haruslah orang yang bersih hati, pikiran, serta zuhud terhadap keduniawian.

Seseorang yang memikirkan kenyamanan hidup tak bisa dijadikan sebagai guru. Kenyamanan hidup dengan pemenuhan kebutuhan manusiawi seperti harta, tahta, bahkan wanita.

Saat manusia sudah mengenali Tuhannya serta memahami hakikat hidup, maka yang dicarinya adalah ketenangan hidup dengan menjalankan perintah agama.

Seorang ulama lebih pantas dijadikan seorang guru untuk mencari ketenangan hidup. Seorang guru spiritual sebenarnya tak mungkin mengajarkan atau memerintahkan hal-hal yang bertentangan bahkan dilarang agama.

Berbeda dengan yang saat ini kita saksikan di hampir semua media masa (sebagai contoh dua orang di atas), semestinya tak layak mereka dianggap sebagai guru.

Ketenangan Batin dengan Keduniawian

Ketenangan batin dari proses muhasabah diri dan mendekatkan jiwa pada Sang Pencipta digantikan dengan proses memenuhi kepuasan kesenangan hidup. Saat hidup senang, di situlah hati tenang.

Lihatlah Eyang Subur, jika boleh bertanya apa tujuannya memiliki isteri yang jumlahnya melebihi aturan agama? Apalagi kalau tidak memenuhi kepuasan biologis (maaf: baca saja seksual). Bukankah Islam membatasi seorang pria hanya boleh memiliki 4 isteri?

Apakah setelah berhubungan seksual seseorang merasa tenang? Secara psikologis jawabannya YA, tapi hanya sementara.

Lihat juga Si AA yang dengan bangganya sebagai guru spiritual para artis, mestikah ketenangan hidup dengan menghisap sabu dan melakukan hubungan seksual dengan banyak perempuan? Entah benar atau tidak sobat bisa menilai sendiri.

Sobat bisa tanya sendiri ke mereka yang mengonsumsi narkoba atau pernah jadi pemakai narkoba, apakah mereka merasa tenang saat mengonsuminya? Saya dapatkan jawaban, YA, mengonsumsi narkoba membuat tenang tapi dalam arti negatif.

Ketenangan sementara dalam jajahan obat-obatan terlarang semakin menjerumuskan manusia dalam hidup tanpa arti, hidup penuh kegelisahan karena candu dan ketagihan.

Jadi, jika ada seseorang yang dilihat alim berilmu tinggi tapi memerintahkan hal seumpama tersebut di atas maka jauhilah dan jangan dijadikan guru untuk ketenangan batin.

Agama adalah satu-satunya jalan mencari ketenangan batin. Memilih guru spiritual tak hanya yang memiliki ilmu tinggi saja tapi bagamana orang itu mengaplikasikan ilmu tersebut dalam kehidupannya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun