Mohon tunggu...
Franky Dwi Damai (Idham)
Franky Dwi Damai (Idham) Mohon Tunggu... Tutor - Mahasiswa Ilmu Hukum, Universitas Pendidikan Ganesha (UPG)

Aktivis Himpunan Mahasiswa Islam (HMI) Cabang Singaraja.

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Orientasi Kehidupan Kampus, Benarkah Solusi Tepat Atasi Candu "Social Climber" Generasi Muda Masa Kini?

24 Februari 2020   01:14 Diperbarui: 24 Februari 2020   01:33 99
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Pendidikan. Sumber ilustrasi: PEXELS/McElspeth

Perilaku "social climber" yang akhir-akhir ini, telah menjadi perbincangan hangat di jagat "dunia maya", medsos maupun (dunia nyata).Tak bisa dipungkiri, di sekitar kita mulai banyak bermunculan para generasi "social climber" yang narsis dan  "sok eksis". Kebanyakan mereka, yakin dan punya anggapan  bahwa dirinya para perkumpulan generasi modis serta yang paling kekinian.

Ternyata "social climber" pada dasarnya merupakan perilaku seseorang yang dilakukan untuk meningkatkan status sosialnya. Dengan cara melakukan segalanya, agar mendapat pengakuan (status sosial lebih tinggi) dari status yang sebenarnya. Mengadakan apa yang bukan kapasitasnya.

Secara umum, seseorang yang mengidap perilaku "social climber" gaya hidupnya cenderung lebih "glamour" dan selalu ingin terlihat mewah. Sebab, dengan model dan gaya hidup seperti itu, ia ingin mendapat pengakuan jika dia termasuk orang kaya. Meskipun kondisi yang sebenarnya, tidak seperti yang ia (pamerkan di media sosial).

Justru para pelaku "social climber", akan merasa tidak nyaman, tidak percaya diri, dan khawatir tidak diterima di lingkungannya (apabila tidak tampil glamour). Akibatnya sebisa mungkin, dengan berbagai cara ia tempuh, (agar tampil mewah dan serba wah).        
Tidak hanya itu, mereka memiliki kemauan besar untuk (membuat nyata hidup yang ada di dalam khayalan), serta berusaha untuk meningkatkan status sosialnya dengan segala hal, dengan menghalalkan berbagai cara yang bisa dilakukanya.

Pengidap "social climber", akan senang sekali mendapat pujian dan kekaguman dari orang lain "It would be their purpose in life" suatu kebahagiaan hidupnya ditentukan dari (likes dan komen di media sosialnya).

Entah, apakah benar jikalau perilaku "social climber" merupakan benih penyakit kejiwaan yang sangat berbahaya. Jika kita kaitkan kembali  dengan pembahasan di atas, para "social climber" bisa melakukan apa saja agar hidupnya terlihat memiliki status sosial yang tinggi dengan hal yang praktis dan tidak melalui proses.

"Lantas bagaimana, jika sebagian dari mereka yang termasuk ke dalam kategori memiliki perilaku "social climber" terlahir dari kalangan keluarga yang kurang mampu?."

"Apakah mereka tetap memaksakan dirinya untuk tetap selalu tampil "glamour" dalam mengikuti tren gaya hidup yang memaksakan diri dan terkesan merugikan, karena (lebih besar pasak dari pada tiang)?".

Semoga saja, yang  membaca tulisan ini, dan merasa (segera taubat dan cepat sadar diri).Karena perilaku mengadopsi tren gaya "social climber", jika  tetap di jalani dengan rasa tidak bersalah. Maka, sangat jelas kedepanya akan berdampak besar, merugikan diri sendiri, maupun bangsa dan negara.

Jadi, rillnya begini (dengan tuntutan gaya hidup yang cenderung di paksakan), tentu saja generasi muda, yang masuk kategori "social climber",  akan cenderung berpikir sempit dan tidak memikirkan dampaknya, seperti melakukan pencurian, perampokan, pengancaman terhadap Orang tua, untuk dituruti segala keinginanya.

Bahkan jika, perilaku tren gaya "social climber" sudah menjadi ketergantungan dan terus diadopsi sampai dewasa. Maka bisa saja kedepanya, saat di dunia kerja, sesorang yang memiliki perilaku "social climber" dalam  mempertahankan gaya hidup yang bermewah-mewahan.

Serta tidak menutup kemungkinan, akan melakukan penyimpangan jabatan seperti, korupsi dan penyelahgunaan wewenang utuk memperkaya diri sendiri,  (bukan main-main ternyata begitu besar dampaknya). Jelas dengan demikian, "tentu yang dirugikan dalam kaitan ini tidak hanya diri sendiri, akan tetapi nama baik keluarga, masyarakat sekitar bahkan negara, bukan begitu".

Ya, percaya tidak percaya memang demikian, karena seseorang  yang sudah mengidap penyakit akut "social climber" memiliki kepribadian yang tidak seimbang. Para "social climber" percaya diri, dan terkenal di media sosial, tapi di kehidupan sosial aslinya sebenarnya tidak terlalu terkenal.

Hal tersebut tentu bisa memengaruhi kesehatan jiwa (psikis) para pengidap "social climber", karena dia hanya butuh pengakuan. dan eksistensi dunia maya. Kondisi ini yang menyebabkan, mereka (bisa depresi).

"Coba cek pada diri kalian masing-masing, apakah kalian merasa, dengan adanya tanda-tanda di bawah ini?". Ada beberapa ciri-ciri mereka yang termasuk "social climber" yakni (1) Suka memamerkan barang bermerek, tak peduli harus sampai berhutang atau barang itu palsu, yang penting orang lain melihat dia memiliki barang yang tengah menjadi "trendy" atau kekinian; (2) Ingin jadi terkenal atau dianggap penting di mata orang hanya di (medso).

Namun, belum tentu di kehidupan sosial aslinya mereka menjadi orang seperti itu; (3) Suka memanipulasi kehidupan pribadi agar nampak terlihat hebat, tak jarang "social climber" mengubah profil dirinya di sosial media, dan merasa bangga terhadap perilaku tersebut, karena kelainan "social climber" tak akan jauh dari media sosial.

"Point di atas adalah, perilaku "social climber" menjadikan para generasi muda ingin selalu terkenal dan punya pengikut, serta memiliki status sosial yang tinggi. Mereka akan selalau update status di media", serta mengupload foto maupun video, untuk berbangga diri dalam memamerkan barang yang dipakainya."

Mari Kita Refleksi !!!

Untuk menghindari perilaku di atas, maka, biasanya beberapa perguruan tinggi, maupun instansi pendidikan, punya cara tersendiri dalam mendidik (moral) dan (perilaku atau  sikap) para generasi muda agar tidak jauh, terjatuh di dalam lubang kenyamanan sesaat, yang merupakan tren "social climber".            

Ternyata selama ini, jika kita sadar. Mengapa setiap lembaga pendidikan formal dari sejak dulu jaman Bapak kita, sampai saat ini dalam  jenjang (SD, SMP, SMA), masih mengadakan  "Masa Orientasi Siswa" atau  (MOS). Tidak hanya sampai SMA saja loh, ternyata. Bahkan sampai ke jenjang Perguruan Tinggi, seperti Universitas juga demikian mengadakan "Orientasi Kehidupan Kampus" (OKK).  

Jika kita, paham dan bisa mengambil sisi positif dari kegiatan tersebut, maka kita akan merasa bersyukur dan bangga, bahwa kita diselamatkan dari kehidupan yang kurang bermoral, dalam kaitan ini termasuk "social climber", itu sendiri.Karena selama dalam kegiatan (MOS) yang pernah kita rasakan, dari tingkatan  (SD, SMP, SMA). 

Jika melihat realitas atas sebuah penerapan penempaan (diri) yang di terapkan di dalam lembaga pendidikan. Sudah pasti, kita akan bersyukur, mendapatkan hadiah gemblengan secara mental, untuk menemukan jati diri kita, melalui perasaan senasib seperti, di panaskan di lapangan sekolah, disuruh memakai topi dari bola yang dihiasi balon, baju seragam yag sama, memakai kaos kaki, sepatu dengan warna yang seragam tanpa terkecuali.              
Alhasil, semua dilakukan pihak-pihak intansi pendidikan, tentu supaya kita terlatih dan memiliki mental baja, disiplin, serta menjadi diri sendiri, dan tidak bersikap bermewah-mewahan, setelah selepas (Ospek). Sehingga, saya sedikit menyimpulkan kenapa di seluruh Perguruan Tinggi baik negeri, maupun swasta. Menerapkan "Orientasi Kehidupan Kampus" atau (OKK).

Tidak lain adalah, yakni Pertama, sebagai upaya Kampus atau Universitas dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, melalui penegenalan kehidupan kampus, pembangunan karakter, serta kedisiplinan kepada para calon Mahasiswa baru. Termasuk sebagai upaya Kampus dalam meminimalisir para generasi muda yang sedang terjangkit penyakit, seperti kenakalan remaja, khususnya penyakit "social climber".


Dengan harapan perilaku penyimpangan-penyimpangan yang demikian, dapat berkurang setelah menjadi (mahasiswa);  Kedua, sebagai wujud nyata, implikasi positif dari adanya kegiatan (Ospek) Kampus atau (OKK), agar selepas kegiatan mereka tidak kaget, dan bisa keluar dari (zona nyaman mereka) dan sadar diri akan tugas dan kewajiban sebagai insan cita, insan akademis.

Ketiga, wujud kesiapan sebagai agen perubahan yang bertanggung jawab dalam mengemban pengabdian "Tri Dharma Perguruan Tinggi", sebagai pondasi dalam menciptakan (generasi muda) yang memiliki kemampuan multi talenta di berbagai bidang, serta dapat menjadi contoh teladan yanh berjiwa besar seperti apa yang diharapkan, dikemudian hari, dalam mengabdikan diri kepada masyarakat, serta nusa dan Bangsa Indonesia.

Tentang Penulis : Franky Dwi Damai, Ia merupakan pemuda yang berkesempatan baik dapat berkuliah di Universitas Pendidikan Ganesha-Singaraja- Bali. Ia, Mengambil studi Ilmu Hukum. Ia, juga seorang anggota HMI Cabang Singaraja.  Cinta gerakan sosial  yang cenderung penuh (kebersamaan) serta hanif atau cenderung pada kebenaran.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun