Saya melihat berita tentang diduga anggota DPRD sebuah provinsi  yang mengancam mogok kerja. Mereka marah karena uang dinas perjalanan tidak kunjung cair.  Video ancaman berdurasi 16 detik itu menjadi viral setelah tersebar luas di media sosial. Kemudian salah seorang anggota DPRD  melayangkan ancaman karena uang Surat Perintah Perjalanan Dinas (SPPD) tidak cair.
Setelah mendengar berita tersebut saya merasakan perut keroncongan dan kepala  berputar, gigi terkatup dan dada sesak. Saya melihat berita tersebut merasa suasana hati saya sesak dan seperti berhenti bernapas. Mengapa berita tersebut masih menghantui saya dan mengapa wajah anggota DPRD itu sulit dilupakan dibenak saya.
Sebagian besar interaksi sehari-hari yang saya lakukan dikelas dan berinteraksi dengan siswa -- siswi dari golongan sosial yang cenderung rendah dan saya tidak pernah sekalipun  merasa harus melakukan mogok kerja meskipun kerja sebulan tetapi honor dibayar hanya seminggu dan pernah telat beberapa bulan, berbeda dengan wakil rakyat tersebut gaji tetap dibayarkan penuh mungkin kerja nya tidak penuh, dan hal yang dikeluhkan mereka adalah uang dinas perjalanan tidak kunjung cair.Â
Jika kerja saya tidak penuh akan berdampak pada anak didik, tetapi ketika melihat berita tersebut saya sangat menginginkan apa yang dimiliki orang-orang itu dengan mengancam mogok kerja, tetapi mengancam mogok kerja tidak terbesit dipikiran saya karena ini adalah bagian dari konsekuensi dan pengabdian.
Kita hidup di zaman kecemburuan. Iri karir, iri status sosial, iri makanan, liburan dan lain-lain. Â Sebut saja, ada rasa iri untuk itu semua. Manusia selalu rasa sakit saat melihat nasib baik orang lain.
Dengan munculnya berita dari berbagai media kecemburuan menjadi memuncak. Kita terus-menerus disuguhkan kehidupan sesuatu yang palsu, ketidakpuasan dan penuh dengan hinggar bingar dan hal itu tidak menyenangkan terhadap nasib yang dialami sebagian orang.
Perilaku wakil rakyat tersebut dapat  memperkuat perselisihan psikologis yang sangat mengganggu kehidupan pribadi bahkan golongan masyarakat banyak. Di masa lalu ketika media belum berkembang pesat seperti saat ini, orang - orang mungkin hanya iri pada tetangga mereka, tetapi sekarang kita dapat membandingkan diri kita dengan semua orang di seluruh dunia.Â
Ini adalah masalah yang mengakar, di mana Sebagian orang sangat membenci kesejahteraan orang lain, apakah itu penampilan mereka, posisi mereka atau mobil yang mereka miliki.
Mungkin sebagai wakil rakyat  perlu berpikir lebih hati-hati ketika mengutarakan pendapat atau keresahan nya tersebut melalui sebuah media dan akhirnya viral karena prilaku nya tersebut dapat berkontribusi terhadap kecemburuan dalam hidup ini.Â
Apakah wakil rakyat tersebut merasa nyaman dalam prilakunya tersebut, mungkin sebenarnya itu karena kesombongan merasa pekerjaan nya sangat penting dan mulia serta merasa ingin lebih diperhatikan. Bahkan mungkin karena sebuah ego. Saya menghormati hak wakil rakyat dalam mengutarakan pendapat atau keresahan nya tersebut dan mencoba memahaminya berdasarkan cara pandang mereka.
Empati adalah sebuah keterampilan, seperti hal nya keterampilan lain nya seperti public speaking, harus dilatih agar terus terasah dan dapat digunakan secara alami. Sebagai wakil rakyat kembangkanlah empati dengan cara ikut merasakan masalah oranglain, melihat suatu situasi menurut kacamata oranglain.Â
Bagaimana rasanya berada dalam posisi mereka dan merasakan apa yang mereka rasakan apalagi dalam kondisi pandemi saat ini.Â
Sebagi wakil rakyat melatih dan mengembangkan empati terhadap rakyat yang diwakilkan dapat menjadikan sempurna sebagai  penjelmaan kedaulatan rakyat. Saya pecaya bahwa orang yang berkedudukan sebagai wakil rakyat memahami lima pendekatan terhadap konflik; Kerjasama, pendekatan menang-menang, paksa, menghindar, damai dan kompromi.
Ketika mengutarakan pendapat atau keresahannya melalui sebuah media  dan akhirnya viral dan  mengalami kegagalan dimaknai orang secara positif.  Ada istilah "mulailah dengan hal yang benar , karena hal ini akan menentukan hasilnya"  hal ini terjadi saat kita tidak terlalu memikirkan "apa", "bagaimana" dan "mengapa" sebelum kita memulai suatu komunikasi. Hasilnya gagal memperoleh target yang diinginkan secara tidak sadar menegangkan emosi.
Mulai dengan benar! membuat kerangka komunikasi, berpikir sebelum berbicara sehingga dapat memulainya dengan cara yang benar. Â
Membuat kerangka akan membantu dalam dalam beberapa hal; pertama membantu menuntun percakapan kearah yang diinginkan tanpa menyimpang dan meyebabkan ketegangan, kedua membantu menampilkan informasi dalam suatu cara yang tidak akan membuat orang lain menentang, murka pada kata-kata atau mengabaikan pesan -- pesan yang disampaikan. Â Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI