Hasil Sketsa Wajah Eyang Hasan Maolani
Bagi orang yang lahir dan menetap di desa Lengkong, kabupaten Kuningan, nama Eyang Hasan Maolani sudah sangat melekat di dalam sanubari mereka. Masyarakat Lengkong biasanya menggunakan istilah ‘eyang’ untuk menyebut nama Hasan Maolani. Dalam tata bahasa Sunda, istilah ‘eyang’ merujuk kepada orang yang dituakan dan menjadi sesepuh di sebuah lingkungan tertentu. Penyebutan ‘eyang’ yang dilakukan masyarakat Lengkong mempunyai makna penting bahwa seseorang bernama Hasan Maolani ini sangat dihormati dan dijadikan ikon kebanggaan masyarakat Lengkong.
Selain nama Eyang Hasan Maolani, masayarakat Lengkong biasa menyebutnya dengan nama Eyang Menado. Sejarah penyebutan Eyang Menado ini tidak lain karena Eyang Hasan Maolani diasingkan oleh kolonial Belanda ke wilayah jauh di pulau Sulawesi, sekitaran Menado. Khusus untuk penyebutan makam Eyang Hasan Maolani, masyarakat Lengkong biasa menyebutnya ‘Makam Rambut’. Mengapa dinamakan makam rambut? Karena sejatinya makam asli Eyang Hasan Maolani berada di tempat pengasingannya di pulau Sulawesi. Namun sebelum wafat, Eyang Hasan Maolani mengirimkan beberapa lembar rambutnya untuk dikubur di Desa Lengkong Kuningan, agar para generasi selanjutnya di Lengkong tidak memiliki beban berziarah jauh ketempat pekuburannya di Sulawesi.
Eyang Hasan Maolani yang kini sudah menjadi nama jalan lintas penghubung antara desa Lengkong di kecamatan Garawangi dengan desa Ancaran di kecamatan Kuningan ini, lahir di desa Lengkong pada hari Senin Legi, tanggal 22 Mei 1782 Masehi, atau bertepatan dengan tanggal 8 Jumadil Akhir tahun 1196 Hijriah. Dalam makalah umum yang biasa dibagikan panitia haul Eyang Eyang Hasan Maolani, disebutkan secara rinci bahwa Eyang Hasan Maolani lahir di sore hari setelah waktu ashar, sekitaran jam 5 sore. Beliau merupakan putra dari Kiai Bagus Lukman bin Kiai Syatar.
Lahirnya Eyang Hasan Maolani berada di tahun yang sama dengan wafatnya Syekh Panembahan Daqo, salah seorang ulama sepuh di desa Lengkong. Kejadian ini mengingatkan penulis akan kelahiran Imam as-Syafii, dimana beliau lahir di hari yang sama dengan meninggalnya ulama besar dunia Imam Hanafi. Peristiwa berbeda ini memberikan makna yang serupa. Kelahiran Imam as-Syafii dimaknai oleh ayahnya sebagai bentuk kemaha-kuasaan Allah dengan maksud sebagai bentuk pengganti kedudukan Imam Hanafi. Imam as-Syafii sudah diyakini akan muncul sebagai ulama besar yang meneduhkan kerongkongan umat Islam. Makna yang diberikan ayahnya ini terbukti dalam lembaran sejarah, bahwa nama Imam as-Syafii memiliki pengaruh yang sangat kuat dalam perkembangan keilmuan Islam, sejajar atau bahkan lebih besar dari Imam Hanafi.
Kejadian berbeda yang dialami Eyang Hasan Maolani dengan Imam as-Syafii penulis maknai dengan hal yang sama, bahwa kelahiran Eyang Hasan Maolani ini memiliki makna bahwa Allah sedang memberikan pengganti perjuangan bagi masyarakat Lengkong. Allah sedang mengganti generasi perjuangan dari yang sebelumnya diemban Syekh Panembahan Daqo, digantikan oleh Eyang Hasan Maolani yang kelak namanya lebih meluas dari Syekh Panembahan Daqo.
Tak jauh berbeda dengan kehidupan anak-anak lain di desa Lengkong, Eyang Hasan Maolani kecil tumbuh normal ditengah-tengah masyarakat. Hanya saja, Eyang Hasan Maolani kecil sudah dikenal oleh masyarakat sebagai anak yang gemar menuntut ilmu. Lingkungan desa Lengkong yang pada masa itu terkenal sangat Islami, memberikan jalan mulus bagi Eyang Hasan Maolani mempelajari ilmu-ilmu dasar keagamaan. Tidak banyak dijelaskan guru-guru Eyang Hasan Maolani ketika masih kecil. Sanad keilmuan Eyang Hasan Maolani mulai tertulis di era remaja ketika beliau menuntut ilmu keluar desa.
Dalam makalah yang disebarkan panitia haul Eyang Eyang Hasan Maolani pada tahun 2009, dijelaskan beberapa kiai yang pernah menjadi guru keilmuan Eyang Hasan Maolani, antara lain:
- Kiai Alimudin, dari Pangkalan.
- Kiai Sholehudin, dan Kadugede.
- Kiai Kosasih, dari Kadugede.
- Kiai Bagus Arjaen, dari Rajagaluh.
Hasil belajar dari kiai-kiai tersebut, Eyang Hasan Maolani mewarisi tradisi keilmuan Ahlussunnah wal Jamaah. Beliau mengikuti Imam al-Asy’ari dalam madzhab aqidah, mengikuti Imam asy-Syafii dalam fiqh, serta beliau mengikuti dan pro-aktif mengikuti tarekat Syathariyah.
Selesai belajar ilmu agama di banyak pesantren, Eyang Hasan Maolani kemudian menikah dengan seorang gadis bernama Murtasim binti Kiai Arifah yang berasal dari Desa Garawangi. Mustasim ini jika dirunut nasabnya, masih merupakan keturunan dari Lengkong, karena Kiai Arifah ini merupakan putra dari Kiai Khatib Syaribah yang merupakan menantu dari Kiai Bagus Arsyam/Nyai Buyut Jembar Lengkong.
Hasil pernikahannya dengan Murtasim, Eyang Hasan Maolani dikaruniai 11 anak, yaitu:
- Hasan Imrani;
- Mu’minah;
- Ruqoyah;
- Imamudin;
- Ajam;
- Muhammad Hakim;
- Nashibah;
- Marhamah;
- Muqimah;
- Muhammad Abshori;
- Muhammad Akhyar.
Setelah Eyang Hasan Maolani merasa cukup akan penguasaan ilmu agama dan bermukim di Desa Lengkong, banyak santri yang mulai berdatangan untuk menimba ilmu kepada beliau. Dalam setiap tahun, jumlah santri Eyang Hasan Maolani terus bertambah.
Dengan bertambahnya jumlah santri inilah, pengaruh Eyang Hasan Maolani semakin meluas. Di sela-sela pengajiannya, Eyang Hasan Maolani selalu mengingatkan para santrinya bahwa upaya perlawanan terhadap segala bentuk penjajahan—termasuk pendudukan yang dilakukan kolonial Belanda—merupakan upaya jihad yang diridhai Allah.
Semakin kuatnya pengaruh Eyang Hasan Maolani, semakin berkembang pula ide-ide jihad yang tertanam di benak santrinya. Hal ini yang membuat pihak Belanda merasa terancam akan kehadiran Eyang Hasan Maolani, sehingga untuk mencegah perluasan pengaruh yang semakin besar, pihak kolonial Belanda resmi menahan Eyang Hasan Maolani pada tanggal 9 April 1841 (17 Shafar 1257).
Dalam sudut pandang Belanda, pengaruh Eyang Hasan Maolani ini dianggap cukup luas dan bisa membahayakan eksistensi pemerintahan kolonial. Atas berbagai macam pertimbangan, Eyang Hasan Maolani kemudian diasingkan ke daerah sekitaran Manado, Sulawesi Utara, bersama dengan para tahanan lain yang merupakan gerilyawan perang Diponegoro yang dikomandoi Kiai Mojo.
Penghujung hayat Eyang Hasan Maolani dihabiskan di tempat pengasingan. Namun sebelum wafatnya Eyang Eyang Hasan Maolani pada tanggal 29 April 1874, beliau mengirimkan beberapa lembar rambutnya untuk dikubur di tanah kelahirannya, Lengkong, dengan maksud agar keturunannya kelak tidak memiliki beban ziarah hingga Sulawesi Utara.
========================
Oleh : Idik Saeful Bahri, S.H., M.H.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H