Penetapan persyaratan kumulasi ini, jika ditafsirkan masih dapat mengandung pro dan kontra, karena bagi yang mendukung persyaratan kumulasi, hal ini dapat menjamin objektifitas pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan. Sedangkan bagi yang tidak mendukung persyaratan kumulasi ini, hal ini mengadung prosedural yang tidak sederhana, berlapis-lapis, dan dapat menyulitkan untuk memperoleh hak sebagai warga binaan.
     Terhadap pro dan kontra ini, pada tanggal 28 Oktober 2021, telah diselesaikan melalui putusan judicial review pada Mahkamah Agung. Adapun putusan judicial review tersebut, persyaratan terhadap pembebasan bersyarat sudah tidak lagi mengandung persyaratan kumulasi, melainkan cukup berdasarkan pertimbangan dari Direktur Jenderal Pemasyarakatan, sehingga persyaratannya menjadi lebih sederhana dengan mencabut PP 99/2012.Â
Hal inilah yang kemudian masih menjadi keresahan dimasyarakat, sedangkan secara yuridisnya, pembebasan bersyarat terhadap 23 orang koruptor oleh Direktorat Jenderal Permasyarakatan ditahun 2022, sudah melalui mekanisme yuridis yang mengandung pembenaran.
POLITICAL WILL DALAM MEMBANGUN KEPERCAYAAN MASYARAKAT
     Dengan masih adanya keresahan masyarakat terhadap penanganan koruptor yang telah memperoleh putusan pengadilan yang berkekuatan hukum, dapat dipahami sebagai bentuk kekecewaan masyarakat terhadap primary legislation yang sudah ada.Â
Dikarenakan, objektifitas Pemerintah terhadap penanganan koruptor, pada kenyataannya tidak juga mendapat perhatiannya oleh Dewan Perwakilan Rakyat, mengingat Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rayat telah mencabut Undang-Undang No. 12 Tahun 1995 (UU 12/1995) dengan UU 22/2022 sebagai primary legislation yang baru dalam penanganan koruptor, tidak pula menetapkan persyaratan kumulasi sebagai peryaratan pembebasan bersyarat.
     Sehingga aspirasi hukumnya, masih menjadi pekerjaan rumah dari Pemerintah bersama Dewan Perwakilan Rakyat. Dan tidak hanya digantungkan pada kehendak Pemerintah saja, atau dengan kata lain, apabila pemenuhannya masih diserahkan dengan keinginan Pemerintah saja, maka langkah Pemerintah sama saja seperti ibarat langkah keledai yang jatuh dilubang yang sama.Â
Artinya, penerapan persyaratan kumulasi kembali oleh Pemerintah terhadap persyaratan pembebasan bersyarat masih dimungkinkan digugat kembali melalui judicial review pada Mahkamah Agung, dan dari gugatan tersebut, dapat pula menghasilkan putusan judicial review yang sama dengan putusan judicial review terdahulu.
    Oleh karenanya, persyaratan kumulasi sebagai objektifitas dari pertimbangan Direktur Jenderal Pemasyarakatan terhadap persyaratan pembebasan bersyarat bukan lagi sebagai jawabannya. Sehingga perlu mengkofigurasikan dengan hal lain, yakni apakah Presiden bersama Dewan Perwakilan Rayat perlu menambah kembali lembaga independen sebagai pengawasnya?Â
Penetapan terhadap kebijakan ini, tentunya dapat pula melahirkan kekuatan (strengths), dan tantangan (challenge). Sebab, dengan dibentuknya lembaga independen sebagai pengawas, dapat membangun objektifitas sebagai strengths untuk membangun kepercayaan kepada masyarakat terhadap penanganan koruptor.Â
Akan tetapi, strengths ini dapat pula melahirkan challenge yang baru, dikarenakan kinerja dari lembaga independen ini akan dapat menambah pengeluaran Anggaran Belanja Negara, sehingga penambahan lembaga independen sebagai pengawasnya, masih perlu dikaji dengan matang, dan komprehensif, serta tidak hanya berdasarkan pada nafsu belaka.