Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Hukum Pilihan

Political Will Penanganan Koruptor

12 September 2022   09:14 Diperbarui: 12 September 2022   09:14 403
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pembebasan bersyarat terhadap 23 orang koruptor oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan ditahun 2022, ibarat seperti melihat dan mendengar tabuhan gendang, slompret, angklung, dan gong yang mengiringi tarian Reog Ponorogo yang dibuat oleh Ki Ageng Putu. 

Namun simbol satire, tidak lagi mempersoalkan tentang Raja Brawijaya V yang tunduk kepada Putri Champa (permaisurinya), melainkan upaya pemidanaan tidak pidana korupsi yang membuat efek jera tidak sejalan dengan penanganan setelah koruptor memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum.

KONSEP PEMIDANAAN TERHADAP PELAKU KORUPSI

          Mengingat, konsep pemidanaan terhadap tindak pidana korupsi dalam rangka membuat efek jera, setidaknya sudah bertranformasi dengan menerapkan sanksi pidana yang bersifat kumulatif, yakni tidak hanya menerapkan sanksi pidana penjara, tetapi menerapkan pula sanksi pidana uang pengganti, dan sanksi pidana denda. 

Hal ini sudah dilegitimasikan oleh Rakyat kepada Negara melalui Undang-Undang Nomor: 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor: 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Korupsi). 

Dan kedepannya, konsep pemidanaan untuk memberikan sanksi pidana yang berat, masih mungkin bertranformasi lagi dengan mengkumulasikan penerapan sanksi pidana kerja sosial, karena hal ini sudah dibahas dalam RUU KUHP tahun 2010.

          Dengan demikian, konsep modifikasi terhadap pemidanaan dalam upaya memberikan sanksi pidana yang berat untuk membuat efek jera terhadap pelaku korupsi, sudah memiliki perencanaan pembangunan hukum nasional yang jelas dan matang. Namun masih saja mendapat kritikan dari cerita lama yang belum terbantahkan, yakni tentang adanya dugaan-dugaan perlakuan khusus kepada koruptor yang menciderai semangat penegakan hukum tindak pidana korupsi. 

Adapun salah salah faktor dari kegagalan itu, disebabkan karena pembuat undang-undang masih belum tertarik meninjau secara histroris, dan lebih mengutamakan pada konsep retribution, yakni konsep pembalasan terhadap para koruptor dengan memberikan sanksi pidana yang berat untuk membuat efek jera.

PERJUANGAN MELAWAN LUPA

          Perlu diingat secara historis, bahwa upaya pemberantasan korupsi di Indonesia sudah dimulai sejak jaman sebelum kemerdekaan, dan setelah kemerdekaan, hingga berlanjut sampai dengan sekarang. Berawal pada jaman sebelum kemerdekaan, menurut Amin Rahayu yang dikutip oleh OC Kaligis dalam bukunya yang berjudul "Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi", bahwa penyebab kehancuran kerajaan-kerajaan Majapahit, Sriwijaya, dan Mataram, serta penjajahan Belanda diduga oleh akibat adanya perebutan harta dan kekuasaan. 

Dimana pada jaman kerajaan, korupsi telah didominasi oleh kalangan pemegang kekuasaan beserta sanak saudaranya, dengan cara menyunat upeti dan pajak yang tidak ada penanganan pengawasannya. 

Begitu juga pada jaman penjajahan Belanda, korupsi masih didominasi oleh kalangan pemegang kekuasaan wilayah yang seharusnya menyetor upeti dan pajak tetapi tidak menyetorkan kepada VOC, sehingga lebih dari 200 orang pengumpul Liverantie dan Contingenten di Batavia kedapatan korup dan dipulangkan negeri Belanda.

Sedangkan pada jaman Orde Lama hingga jaman Orde Baru, menurut Wisnu Arsanto yang dikutip oleh OC Kaligis dalam bukunya yang berjudul "Praktik Tebang Pilih Perkara Korupsi", menyatakan bahwa korupsi masih didominasi dikalangan pejabat-pejabat yang memegang kekuasan, sehingga dibentuk Panitia Retooling Aparatur Negara (PARAN), dan Operasi Budhi berdasarkan Keputusan Presiden No. 275 Tahun 1963, serta Tim Pemberantasan Korupsi (TPK), dan Undang-Undang No. 3 Tahun 1971. 

Sementara pada jaman Reformasi, korupsi tidak pula lebih baik dari era sebelumnya, bahkan lebih terpuruk, sehingga kemudian melahirkan UU Korupsi. Beranjak dari pengalaman sejarah ini, maka dapat diketahui bahwa para pelaku korupsi lebih dekat dengan pemegang kekuasaan.

KERESAHAN MASYARAKAT

          Terhadap dugaan para pelaku korupsi yang lebih dekat dengan pemegang kekuasaan, merupakan rapot hitam. Hal ini yang terus menjadi perdebatan dikalangan masyarakat maupun dikalangan para pejabat-pejabat yang memegang kekuasaan, sehinga telah menjadi polemik yang tidak berujung layaknya fenomena gunung es. 

Disatu sisi, upaya pencegahan korupsi dikalangan para pejabat-pejabat yang memegang kekuasaan telah diupayakan dengan menaikan gaji dan tunjangan serta fasilitas-fasilitas yang memadai, sehingga para pejabat pemegang kekuasaan mendapat stigma oleh masyarakat telah memperoleh kehidupan yang mewah, layaknya bangsawan dengan perlakuan khusus.

         Namun disisi lainnya, upaya pencegahan korupsi dikalangan para pejabat yang memegang kekuasaan tidak pula mengurangi oknum-oknum para pejabat yang memegang kekuasaan melakukan tindak pidana korupsi. Hal ini karena, tuntutan suatu kesejahteraan dikalangan para pejabat yang memegang kekuasaan masih bersifat relatif atau subyektif, artinya masih banyak varibel dengan berbagai motif yang kompleks dapat mempengaruhinya.

         Terlepas masih belum adanya ukuran yang tepat dalam menjawab tuntutan dari kesejahteraan dikalangan para pejabat yang memegang kekuasaan, setidaknya tidak dapat dipungkiri kalau kehidupan para pejabat masih lebih baik ketimbang kehidupan rakyatnya. 

Dengan adanya ketimpangan sosial inilah yang menunjukan pada satu titik kejenuhan dikalangan masyarakat, jika oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi masih memperoleh perlakuan khusus. Maka, masyarakat masih akan terus menuntut siksaan yang pedih terhadap oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi, ketimbang seperti membuat pengukuhan Declaration of Human Rights terhadap oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi.

TUNTUTAN SIKSAAN YANG PEDIH

         Menyikapi tuntutan siksaan yang pedih dikalangan masyarakat terhadap oknum para pejabat yang terbukti melakukan korupsi, jika ditinjau secara yuridis, masih perlu dicari alasan pembenarnya, mengingat alasan korupsi telah diakui sebagai perbuatan species tertentu secara yuridis. 

Sekalipun di Indonesia, korupsi telah diklasifikasikan sebagai kejahatan luar biasa (extra ordinary crime), maka siksaan yang pedih itu harus pula diterjemahkan sebagai penghukuman atau pengganjaran, dan bukan membuat derita dengan melawan hukum, atau tidak semata-mata hanya mengedepankan pada kebencian. Oleh karenanya, syarat pemidanaanya juga bertolak pada asas legalitas, dan penghormatan, serta perlindungan terhadap hak asasi manusia.    

           Syarat pemindanaan yang bertolak pada asas legalitas ini perlu ditegakkan, mengingat siapapun yang melakukan kejahatan, termasuk koruptor, wajib melalui sistem peradilan yang memiliki kredibiltas. 

Sedangkan syarat pemidanaan yang bertolak pada penghormatan, dan perlindungan terhadap hak asasi manusia, merupakan prinsip yang wajib dipenuhi, mengingat stigma narapidana merupakan cap yang berkonotasi buruk, dan menakutkan, serta dapat menyebabkan narapidana ditolak dilingkungan masyarakat, sehingga stigma narapidana yang diberikan oleh masyarakat menurut Soerjono Soekanto layaknya seperti hukuman mati. 

Dan hal ini dapat bertentangan dengan sifat Ketuhanan Yang Maha Esa, bahwa manusia yang hidup di dunia selalu diberikan kesempatan untuk bertaubat atau memperbaiki dirinya.

 

PERUBAHAN AKIBAT JUDICIAL REVIEW 

         Beranjak dari syarat pemindanaan tersebut, maka telah diketahui bahwa pembebasan bersyarat terhadap 23 orang koruptor oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan ditahun 2022, telah melalui penghukuman melalui sistem peradilan yang memiliki kredibiltas sesuai UU Korupsi sebagai primary legislation. 

Dengan demikian, penanganan koruptor setelah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum telah di distribusikan dengan Undang-Undang No. 22 Tahun 2022 tentang Pemasyarakatan (UU 22/2022) sebagai primary legislation, dan Perarturan Pemerintah No. 32 Tahun 1999, sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintan No. 28 Tahun 2006 tentang Syarat dan Tata Pelaksanaan Hak Warga Binaan Permasyarakatan (PP WBP) sebagai delegated legislation. 

Dimana, PP WBP sebagai delegated legislation ini sebetulnya telah dilakukan perubahan kedua, sebagaimana Peraturan Pemerintah No. 99 Tahun 2012 (PP 99/2012). Sehingga syarat pembebasan bersyarat untuk koruptor mermerlukan rekomendasi Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi.

         Persyaratan pembebasan bersyarat untuk koruptor mengandung pula persyaratan kumulasi, sehingga tidak hanya ditentukan berdasarkan pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan, melainkan harus pula melibatkan Kepolisian, Kejaksaan Agung, dan/atau Komisi Pemberantasan Korupsi. 

Penetapan persyaratan kumulasi ini, jika ditafsirkan masih dapat mengandung pro dan kontra, karena bagi yang mendukung persyaratan kumulasi, hal ini dapat menjamin objektifitas pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Sedangkan bagi yang tidak mendukung persyaratan kumulasi ini, hal ini mengadung prosedural yang tidak sederhana, berlapis-lapis, dan dapat menyulitkan untuk memperoleh hak sebagai warga binaan.

         Terhadap pro dan kontra ini, pada tanggal 28 Oktober 2021, telah diselesaikan melalui putusan judicial review pada Mahkamah Agung. Adapun putusan judicial review tersebut, persyaratan terhadap pembebasan bersyarat sudah tidak lagi mengandung persyaratan kumulasi, melainkan cukup berdasarkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan, sehingga persyaratannya menjadi lebih sederhana dengan mencabut PP 99/2012. 

Hal inilah yang kemudian masih menjadi keresahan dimasyarakat, sedangkan secara yuridisnya, pembebasan bersyarat terhadap 23 orang koruptor oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan ditahun 2022, sudah melalui mekanisme yuridis yang mengandung pembenaran.

POLITICAL WILL DALAM MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT

         Dengan masih adanya keresahan masyarakat terhadap penanganan koruptor yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, dapat dipahami sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap primary legislation yang sudah ada. 

Dikarenakan, objektifitas Pemerintah terhadap penanganan koruptor, pada kenyataannya tidak juga mendapat perhatiannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat, mengingat Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rayat telah mencabut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 (UU 12/1995) dengan UU 22/2022 sebagai primary legislation yang baru dalam penanganan koruptor, tidak pula menetapkan persyaratan kumulasi sebagai peryaratan pembebasan bersyarat.

         Sehingga aspirasi hukumnya, masih menjadi pekerjaan rumah dari Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Dan tidak hanya digantungkan pada kehendak Pemerintah saja, atau dengan kata lain, apabila pemenuhannya masih diserahkan dengan keinginan Pemerintah saja, maka langkah Pemerintah sama saja seperti ibarat langkah keledai yang jatuh dilubang yang sama. 

Artinya, penerapan persyaratan kumulasi kembali oleh Pemerintah terhadap persyaratan pembebasan bersyarat masih dimungkinkan digugat kembali melalui judicial review pada Mahkamah Agung, dan dari gugatan tersebut, dapat pula menghasilkan putusan judicial review yang sama dengan putusan judicial review terdahulu.

        Oleh karenanya, persyaratan kumulasi sebagai objektifitas dari pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan terhadap persyaratan pembebasan bersyarat bukan lagi sebagai jawabannya. Sehingga perlu mengkofigurasikan dengan hal lain, yakni apakah Presiden bersama Dewan Perwakilan Rayat perlu menambah kembali lembaga independen sebagai pengawasnya? 

Penetapan terhadap kebijakan ini, tentunya dapat pula melahirkan kekuatan (strengths), dan tantangan (challenge). Sebab, dengan dibentuknya lembaga independen sebagai pengawas, dapat membangun objektifitas sebagai strengths untuk membangun kepercayaan kepada masyarakat terhadap penanganan koruptor. 

Akan tetapi, strengths ini dapat pula melahirkan challenge yang baru, dikarenakan kinerja dari lembaga independen ini akan dapat menambah pengeluaran Anggaran Belanja Negara, sehingga penambahan lembaga independen sebagai pengawasnya, masih perlu dikaji dengan matang, dan komprehensif, serta tidak hanya berdasarkan pada nafsu belaka.

        Adapun sebagai pilihan lainnya, jika dirasakan pembentukan lembaga independen sebagai pengawas hanya menambah pengeluaran Anggaran Belanja Negara yang sia-sia, dan bahkan dapat menambah peluang korupsi yang baru, maka Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat dapat segera merampungkan perubahan terhadap UU Korupsi yang baru, dengan cara menambah kumulasi pemidanaan dengan sanksi pidana kerja sosial, sehingga kumulasi pemidanaannya menjadi sanksi pidana penjara, sanksi pidana uang pengganti, sanksi pidana denda, dan sanksi pidana kerja sosial. 

Hal ini tentunya dapat membangun kepercayaan masyarakat terhadap penghukuman koruptor yang setimpal dalam rangka membuat efek jera.

 

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun