Tantangan pertama yang mungkin akan dihadapi jika RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi undang-undang adalah memudahkan para investor mengelola usaha dibidang penyedia jasa pekerja, yakni perusahaan alih daya atau yang dikenal dengan nama perusahaan outsourcing.Â
Sebab, pembatasan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 66 UU 13/2003 yang mengatur larangan tidak memperbolehkan penempatan pekerjanya melaksanakan kegiatan pokok yang berhubungan langsung dengan proses produksi atau kegiatan utama bisnis pada pemberi kerja, kecuali penunjang, ternyata telah diusulkan untuk ditiadakan dalam RUU Cipta Kerja.Â
Sehingga membuka kesempatan kepada perusahaan outsourcing menempatkan para pekerjanya pada semua jenis dan semua bidang pekerjaan yang dibutuhkan oleh pemberi kerja, dan pemberi kerja akan menerima manfaatnya.
Â
Itu dikarenakan dapat memudahkan atau mengurangi beban rekrutmen dan menghemat anggaran pelatihan pekerja. Adapun manfaat lainnya, calon pekerja dapat cepat lebih terserap untuk mendapatkan pekerjaan dari perusahaan outsourcing tersebut.
Akan tetapi usulan perubahan hukum tersebut masih dapat pula mendatangkan pertentangan yang saling bertolak belakang (contradictio in terminis), sebab sama seperti membuka kembali polemik keberadaan perusahaan outsourcing yang pernah dipertentangkan atau yang pernah diminta untuk dihapus oleh para pekerja maupun serikat pekerja.Â
Dan dari kemungkinan jelasnya, usulan perubahan RUU Cipta Kerja menjadi regress karena belum mampu menjawab persolan kesejahteraan tentang keresahan pekerja yang ditempatkan oleh perusahaan outsourcing pada perusahaan pemberi kerja.Â
Namun, jika usulan perubahan dimaksud ingin tetap ditawarkan sebagai perubahannya, sebaiknya penawaran usulan perubahan pada RUU Cipta Kerja dapat juga menawarkan pengaturan tentang standarisasi fasilitas dan lainnya yang diterima pekerja dari perusahaan outsourcing.
Itu menjadi sama dengan yang diberikan oleh pemberi kerja, sehingga menjadi seimbang dengan tidak dibedakan bagi pekerja perusahaan outsourcing yang bekerja diperusahaan pemberi kerjanya.
Kesejahteraan Pekerja
Tantangan selanjutnya yang mungkin akan dihadapi jika RUU Cipta Kerja ini disahkan menjadi undang-undang adalah menyikapi persoalan kesejahteraan pekerja.Â
Dimulai dari usulan RUU Cipta Kerja yang mengusulkan penghapusan pembatasan jangka waktu kontrak sebagaimana yang sekarang masih diatur dalam Pasal 59 UU 13/2003, jangka waktu karyawan kontrak paling lama adalah tiga tahun, dan pengaturan pembatasan jangka waktu dimaksud diusulkan untuk diihapus dalam RUU Cipta Kerja.Â