Seperti tak ada jenuhnya masyarakat Indonesia disuguhi pemberitaan tentang Jessica, Mirna Wayan Salihin, Kopi Vietnam, dan Sianida.
Rasa penasaran pemerhati dan pengikut kasus ini belum juga hilang meski sudah berjalan selama 8 bulan tepatnya mulai 6 Januari 2016.
Kasus yang diduga kuat merupakan pembunuhan dengan sianida ini menghipnotis semua kalangan. Dari masyarakat biasa, akademisi, praktisi hukum, blogger, bahkan media-media besar cetak maupun elektronik.
Kepopuleran kasus kopi sianida sebetulnya sudah ada di kasus berbeda yang pernah terjadi di negara kita. Coba kita ingat kembali kasus pembunuhan 'cangkul' di Tangerang, kasus pembunuhan Ade Sara, kasus Riyan Jombang, atau mungkin kasus mutilasinya Sumanto.
Kasus yang serupa dengan perkara Jessica adalah pembunuhan Akseyna (Ace) di danau UI karena sampai saat ini belum selesai, bahkan tak ada satu pun tersangka seperti Jessica.
Beberapa kalangan menganggap kepopuleran kasus orang 'kecil' hanya pengalihan isu dari kasus besar orang 'besar'. Katakanlah pejabat, penegak hukum, atau pengusaha yang korup. Bisa dimaklumi anggapan tersebut dan saya ingin sedikit menambahkan anggapan yang mudah-mudahan tidak menjadi hal yang buruk.
Hampir semua media 'besar' nasional di negara kita dimiliki oleh tokoh politik dan pejabat negara jadi saya kira wajar bila kita menganggap kecantikan kasus Jessica atau yang lainnya hanyalah pengalihan isu. Siapapun tak mau keburukan dirinya, keluarganya, atau orang-orang terdekatnya diketahui publik. Atau misalnya dalam penerapan kebijakan pemerintah yang mungkin 'ditolak' masyarakat Indonesia sehingga pemerintah menginstruksikan media menyiarkanberita-berita lain yang viral.
Terserah jika Anda atau saya beranggapan seperti itu. Kebebasan berpendapat zaman ini dijamin sepenuhnya.
Namun ada beberapa hal menurut penulis yang mungkin dilupakan kenapa Jessica makin cantik hari demi hari.
Pertama, masyarakat suka.
Kesukaan masyarakat terhadap kasus ini disebabkan banyak faktor. Kasusnya unik (tewas karena kopi), pembunuhan populer oleh racun sebelumnya adalah kasus tewasnya Munir, aktivis HAM. Kemudian kasus ini menyeret emosi penonton, bagaimana liku-liku persahabatan Jessica dan Mirna sejak kuliah di Aussie.
Bisa saja pembunuhan dilakukan karena cemburu Mirna menikah (katakan misalnya Jessica penyuka sesama jenis) yang diberitakan di media sebelumnya. Atau ada cinta segitiga yang terjadi antara mereka dan orang ketiga? Atau karena persaingan bisnis? Entahlah itu hanya anggapan.
Kedua, rating Jessica lumayan tinggi.
Selama delapan bulan kasus bergulir dan ditayangkan setiap hari di televisi membuat banyak orang mengemukakan perhatian dan pendapatnya dengan menulis artikel blog (seperti yang Anda baca sekarang), membuat gambar lucu (meme), bahkan membuat kopi bermerek 'Jessica'. Kreatif sekali kan bangsa kita dengan kasus kecil ini.
Karena masyarakat suka rating berita ini bertahan meski beberapa orang mungkin muak. Ingat hiburan terbesar jumlah penikmatnya adalah menonton televisi.
Ketiga, keuntungan media.
Inilah celah keuntungan besar untuk media dalam menyiarkan berita Jessica. Mendapatkan pemasukan dari iklan atas kepopuleran kasusnya. Jessica, keluarganya, bahkan ayah Mirna yang selalu menggebu-gebu mungkin tak sadar kasusnya 'dimanfaatkan' media.
Tak usah munafik, misal saya seorang blogger akan ambil bagian dengan harapan tambahan pageview dan klik iklan dalam artikel blog saya. Apalagi media televisi yang bayar iklannya bisa milyaran rupiah. Hmmmm.
Jadi kita mesti buang jauh pemikiran media hanya memberitakan berita informatif, mendidik, dan menghibur penonton.
Tuhan Yang Maha Tahu. Salam.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H