Artikel kami kemarin mendapat respon beragam, melalui inbox. Ada yang mempertanyakan identitas kami, ada yang mempertanyakan dasar argumen kami bahkan dengan mengatakan bahwa penetapan tim seleksi bakal calon ketua sudah sesuai AD / ART.
Baiklah kami akan jelaskan secara lebih terbuka, satu per satu dalam beberapa artikel. Ini artikel pertama.
Hak Pilih merupakan Hak Asasi Anggota
Kata Demokrasi berasal dari bahasa Yunani yang berarti "pemerintahan oleh rakyat". Â Dalam konsep demokrasi, hak pilih (hak memilih dan dipilih) adalah hak paling asasi setelah hak untuk hidup.Â
Hak pilih merupakan hak paling sakral dalam demokrasi, oleh karenanya pembatasan atau penghilangan hak ini harus dilakukan oleh mekanisme pengambilan keputusan yang paling merepresentasikan suara seluruh anggota.
Dalam konteks IDI, mekanisme yang paling merepresentasikan suara seluruh anggota adalah Muktamar. Dalam konteks negara, pengaturan pembatasan atau penghilangan hak pilih hanya diatur dalam Undang-Undang Dasar (UUD), Undang-Undang (UU) atau Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu). Baik UU maupun Perpu dibuat melalui persetujuan Eksekutif dan Legislatif (artinya merepresentasikan kedaulatan rakyat).
Hanya pemerintahan yang otoriter yang akan menerbitkan peraturan yang membatasi atau menghilangkan hak-hak pilih warga negara.
Dalam hal pelaksanaan Pemilu misalnya, pemerintah yang demokratis akan menerbitkan aturan pelaksanaan yang sifatnya aplikasi dari UU atau UUD.
Misal, peraturan bahwa calon presiden (capres) adalah warga negara Indonesia akan diterapkan dalam bentuk meminta bukti kewarganegaraan (KTP).Â
Pemerintah, misalnya, tidak bisa menetapkan bahwa Capres harus Orang Indonesia Asli. Â Karena pasal 6 UUD hanya menyebutkan : "Calon Presiden dan calon wakil presiden harus seorang warga negara Indonesia sejak kelahirannya.....dst" . Tidak ada kata "Asli" dalam pasal tersebut.
Syarat lain yang membatasi hak seorang warga dipilih sebagai capres seperti syarat bahwa capres/cawpres berusia minimal 40 tahun, diatur dalam UU Pemilu. Bukan diatur oleh peraturan pemerintah atau peraturan KPU.  Syarat  ini pun sebenarnya masih bisa digugat uji materi.
Poin pentingnya, Penguasa /Eksekutif tidak bisa menetapkan peraturan yang sifatnya membatasi hak pilih warga. Karena bila demikian yang terjadi maka akan berpotensi terjadi penyalahgunaan kekuasaan dan otoritarianisme.
Demikian pula dalam konteks IDI, pengurus PB IDI (Penguasa) tidak bisa menerbitkan peraturan yang membatasi atau menghilangkan hak pilih anggota. Â Bila hal ini dibiarkan terjadi maka kita membiarkan terjadinya penyalahgunaan wewenang dan berpotensi melahirkan oligarki dalam organisasi.Â
Kita ambil contoh syarat calon ketua terpilih IDI, dalam ART telah jelas disebutkan dalam pasal 10, yaitu (1) anggota biasa yang dibuktikan dengan KTA IDI yang masih berlaku (2) menyatakan kesediaan secara lisan, menyampaikan Curriculum Vitae dan visi misinya (3)Pernah menjadi Pengurus IDI, dan (4) tidak sedang dalam masalah etika disiplin dan hukum.
Syarat selanjutnya adalah  telah melewati proses penjaringan oleh tim seleksi IDI. Mekanisme penjaringan ini harus diatur dalam Pedoman Tatalaksana Organisasi (dulu dikenal sebagai Ortala). (Pasal 10 ART ayat 5 dan 6)
Tidak ada Ortala terbaru, lalu bagaimana?
Karena ketiadaan Ortala yang mengatur tim seleksi, maka pengurus IDI menggunakan kewenangannya untuk membentuk tim seleksi dan mekanisme penjaringan.Â
Salah kah? Jawabannya tidak seluruhnya salah.
Dalam kekosongan aturan semacam ini, PB berhak menetapkan aturan selama tidak melanggar aturan di atasnya. Â Artinya :
- PB berhak membentuk tim seleksi
- PB Tidak berhak membuat aturan baru tentang kriteria calon ketua IDI.
Kriteria penjaringan bakal calon ketua terpilih seharusnya adalah kriteria yang lebih luas dari kriteria calon ketua terpilih IDI versi ART. Â Misal :
- Syarat ART : "Anggota Biasa yang dibuktikan dengan KTA aktif". Maka PB IDI bisa membuat aturan penjaringan hanya berupa "punya KTA". Â Syarat "punya KTA" lebih luas dari syarat "KTA Aktif"
- Syarat ART : "menyampaikan kesediaan lisan, visi misi dan curriculum vitae". Maka PB IDI bisa membuat aturan penjaringan hanya berupa "bersedia menjadi calon ketua IDI terpilih".
- Syarat ART : "perna menjadi pengurus IDI ". Â Maka PB IDI bisa menerapkan syarat penjaringan yang sama, tapi tidak bisa misalnya menambahi ketentuan misalnya "pernah jadi pengurus IDI minimal setingkat Ketua Bidang".Â
Memakai logika awam, namanya penjaringan tentu harus lebih luas atau lebih ringan daripada proses utamanya.Â
Penjaringan tidak boleh lebih "selektif" daripada proses utamanya. Â
Proses utama seleksi ketua IDI adalah sepenuhnya hak Cabang (mewakili anggota), Â ini hak memilih.
Menjadi calon ketua IDI adalah hak setiap anggota, ini hak dipilih.
Pembatasan dan penghilangan hak pilih hanya boleh dilakukan oleh forum tertinggi organisasi.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H