Terdengar kembali.
Suara teriakan mereka terdengar kembali.
Aku bertanya kepada diriku sendiri, "Bagaimana hal ini dapat terjadi? mengapa semuanya menjadi seperti ini?".Â
Aku berpikir ke diriku sendiri sambil mengambil pedangku dan melihat kedua temanku yang lain ditebas dan ditembak oleh tentara Belanda. Sang Pangeran dilecehkan dan dibuat menunduk pada petinggi Belanda."Mengapa hal ini diperbolehkan untuk terjadi?".Â
Pikirku terbawa ke saat saat dimana kami merasa bahwa kami memiliki kesempatan. Kesempatan untuk merebut kembali tanah ini dari para penjajah yang keji itu.
Hari itu seperti hari-hari sebelumnya. Aku sudah mendengar berita tentang jendral Smissaert, orang kompeni itu, yang akan membangun jalan dari Yogyakarta ke Magelang, cukup baik dari pihak mereka ingin membantu pembangunan di negeri ini. Aku bangun pagi itu menyapa pangeran di pekarangan istana."Pagi Setyo", sapanya dengan ramah, "Selamat pagi yang mulia", aku membalas sapaannya dengan penuh hormat, memang Pangeran Diponegoro adalah seorang yang terkenal bijak dan adil dalam pemerintahannya.Â
Aku kembali menjalankan tugasku sebagai penjaga istana pada pagi itu seperti yang biasa kulakukan selama 5 tahun terakhir ini. Bisa dibilang bahwa keadaan di istana memang tidak pernah begitu ramai, sedikit bagian dari diriku menginginkan sebuah petualangan yang besar akan terjadi, namun aku mengesampigkan pikiran itu karena petualangan itu juga bisa berarti sebuah hal buruk bagi keadaan kerajaan.
Siang itu begitu panas dan aku sedang berjaga didepan pintu gerbang istana ditengah teriknya matahari ketika aku mendengar suara kuda pangeran mendekati gerbang istana. Mukanya terlihat penuh amarah dan nada bicaranya menjadi lebih geram. "Berani sekali mereka itu! Mereka kira ini tanah mereka? Yang bisa mereka perlakukan sesukanya?", cetusnya dengan tegas kepada pejaganya sambil ia masuk kedalam istana.Â
Aku mencoba untuk mencari tahu apa sebab kemarahan sang pangeran, akhirnya aku mendapat kabar bahwa pembangunan jalan oleh jendral Smissaert itu ternyata mengalami pembelokan ke daerah sebelah timur Tegalrejo, disanalah dimakamkan almarhum leluhur dari sang pangeran, herannya lagi bahwa berita ini tidak disampaikan kepada pangeran sebelum patok-patok untuk membangun jalan itu ditanam ke tanah, hal ini yang membangkitkan murka dari sang pangeran. "Pergilah kalian ke Tegalrejo dan gantilah patok patok itu dengan tombak.Â
Aku tidak akan membiarkan orang-orang terkutuk itu mempermalukan tanah dan keluarga kita seperti ini.", perintahnya pada malam itu, di kerajaan ini memasang tombak seperti patok adalah simbol pernyataan perang. Maka aku dan rekan-rekanku pergi ditengah gelapnya malam dan mengganti kumpulan patok itu dengan tombak.Â
Ayam berkokok ketika kami selesai dan meninggalkan lokasi pembangunan jalan yang diubah menjadi sebuah pernyataan "Kami tidak terima tanah kami diperlakukan semena-mena", dan dengan terbitnya matahari aku menanti terjadinya pertumpahan darah antara orang-orang yang ingin melindungi negeri ini dan yang ingin mengambilnya untuk kepuasan pribadi.
Tidak lama waktu yang terlewat sampai kabar peperangan itu sampai ke seluruh pelosok kerajaan. Bahkan ke wilayah tetangga yang sepakat bahwa kita tidak akan diam saja dan membiarkan tanah ini direbut oleh bangsa asing, tanah ini milik mereka yang mendudukinya dan yang keluarga lepas keluarga telah bertetap di tanah ini sebagai penduduk setia, pengelola hasil bumi, dan yang jeri payahnya telah meresap kedalam tanah. "Tanah ini milik kita, bukan kompeni!", teriak para pemimpin dan sang pangeran setiap kali kita menyerbu atau diserbu oleh pasukan Belanda.
Dari Tegalrejo dimana kami berhasil lolos dari sergapan Belanda saat mereka membakar kediaman sang Pangeran. Perjuangan Jihad di daerah Jogjakarta dimana kami memukul mundur pasukan Belanda dari wilayah Jogja. Surakarta, Mataram, melewati padang rumput, hutan-hutan, kami memerangi serdadu belanda diatas bukit dan dibawah langit.
 Selalu terngiang-ngiang di kepalaku suara sang pangeran yang selalu berkata "Sadumuk bathuk, sanyari bumi ditohi tekan pati" artinya, "sejari kepala sejengkal tanah dibela sampai mati". Kami seperti akan mengirim pasukan Belanda kembali ke tempat mereka berasal, perasaan kemenangan, rasa bangga bahwa kami berhasil melindungi hak kami, semuanya itu terasa sangat nikmat.
Sampai surat itu datang.
Aku bersama sang pangeran baru saja kembali dari patrol kami ketika salah satu prajurit membawa kabar berupa sebuah surat. Surat tersebut dari petinggi Belanda jendral De Kock, berisi tentang keinginan mereka melakukan gencatan senjata yang akan diadakan di salah satu bentengnya. Melihat kesempatan ini sebagai kesempatan untuk kedamaian, sang pangeran setuju untuk menemuinya.Â
Tentu saja kami tetap siaga dan membawa banyak pasukan menuju benteng tersebut, melihat jika sedikitpun kami lengah, kami dapat kehilangan semua yang telah kami perjuangkan.Sesampainya di benteng tersebut kami disambut dengan senyuman hangat jendral De Kock yang mengajak sang pangeran dan beberapa penjaganya untuk masuk minum teh, sambil mendiskusikan tentang gencatan senjata.Â
Aku dipilih untuk ikut menjaga sang pangeran pada waktu itu, aku masih sempat bertanya kepada pangeran tepat sebelum ia masuk ke ruang makan, "Bagaimana kalau ini semua hanya tipu muslihat mereka untuk mendapatkan anda yang mulia? Bukankah itu hanya akan membuang sia-sia apa yang telah kita perjuangkan?" tanyaku kepada sang pangeran. "Apakah engkau lebih menginginkan perang dari perdamaian Setyo? Bukankah kita juga berjuang untuk mencapai perdamaian di tanah ini, seperti yang diinginkan oleh semua orang?", balasnya, memang ia adalah seorang yang sangat baik, seorang pangeran yang menginginkan hal terbaik bahkan bagi musuh-musuhnya.Â
Sialnya aku tidak dapat melihat apa yang terjadi setelahnya. Ditengah pembicaraan jendral De Kock langsung mengubah nada bicaranya." Pasukanmu telah dikkepung dari segala arah, benteng ini terletak ditengah kumpulan benteng lain yang akan menahan apapun yang ingin keluar atau masuk dari wilayah ini, engkau mungkin adalah pangeran yang baik, tetapi engkau kurang pengalaman." seketika itu ketiga penjaga Belanda didalam ruangan itu mengangkat senjata mereka dan bersiap untuk menyergap kami, salah satu dari mereka menembak rekan disebelahku dan aku kembali berpikir "Bagaimana ini bisa terjadi?".
Sang pangeran yang dibuat tidak berdaya oleh tipu muslihat jendral De Kock
Suara teriakan teman-teman seperjuanganku sambal nafas mereka diambil dengan paksa seperti apa yang akan terjadi pada tanah ini.
Apakah disini akhir semua yang telah kami perjuangkan?
"Tidak", pikirku , "Aku tidak terima ketidak adilan seperti ini!"
Aku mengangkat senjataku sambal berkata dengan nyaring. "AKU BERJUANG DEMI TANAHKU!".
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H