Berdasarkan data Direktorat Jenderal Kependudukan dan Pencatatan Sipil (Dukcapil) Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri), terdapat 3,97 juta penduduk yang berstatus perkawinan cerai hidup hingga akhir Juni 2021. Jumlah itu setara dengan 1,46% dari total populasi Indonesia yang mencapai 272,29 juta jiwa.Â
Selama proses legal perceraian, orang tua sangat mungkin menunjukkan kemampuan interpersonal dan perilaku pengasuhan anak yang buruk, seperti saling bertengkar dan berteriak, saling menjelekkan satu sama lain di depan anak, meninggalkan anak dengan salah satu orang tua, atau tidak membiarkan anak bertemu dengan salah satu orang tuanya.Â
Setelah proses perceraian selesai, muncul kembali persoalan baru seperti perubahan status sosial ekonomi, relokasi ke tempat baru, kehilangan teman dari tempat lama, menyesuaikan kembali hubungan dengan orang tua, atau menghadapi kemungkinan akan adanya keluarga tiri (Henderson & Thompson, 2016).
Semua pengalaman ini pastinya sangat membekas di batin anak.
Bahkan, pengalaman ini akan terbawa dan membentuk pola berperilaku dan berkomunikasi si anak, ketika ia telah beranjak dewasa.
Individu dengan latar belakang keluarga yang disharmoni dan problematik berpeluang lebih besar untuk mengembangkan ciri pribadi yang kurang adaptif. Contohnya, Ozen (2004) mengungkapkan bahwa bila dibandingkan dengan remaja dari keluarga utuh, remaja dari keluarga bercerai memiliki tipe kelekatan yang penuh ketakutan. Hal ini dapat muncul dalam perilaku manipulatif, mudah cemburu, atau bisa juga menjadi "attention seeker".Â
Lantas, apakah individu dengan latar belakang keluarga yang disharmonis tidak memiliki masa depan gemilang dalam relasi romantisnya?
Jawabanya: belum tentu juga.Â
Mari kita kaji definisi dari relasi romantis yang disampaikan oleh Jerves, Rober,dan Enzlin (2013).Â
Jerves dkk menyebutkan bahwa relasi romantis merupakan suatu hubungan sukarela bersifat timbal balik antara dua orang yang saling sepakat untuk berkencan. Artinya, relasi tersebut seharusnya dibentuk dengan penuh kesadaran, termasuk kesadaran tentang predisposisi yang bersumber dari keluarga inti kedua orang yang sepakat menjalin relasi ini.Â
Nah, dari sini saja, kita bisa simpulkan bahwa kesediaan individu untuk saling terbuka mengenai dirinya itu sangat penting dan sangat diperlukan dalam membangun relasi yang sehat.Â