Mohon tunggu...
UNZURNA
UNZURNA Mohon Tunggu... Konsultan - Hamba Allah

Tentang Apapun Yang Sedang Kamu Perjuangkan Saat Ini, Semoga Allah SWT Memudahkan dan Melancarkan Usahamu Untuk Mencapainya. Amin

Selanjutnya

Tutup

Hukum Artikel Utama

Tantangan RUU Cipta Kerja

18 Februari 2020   08:00 Diperbarui: 20 Februari 2020   04:22 1279
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Pada akhir tahun 2019, diskursus tentang omnibus law mulai menjadi perhatian penting oleh Pemerintah dalam upaya melakukan harmonisasi peraturan perundang-undangan. 

Setidaknya gagasan itu mulai dilontarkan melalui salah satu Menteri Agraria dan Tata Ruang, yakni Sofyan Djalil yang mengatakan pada pokoknya Pemerintah tersandera dan dirantai dengan banyaknya peraturan yang menghambat masuknya investasi, sementara negara dengan sistem common law seperti Amerika Serikat lazim menggunakannya. 

Sepertinya, Pemerintah Indonesia bermaksud mengadopsi omnibus law sebagai salah satu jalan keluarnya yang mungkin bisa diambil. 

Uusulan Modernisasi Hukum

Tentunya wajar jika kemudian gagasan tentang omnibus law mulai dipertentangkan (contradictio in terminis), mengingat aliran hukum Indonesia menganut eropa kontinental.

Sehingga keberadaannya belum mendapat legitimasi dalam hirarki peraturan perundang-undangan sebagaimana menurut Undang-Undang Nomor: 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (UU 12/2011). 

Namun, masih bisa berlaku relatif, dengan catatan jikalau gagasan tersebut mendatangkan manfaat dan/atau kebaikan, tentunya keberadaan omnibus law di Indonesia menjadi tidak bertentangan dengan hirarki peraturan perundang-undangan, mengingat produknya dapat dipersesuaikan setingkat undang-undang. 

Dan pada kenyataannya seperti yang telah diketahui sebelumnya, pada tanggal 12 Februari 2020, Pemerintah melalui Menterinya telah menuangkan konfigurasi omnibus law-nya ke dalam bentuk RUU Cipta Kerja untuk dapat dibahas bersama dengan Dewan Perwakilan Rakyat.

Penyerahan rancangan regulasi tersebut tentunya telah menandai bergulirnya dialetika dalam merumuskan manfaat dan kebaikan omnibus law menjadi undang-undang, mengingat rancangan regulasinya mengatur dan mencakup berbagai jenis materi muatan yang berbeda-beda.

Dan keberadaannya untuk mengamandemen beberapa pasal-pasal yang sudah termaktub sebelumnya pada 83 undang-undang menjadi satu regulasi, termasuk salah satunya dengan mengkonstruksikan sebagian perubahan pasal-pasal yang terkandung didalam Undang-Undang Nomor: 13 Tahun 2003 tentang Ketenakerjaan (UU 13/2003). 

Adapun tantangan yang harus dihadapi dalam menyikapi usulan perubahan modernisasi hukum, khususnya perubahan hukum ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan kemudahan berusaha dan berinventasi.

Laman depan Harian Kompas. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Laman depan Harian Kompas. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
KEMUDAHAN BERUSAHA DAN BERINVESTASI

Tantangan pertama yang mungkin akan dihadapi jika RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi undang-undang adalah memudahkan para investor mengelola usaha dibidang penyedia jasa pekerja, yakni perusahaan alih daya atau yang dikenal dengan nama perusahaan outsourcing. 

Sebab, pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 UU 13/2003 yang mengatur larangan tidak memperbolehkan penempatan pekerjanya melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan utama bisnis pada pemberi kerja, kecuali penunjang, ternyata telah diusulkan untuk ditiadakan dalam RUU Cipta Kerja. 

Sehingga membuka kesempatan kepada perusahaan outsourcing menempatkan para pekerjanya pada semua jenis dan semua bidang pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemberi kerja, dan pemberi kerja akan menerima manfaatnya.
 
Itu dikarenakan dapat memudahkan atau mengurangi beban rekrutmen dan menghemat anggaran pelatihan pekerja. Adapun manfaat lainnya, calon pekerja dapat cepat lebih terserap untuk mendapatkan pekerjaan dari perusahaan outsourcing tersebut.

Akan tetapi usulan perubahan hukum tersebut masih dapat pula mendatangkan pertentangan yang saling bertolak belakang (contradictio in terminis), sebab sama seperti membuka kembali polemik keberadaan perusahaan outsourcing yang pernah dipertentangkan atau yang pernah diminta untuk dihapus oleh para pekerja maupun serikat pekerja. 

Dan dari kemungkinan jelasnya, usulan perubahan RUU Cipta Kerja menjadi regress karena belum mampu menjawab persolan kesejahteraan tentang keresahan pekerja yang ditempatkan oleh perusahaan outsourcing pada perusahaan pemberi kerja. 

Namun, jika usulan perubahan dimaksud ingin tetap ditawarkan sebagai perubahannya, sebaiknya penawaran usulan perubahan pada RUU Cipta Kerja dapat juga menawarkan pengaturan tentang standarisasi fasilitas dan lainnya yang diterima pekerja dari perusahaan outsourcing.

Itu menjadi sama dengan yang diberikan oleh pemberi kerja, sehingga menjadi seimbang dengan tidak dibedakan bagi pekerja perusahaan outsourcing yang bekerja diperusahaan pemberi kerjanya.

Kesejahteraan Pekerja

Tantangan selanjutnya yang mungkin akan dihadapi jika RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi undang-undang adalah menyikapi persoalan kesejahteraan pekerja. 

Dimulai dari usulan RUU Cipta Kerja yang mengusulkan penghapusan pembatasan jangka waktu kontrak sebagaimana yang sekarang masih diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003, jangka waktu karyawan kontrak paling lama adalah tiga tahun, dan pengaturan pembatasan jangka waktu dimaksud diusulkan untuk diihapus dalam RUU Cipta Kerja. 

Sehingga, jika RUU Cipta Kerja disahkan kemudian menjadi undang-undang, maka prediksi yang dapat dipastikan terjadi adalah akan adanya gelombang kegelisahan karyawan kontrak yang belum mampu disejahterakan.

Sebab, ada keterkaitannya terhadap ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) sepihak dan sewaktu-waktu oleh pemberi kerja, ketimbang jaminan yang diberikan pada karyawan tetap. 

Oleh karenanya untuk menciptakan keadilan, sebaiknya fasilitas karyawan kontrak dipersamakan pula dengan karyawan tetap, antara lain mengenai pemberian pesangon dan uang penghargaan yang dapat diberikan pula kepada karyawan kontrak sesuai lamanya bekerja.

Selanjutnya, usulan perubahan yang menarik lainya terjadi pada usulan perubahan pada UU 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional, dan pada UU 24/2011 tentang BPJS.

RUU Cipta Kerja mengusulkan penambahan klausul pada UU 40/2004 tentang jaminan sosial berupa jaminan kehilangan pekerjaan dengan mendapat manfaat berupa pelatihan dan sertifikasi, uang tunai, serta fasilitas penempatan. 

Menariknya, usulan penambahan jaminan sosial ini sepertinya untuk menjawab ketakutan para pekerja tentang terjadinya PHK.

Ketentuan Pasal 152 sekarang diusulkan untuk ditiadakan, sehingga telah menghapus pula hak pekerja menggugat kepada pemberi kerja yang disebabkan karena pemutusan hubungan kerja (PHK) yang  sepihak.

Dengan diusulkan penghapusan tentang hal tersebut, jika RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang, maka dampak yang mungkin akan terjadi dapat membuka kemudahan kepada pemberi kerja atau perusahaan dalam melakukan PHK kepada pekerjanya. 

Dan disisi positifnya lainnya, usulan penghapusan hak pekerja dalam RUU Cipta Kerja tersebut dapat dimungkinkan menjadi tidak menakutkan lagi karena telah mendapat jaminan yang layak berupa kompesansi kebijakan hukum lainnya.

Itu mengingat RUU Cipta Kerja juga mengusulkan penambahan klausul pada UU 40/2004 berupa jaminan kehilangan pekerjaan tersebut. 

Sehingga kedepannya telah memberikan kemudahan pula bagi para pekerja yang di PHK untuk mengklaim jaminan kehilangan pekerjaan tersebut, walau nantinya PHK-PHK akan sering mungkin terjadi tanpa melalui penyelesaian perselisihan hubungan industrial setelah berlaku RUU Cipta Kerja menjadi undang-undang.

Usulan menarik lainnya, RUU Cipta Kerja mengusulkan penambahan klausul pada UU 24/2011 tentang BPJS berupa uang penghargaan yang telah bekerja mulai dari tiga tahun sampai dengan dua belas tahun. 

Usulan ini merupakan usulan kompensasi pengganti dalam bentuk kebijakan lainnya, mengingat dalam RUU Cipta Kerja telah mengusulkan pengurangan komponen uang penghargaan pada Pasal 156 UU 13/2003 menjadi paling banyak delapan bulan upah dengan masa lama kerja dua puluh satu tahun lebih,

Sementara komponen uang penghargaan sebanyak sepuluh bulan upah, dan komponen uang penggantian hak sebanyak lima belas persen dari uang pesangon dan uang penghargaan telah diusulkan untuk ditiadakan. 

Adapun kompensasi penggantinya tersebut dituangkan dalam kebijakan lainnya berupa pemberian uang penghargaan pada saat masih bekerja sebagaimana dimaksud dalam usulan perubahan pada UU 24/2011 tentang BPJS, dan pemberian uang penghargaan setelah di PHK sebagaimana dimaksud dalam usulan perubahan pada UU 13/2003.

Sehingga, kompensasi uang penghargaan diusulkan pelaksanaan menjadi berlipat (double) apabila RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang. 

 Anomali Kesejahteraan Pekerja

Kemudian, berkenaan dengan tantangan terberat yang mungkin akan dihadapi jika RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi undang-undang. Dimana RUU Cipta Kerja telah mengusulkan perubahan diantaranya tentang jam kerja, dan waktu istirahat. 

Dan sebagai pembahasan pertama, mempersoalkan usulan RUU Cipta Kerja terkait perubahan tentang jam kerja pada Pasal 77 UU 13/2003 yang hanya menentukan waktu jam kerja paling lama 8 jam dalam sehari, dan empat puluh jam dalam seminggu, serta masih dapat melebihi waktu jam kerja tersebut (diatur sebagai penambahan Pasal 77A). 

Sementara usulan perubahan waktu istirahat dalam Pasal 79 tersebut hanya menentukan satu hari dalam seminggu. Usulan perubahan Pasal 77 dengan Pasal 79  tersebut mungkin dimaksudkan untuk memberikan kemudahan perusahaan dalam mengatur jam kerja kepada para pekerja dengan memaksimalkan waktu kerja empat puluh jam dalam seminggu.

Kemudahan tersebut masih menimbulkan pertanyaan, yakni bagaimana dengan pekerja yang bekerja dalam satu hari delapan jam, dan/atau memaksimalkan empat puluh jam seminggu, apakah tetap mendapat waktu istirahat satu hari dalam seminggu?

Tentunya jika waktu kerja sehari dimaksimalkan delapan jam, maka dalam seminggu pekerja yang telah menempuh waktu kerja empat puluh jam dalam seminggu adalah pekerja yang bekerja lima hari dalam seminggu. Sehingga usulan perubahan Pasal 79 ayat 2 huruf (b) dalam RUU Cipta Kerja tidak perlu diusulkan perubahannya.

Selanjutnya berkenaan dengan isitirahat panjang, sebaiknya dalam RUU Cipta Kerja juga menegaskan standarisasi istirahat panjang yang dapat digunakan oleh perusahaan dan pekerja seperti yang telah diatur atau dikukuhkan sekarang dalam Pasal 79 ayat 2 huruf (d) UU 13/2003, yakni istirahat panjang sekurang-kurangnya dua bulan.

Dan jangan hanya menyerahkan pengaturan istirahat Panjang dimaksud berdasarkan kesepakatan perjanjian kerja, atau peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama, hal ini akan sulit disepakati mengingat kedudukan pemberi pekerja yang lebih dominan ketimbang pekerja.  

Andaikata ketentuan istirahat panjang dua bulan dirasakan sudah tidak sesuai lagi, maka sebaiknya hal itu dievaluasi kembali untuk mengukur batas kepantasan istirahat panjang.

Hal tersebut mesti sesuai perkembangan zaman yang diwakilkan keadilannya melalui penegasan yang termaktub dalam undang-undang, dan bukan berdasarkan kepentingan pemberi kerja atau perusahaan saja.

Laman depan Harian Kompas. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Laman depan Harian Kompas. (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Dengan demikian terdapat tiga poin yang mungkin bisa memberikan pengaruh perubahan modernisasi hukum, khususnya perubahan hukum ketenagakerjaan dalam kaitannya dengan kemudahan berusaha dan berinventasi jika RUU Cipta Kerja disahkan menjadi undang-undang.

Dan masing-masing poin dimaksud menegaskan manfaat dan kekurangannya, dan hal itu perlu dipahami sewajarnya, mengingat setiap perubahan yang menuju kearah modernisasi selalu melahirkan pula pertentangan yang saling bertolak belakang (contradictio in terminis).

Layaknya dalam menyikapi kemajuan teknologi, yang satu sisi dapat memberikan manfaat, dan disisi lain dapat pula mendatangkan kerugian. 

Oleh karenanya, kedepan terkait Tantangan RUU Cipta Kerja yang masih merugikan akibat adanya desakan perubahan dimaksud, sudah sewajarnya diperjuangkan pula melalui mekanisme pilihan yang tersedia, ketimbang lebih memilih untuk memprovokasi anti perubahan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun