Menurut kamus Merriam-Webster, Flexing means to show off something or something that is strikingly owned. In addition, in economics, flexing behavior is understood as a conspicuous consumptive attitude, spending money to buy luxury goods and premium services in order to demonstrate financial, and social level or capability (memamerkan sesuatu atau sesuatu yang berharga yang mencolok yang dimilikinya. Selain itu, dalam ilmu ekonomi, perilaku pamer dipahami sebagai sesuatu sikap konsumtif yang mencolok, mengeluarkan uang untuk membeli barang-barang mewah serta layanan prioritas untuk menunjukkan kamampuan finansial atau tingkat sosial).
Tingkah laku pamer sudah populer beberapa tahun yang lalu, hanya saja bentuk perilaku pamer saat ini sangat mencolok karena pelakunya bukan hanya dari golongan pengusaha saja tetapi dari pegawai pemerintahan bahkan masyarakat biasa yang dulunya kuli bangunan dan pemulung nasibnya berubah usai kerap diminta untuk memijit oleh orang-orang kaya usai bermain golf karena kemampuan memijitnya itu, ia bertemu dengan bos yang kemudian menjadi majikannya atau anak muda usia 20 tahunan pamer kekayaan dari bisnis trading.
Hal seperti ini normal bahkan mungkin sebenarnya bentuk aktualisasi diri atau bentuk pencapaian diri namun pada saat ini perilaku pamer sudah sangat beragam dalam motivasi dan bentuk, dan tidak jarang termotivasi secara negatif, dan sangat masif karena didukung oleh sarana digital yaitu media sosial.
Banyak hal yang didapat dari perilaku flexing mulai mendapatkan follower menumbuhkan rasa percaya diri, gengsi dan lain-lain.
Flexing ini adalah bentuk gambaran untuk membuktikan bahwa seseorang itu mampu jika tidak ada bentuk dari flexing, orang tersebut dianggap tidak mampu atau bohong. Pikiran seperti ini banyak berkembang di masyarkat luas. Seperti istilah “No Picture Hoax”.
Banyak orang senang mengungkapkan tentang kehidupan mereka secara online. Mereka suka menggambarkan bahwa kehidupannya seakan akan harmonis dan bahagia. Padahal kenyataannya, sama sekali tidak demikian.
Banyak orang diberkahi dengan kehidupan yang baik tanpa peduli pada eksistensi di media sosial maupun di dunia yang sebenarnya. Mereka benar-benar tidak perlu memasang foto setiap kali pergi ke restoran mewah atau menunjukan koleksi barang-barang mewahnya atau sedang mengendarai mobil mewah di sosial media.
Media sosial ini memungkinkan siapa saja menjadi siapa saja, bahkan bisa menjadi pengguna yang berbeda dari sebenarnya bahkan bertolak belakang dengan kenyataan. Media sosial sangat memengaruhi mereka dengan adanya media sosial memudahkan untuk beraktifitas dan sulit untuk tidak pamer.
Kita memiliki sesuatu untuk dipamerkan, manusia juga ingin digambarkan menarik dan ingin terlihat mampu, cerdas serta populer. Media sosial adalah pembentuk realitas yang belum tentu kebenarannya, hal ini berdampak pada bagaimana seseorang berpikir, bertindak, dan menjalani kehidupan hanya berdasarkan ukuran materi. Hal ini dapat menciptakan karakter individu yang hanya berorientasi pada materi.
Sah-sah saja jika seseorang pamer kekayaan tetapi ada beberapa hal yang tidak dapat diperoleh atau dibeli dengan uang. Seperti kutipan dari George Lorimer, “It's good to have money and the things that money can buy, but it's good, too, to check up once in a while and make sure that you haven't lost the things that money can't buy.”
Jika kita kaitkan flexing dengan moral maka akan berhubungan dengan tindakan seseorang yang dalam hal sifat, perangai, kehendak, pendapat, atau perbuatan yang layak dikatakan benar atau salah, baik atau buruk.