Mohon tunggu...
Henri S. Sasmita
Henri S. Sasmita Mohon Tunggu... Lainnya - Pengajar

Enthusiasm in education | Pandu Digital | Enthusiastic about law, art, culture, society, and technology | henry@office.seamolec.org

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Artikel Utama

Media Sosial Menjadi Wadah "Flexing"

23 Maret 2023   15:29 Diperbarui: 28 April 2023   22:08 1012
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Mengenal apa itu flexing atau pamer sangatlah penting karena bisa berdampak negatif terhadap kesehatan mental.(Shutterstock/Roman Samborskyi)

Flexing adalah istilah slang yang berarti "pamer" apakah itu fisik, barang-barang, atau hal lain yang Anda anggap lebih unggul dari orang lain. Tindakan pamer sering dikritik sebagai prilaku arogan, tidak tulus dan terkesan memaksakan. 

Mengapa orang pamer di media sosial

Orang-orang ingin membuktikan bahwa mereka berhasil mencapai pencapaian nya. Mereka ingin menunjukkan prestasi dan kemampuan, ada juga yang pamer untuk membangkitkan kecemburuan, iri hati, serta emosi negatif lainnya pada orang lain. 

Orang-orang yang suka pamer percaya bahwa dengan flexing akan membawa mereka lebih banyak teman khususnya remaja bahkan orang kaya baru sangat rentan terhadap kebutuhan akan perhatian dan pengakuan.

Banyak kasus ekstrim terjadi di negeri ini seperti anak remaja bunuh ibu kandungnya karena tidak dibelikan motor serta banyak kasus lainnya yang melibatkan anak-anak menyalahkan orang tua mereka karena tidak menyediakan kekayaan material. 

Banyak penelitian telah menunjukkan bahwa menjadi kaya dan terkenal adalah prioritas utama generasi saat ini. Media sosial telah banyak memberikan ide yang salah bahwa gaya hidup seperti itu mudah dicapai dengan mudah hanya dalam waktu sekejap. 

Pada kenyataannya sebagian besar uang atau kekayaan yang ditampilkan di media sosial sebenarnya bukan milik pribadi dari orang yang mempostingnya. 

Bisa saja milik dari orang tuanya, milik dari suaminya atau saudaranya yang mempunyai jabatan disebuah institusi pemerintahan mungkin juga uang dari hasil kejahatan investasi bodong ataupun uang dari hasil korupsi. 

Sebagian masyarakat lupa bahwa media sosial adalah realitas yang dipamerkan. Misalnya, mobil, rumah besar dan barang berharga bahkan kunjungan wisata keluar negeri dipamerkan oleh orang yang mempostingnya tersebut sebenarnya adalah milik rumah majikannya atau bahkan hasil dari manipulasi olah digital.

Fenomena yang bermunculan di masyarakat salah satunya adalah fenomena yang baru-baru ini muncul di masyarakat, yaitu flexing. 

Menurut kamus Merriam-Webster, Flexing means to show off something or something that is strikingly owned. In addition, in economics, flexing behavior is understood as a conspicuous consumptive attitude, spending money to buy luxury goods and premium services in order to demonstrate financial, and social level or capability (memamerkan sesuatu atau sesuatu yang berharga yang mencolok yang dimilikinya. Selain itu, dalam ilmu ekonomi, perilaku pamer dipahami sebagai sesuatu sikap konsumtif yang mencolok, mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang mewah serta layanan prioritas untuk menunjukkan kamampuan finansial atau tingkat sosial).

Tingkah laku pamer sudah populer beberapa tahun yang lalu, hanya saja bentuk perilaku pamer saat ini sangat mencolok karena pelakunya bukan hanya dari golongan pengusaha saja tetapi dari pegawai pemerintahan bahkan masyarakat biasa yang dulunya kuli bangunan dan pemulung nasibnya berubah usai kerap diminta untuk memijit oleh orang-orang kaya usai bermain golf karena kemampuan memijitnya itu, ia bertemu dengan bos yang kemudian menjadi majikannya atau anak muda usia 20 tahunan pamer kekayaan dari bisnis trading. 

Hal seperti ini normal bahkan mungkin sebenarnya bentuk aktualisasi diri atau bentuk pencapaian diri namun pada saat ini perilaku pamer sudah sangat beragam dalam motivasi dan bentuk, dan tidak jarang termotivasi secara negatif, dan sangat masif karena didukung oleh sarana digital yaitu media sosial. 

Banyak hal yang didapat dari perilaku flexing mulai mendapatkan follower menumbuhkan rasa percaya diri, gengsi dan lain-lain. 

Flexing ini adalah bentuk gambaran untuk membuktikan bahwa seseorang itu mampu jika tidak ada bentuk dari flexing, orang tersebut dianggap tidak mampu atau bohong. Pikiran seperti ini banyak berkembang di masyarkat luas. Seperti istilah “No Picture Hoax”.

Banyak orang senang mengungkapkan tentang kehidupan mereka secara online. Mereka suka menggambarkan bahwa kehidupannya seakan akan harmonis dan bahagia. Padahal kenyataannya, sama sekali tidak demikian. 

Banyak orang diberkahi dengan kehidupan yang baik tanpa peduli pada eksistensi di media sosial maupun di dunia yang sebenarnya. Mereka benar-benar tidak perlu memasang foto setiap kali pergi ke restoran mewah atau menunjukan koleksi barang-barang mewahnya  atau sedang mengendarai mobil mewah di sosial media. 

Media sosial ini memungkinkan siapa saja menjadi siapa saja, bahkan bisa menjadi pengguna yang berbeda dari sebenarnya bahkan bertolak belakang dengan kenyataan. Media sosial sangat memengaruhi mereka dengan adanya media sosial memudahkan untuk beraktifitas dan sulit untuk tidak pamer. 

Kita memiliki sesuatu untuk dipamerkan, manusia juga ingin digambarkan menarik dan ingin terlihat mampu, cerdas serta populer. Media sosial adalah pembentuk realitas yang belum tentu kebenarannya, hal ini berdampak pada bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan hanya berdasarkan ukuran materi. Hal ini dapat menciptakan karakter individu yang hanya berorientasi pada materi.

Sah-sah saja jika seseorang pamer kekayaan tetapi ada beberapa hal yang tidak dapat diperoleh atau dibeli dengan uang. Seperti kutipan dari George Lorimer, “It's good to have money and the things that money can buy, but it's good, too, to check up once in a while and make sure that you haven't lost the things that money can't buy.

Jika kita kaitkan flexing dengan moral maka akan berhubungan dengan tindakan seseorang yang dalam hal sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang layak dikatakan benar atau salah, baik atau buruk. 

Terkait dengan masalah moral adalah pengetahuan bahwa ada yang baik dan ada yang buruk yang dengan pengetahuannya ia memilih untuk melakukan suatu perbuatan tanpa ada paksaan dari siapapun. Suatu perbuatan itu bisa dikategorikan baik atau buruk jika perbuatan dilakukan secara sadar atau karena punya kesadaran moral. 

Orang yang melakukan suatu perbuatan tanpa ada kesadaran, maka perbuatan itu tidak dapat dikategorikan baik atau buruk. Dengan kesadaran itu manusia diberi kebebasan untuk memilih mana yang baik dan mana yang buruk. Apa yang dilakukannya tentu mempunyai akibat-akibat tertentu.

Media sosial memiliki kekuatan untuk mempengaruhi individu bahkan masyarakat luas dalam pengambilan keputusan, respon, kebiasaan, karakter, keterampilan, dan konsumsi perilaku. Hal ini disebabkan pergeseran makna dari fakta dari objek menjadi subyektif. 

Salah satu hal positif yang dapat kita ambil dari flexing adalah digunakan sebagai alat pemasaran. Tetapi di dunia maya ada peran warganet sebagai kontrol sosial bahkan agen sosial terhadap pengguna media sosial. 

Aksi warganet dapat memberikan tekanan perubahan ketika sesuatu tidak sesuai bahkan mengawal jika hukum berjalan terasa lambat maka suara dari warganet menjadi menyeruak dalam menyuarakan keadilan. Algoritma  telah memberi kesempatan kepada warganet untuk membuat suaranya tetap terdengar. 

Tidak hanya media sosial, media mainstream juga dapat dipengaruhi oleh aksi warganet karena warganet bisa menjadi kekuatan dalam mempromosikan citra perusahaan maupun reputasi untuk menjadi lebih baik.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun