Mohon tunggu...
Idelia Mahsa Rahma
Idelia Mahsa Rahma Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Studi Kejepangan Universitas Airlangga

Seorang pemuda yang gemar musik dan belajar bahasa serta budaya asing.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud Artikel Utama

Danjyo Kankei, Hubungan Laki-Laki dan Perempuan di Jepang dari Masa ke Masa

26 September 2022   22:14 Diperbarui: 6 Oktober 2022   05:08 1751
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi seorang pria yang sedang berjalan di Harajuku mengenakan masker. (sumber: PIXABAY.com/UKI EIRI via kompas.com)

Di dunia ini Tuhan menciptakan makhluk hidup dengan beragam macam bentuk, jenis kelamin, gender, dan sebagainya. 

Penciptaan itu tentunya ada alasannya yaitu agar kita sesama makhluk hidup mengerti bagaimana nilai masing-masing individu dalam dunia ini. 

Contohnya dalam ragam manusia, diciptakanlah gender dan jenis kelamin laki-laki dan perempuan agar mereka bisa belajar akan hal tersebut.

Selain itu dengan adanya perbedaan yang ada, Tuhan juga memberi perasaan dan akal agar antara manusia ini bisa saling berkomunikasi dan merasakan perasaan seperti cinta, persaudaraan, kekeluargaan, dan sejenisnya. 

Namun tentunya dengan adanya perkembangan zaman, adanya manusia di bumi ini akan mengalami revolusi seperti dalam bidang ekonomi, sosial budaya, politik, dan bahkan struktur masyarakatnya.

Perubahan beberapa bidang kehidupan manusia tersebut tentunya akan terjadi di seluruh belahan dunia, tidak terkecuali Jepang dan Indonesia yang menjadi lingkup pembahasan pada artikel ini. 

Di Jepang sendiri memiliki istilah dalam hubungan laki-laki dan perempuan dalam masyarakat yaitu 'Danjyo Kankei'. 

Sedangkan di Indonesia sendiri istilah khusus dari hal tersebut belum ada. Dan tentunya kita akan tahu bahwa setiap negara akan memiliki perbedaan perubahan konsep masyarakat yang dianut. 

Mungkin seperti yang awalnya patriarki menjadi matrilineal, matrilineal menjadi patriarki, atau bahkan sudah menerapkan konsep kesetaraan gender. 

Maka dari itu di artikel ini akan menjelaskan dengan ringkas bagaimana perubahan hubungan laki-laki dan perempuan di Jepang (Danjyo Kankei) dari masa ke masa. Lalu, apa perbedaannya dengan di Indonesia?

Dilihat dari sisi sejarahnya, hubungan antara laki-laki dan perempuan di Jepang mengalami perubahan seiring berjalannya sistem dominasi sosial dan juga seberapa besar pengaruh peran perempuan dalam masyarakat tersebut. 

Di zaman dahulu, Jepang menganut konsep matrilineal di dalam masyarakatnya. Konsep ini adalah dimana perempuan memiliki hak atas properti keluarga dan tidak sedikit juga perempuan yang diangkat sebagai pemimpin. 

Pada zaman itu laki-laki dan perempuan terlihat setara dalam segala bidang kehidupan, mulai dari sosial, politik, dan perekonomian kehidupan sehari-hari.

Hal yang cukup mengejutkan adalah masih banyaknya masyarakat Jepang yang menyetarakan perempuan dan laki-laki meskipun zaman berganti ke zaman Nara dan Heian yang notabenenya sudah didominasi laki-laki. 

Namun di lingkungan kerajaan, para laki-laki dianggap mempunyai kuasa besar atas perempuan. Karena hal tersebut, di akhir zaman Heian hak suksesi pada perempuan mulai melemah dan semua kekuasaan lebih diarahkan kepada laki-laki khususnya dalam bidang ekonomi.

Lalu di zaman Kamakura dan Muromachi, dalam masyarakat Jepang mulai berkembang sistem Ie. Ie sudah digunakan sebagai istilah sehari-hari dalam sejarah jepang. 

Dalam bahasa Jepang Ie memiliki arti rumah (bangunan), rumah tangga, kekerabatan, dsb. Ada dua hal yang sangat penting dalam Ie yaitu standar dan norma sistem Ie. 

Jadi, yang penting itu konsep lintas generasi yang bisa dijaga dengan baik antar generasi. Contoh toko roti yang sebuah bisnis keluarga yang dijalankan turun temurun oleh generasi berikut sebuah keluarga tersebut. 

Contoh lainnya adalah pewarisan nama marga. Selain itu peran perempuan disini adalah untuk menyatukan dua keluarga demi kekuatan politik dan juga dituntut untuk mematuhi suami dalam menjalankan keluarga selama perang.

Di masa Edo, hubungan laki-laki dan perempuan mengalami perubahan yang cukup signifikan. Hal tersebut dikarenakan adanya paham Konfusianisme. Apa itu paham Konfusianisme. 

Konfusianisme adalah pemikiran filosofi resmi dari kesoghunan Tokugawa, pemikiran ini sangat berdampak besar bagi cara berpikir masyarakat pada saat itu. 

Seperti maraknya pemikiran "laki-laki di luar dan wanita di dalam", maksud dari pemikiran tersebut adalah para laki-laki sajalah yang diwajibkan untuk bekerja dan beraktivitas di luar rumah.

Sedangkan perempuan diwajibkan atau diusahakan untuk beraktivitas di rumah saja seperti mengurus pekerjaan rumah tangga atau anak (jika ada).

Kemudian dengan semakin modernnya zaman (Meiji), perubahan hubungan laki-laki dan perempuan tentunya ikut berubah. Hal tersebut ditunjukkan dengan adanya pengaruh barat seperti pembangunan fasilitas edukasi formal bagi laki-laki maupun perempuan. 

Namun, tentunya tidak langsung hilang patriarki di zaman sebelumnya, karena pembelajaran di sekolah formal yang diizinkan perempuan mengikuti lebih condong mengajari bagaimana menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Maka dari itu lahirlah konsep 'Ryosaikenbo' yang berarti 'Good Wives and wise mother'.

Lalu bagaimana hubungan laki-laki dan perempuan Jepang di era modern seperti sekarang ini. Hubungan keduanya saat ini berubah cukup besar. 

Dimulai dengan para perempuan yang lebih memilih karier daripada menikah atau mereka juga bisa saja tetap menjalin sebuah hubungan asmara tetapi tidak berniat untuk melanjutkannya ke hubungan yang lebih serius. 

Begitu juga laki-laki, karena keadaan yang seperti itu kerap kali mereka lebih memilih melajang sampai umur yang bisa dibilang cukup tua untuk menikah. Kebanyakan saat ini laki-laki dan perempuan lebih fokus memilih dan memperbagus kehidupan individu masing-masing. 

Maka dari itu tidak diherankan hal tersebut memicu turunnya angka kelahiran dan meningkatnya angka usia tua di Jepang.

Sedangkan di Indonesia bagaimana, apakah sama atau sangat berbeda dengan Jepang. Indonesia sendiri memang sejak masa lalu dikenal oleh masyarakat yang patriarki. 

Mulai dari banyaknya pahlawan laki-laki yang lebih banyak disorot daripada pahlawan perempuan. 

Pada zaman dahulu pun, perempuan di Indonesia juga tidak diperbolehkan dan tidak difasilitasi tempat edukasi formal seperti laki-laki pada umumnya karena perempuan dianggap hanya memiliki prinsip '3M' atau 'Macak, Manak, Masak' atau jika diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah 'Berdandan, Melahirkan, Masak'. 

Prinsip tersebut sering kali dikaitkan dengan perempuan di Indonesia sampai saat ini. Namun dengan adanya bantuan dari Ibu R.A. Kartini, para perempuan Indonesia mulai mendapatkan haknya untuk belajar di tempat sekolah formal.

Dengan adanya peristiwa tersebut sampai saat ini para perempuan bisa mendapatkan pendidikan formal seperti laki-laki pada umumnya. 

Namun, meskipun begitu tak jarang juga para perempuan Indonesia mendapat perkataan atau perlakuan yang tidak pantas dari kaum laki-laki saat sedang menempuh pendidikan. 

Dalam hal ini bukan hanya sesama umur atau teman sebaya yang menindas kaum perempuan yang berpendidikan, para guru pun atau orang yang lebih memiliki kekuasaan tinggi kerap kali mencemooh atau merendahkannya juga dengan mengaitkannya ke konsep '3M'. 

Selain itu terkadang dalam dunia politik atau hukum, kaum perempuan kerap kali diperlakukan tidak adil oleh oknum-oknum dari bidang tersebut.

Namun meskipun dengan masih beragamnya ketidakadilan dalam memperlakukan laki-laki dan perempuan dalam beberapa bidang kehidupan yang terjadi di Indonesia, saya berpendapat bahwa kesetaraan gender dan hubungan antar dua gender di Indonesia sendiri ini sudah cukup baik. 

Karena masih cukup banyak yang saling menghormati dan mengingatkan dengan baik-baik jika ada hal yang salah antar sesama. Selain itu dalam lapangan pekerjaan pun, perempuan juga sudah cukup mendominasi beberapa perusahaan terkenal atau lapangan pekerjaan yang lain.

Daftar Pustaka

Davies, R. J., & Ikeno, O. (2011). Japanese mind: Understanding contemporary japanese culture. Tuttle Publishing

Retnani, S. D. (2017). Feminisme Dalam Perkembangan Aliran Pemikiran Dan Hukum Di Indonesia. Jurnal Ilmu Hukum: ALETHEA, 1(1), 95-109. Diakses 26 September 2022.

Israpil, I. (2017). Budaya Patriarki Dan Kekerasan Terhadap Perempuan (Sejarah Dan Perkembangannya). Pusaka, 5(2), 141-150. Diakses 26 September 2022.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun