Serta tidak menutup kemungkinan, akan melakukan penyimpangan jabatan seperti, korupsi dan penyelahgunaan wewenang utuk memperkaya diri sendiri, Â (bukan main-main ternyata begitu besar dampaknya). Jelas dengan demikian, "tentu yang dirugikan dalam kaitan ini tidak hanya diri sendiri, akan tetapi nama baik keluarga, masyarakat sekitar bahkan negara, bukan begitu".
Ya, percaya tidak percaya memang demikian, karena seseorang  yang sudah mengidap penyakit akut "social climber" memiliki kepribadian yang tidak seimbang. Para "social climber" percaya diri, dan terkenal di media sosial, tapi di kehidupan sosial aslinya sebenarnya tidak terlalu terkenal.
Hal tersebut tentu bisa memengaruhi kesehatan jiwa (psikis) para pengidap "social climber", karena dia hanya butuh pengakuan. dan eksistensi dunia maya. Kondisi ini yang menyebabkan, mereka (bisa depresi).
"Coba cek pada diri kalian masing-masing, apakah kalian merasa, dengan adanya tanda-tanda di bawah ini?". Ada beberapa ciri-ciri mereka yang termasuk "social climber" yakni (1) Suka memamerkan barang bermerek, tak peduli harus sampai berhutang atau barang itu palsu, yang penting orang lain melihat dia memiliki barang yang tengah menjadi "trendy" atau kekinian; (2) Ingin jadi terkenal atau dianggap penting di mata orang hanya di (medso).
Namun, belum tentu di kehidupan sosial aslinya mereka menjadi orang seperti itu; (3) Suka memanipulasi kehidupan pribadi agar nampak terlihat hebat, tak jarang "social climber" mengubah profil dirinya di sosial media, dan merasa bangga terhadap perilaku tersebut, karena kelainan "social climber" tak akan jauh dari media sosial.
"Point di atas adalah, perilaku "social climber" menjadikan para generasi muda ingin selalu terkenal dan punya pengikut, serta memiliki status sosial yang tinggi. Mereka akan selalau update status di media", serta mengupload foto maupun video, untuk berbangga diri dalam memamerkan barang yang dipakainya."
Mari Kita Refleksi !!!
Untuk menghindari perilaku di atas, maka, biasanya beberapa perguruan tinggi, maupun instansi pendidikan, punya cara tersendiri dalam mendidik (moral) dan (perilaku atau  sikap) para generasi muda agar tidak jauh, terjatuh di dalam lubang kenyamanan sesaat, yang merupakan tren "social climber".      Â
Ternyata selama ini, jika kita sadar. Mengapa setiap lembaga pendidikan formal dari sejak dulu jaman Bapak kita, sampai saat ini dalam  jenjang (SD, SMP, SMA), masih mengadakan  "Masa Orientasi Siswa" atau  (MOS). Tidak hanya sampai SMA saja loh, ternyata. Bahkan sampai ke jenjang Perguruan Tinggi, seperti Universitas juga demikian mengadakan "Orientasi Kehidupan Kampus" (OKK). Â
Jika kita, paham dan bisa mengambil sisi positif dari kegiatan tersebut, maka kita akan merasa bersyukur dan bangga, bahwa kita diselamatkan dari kehidupan yang kurang bermoral, dalam kaitan ini termasuk "social climber", itu sendiri.Karena selama dalam kegiatan (MOS) yang pernah kita rasakan, dari tingkatan  (SD, SMP, SMA).Â
Jika melihat realitas atas sebuah penerapan penempaan (diri) yang di terapkan di dalam lembaga pendidikan. Sudah pasti, kita akan bersyukur, mendapatkan hadiah gemblengan secara mental, untuk menemukan jati diri kita, melalui perasaan senasib seperti, di panaskan di lapangan sekolah, disuruh memakai topi dari bola yang dihiasi balon, baju seragam yag sama, memakai kaos kaki, sepatu dengan warna yang seragam tanpa terkecuali. Â Â Â Â Â Â Â
Alhasil, semua dilakukan pihak-pihak intansi pendidikan, tentu supaya kita terlatih dan memiliki mental baja, disiplin, serta menjadi diri sendiri, dan tidak bersikap bermewah-mewahan, setelah selepas (Ospek). Sehingga, saya sedikit menyimpulkan kenapa di seluruh Perguruan Tinggi baik negeri, maupun swasta. Menerapkan "Orientasi Kehidupan Kampus" atau (OKK).