Sebuah kajian diskusi yang menarik untuk dibahas bersama kaum dewasa muda yaitu tentang relasi romantis. Memang sudah seharusnya demikian, karena pada rentangan usia yang disebut "emerging adults" ini, individu mulai memberikan perhatian serius terkait relasi romantis.Â
Saya tidak menyebut langsung tentang pernikahan ya, karena "perhatian serius" di sini lebih mengarah pada komitmen secara luas, tidak hanya berkaitan dengan komitmen pernikahan.
Baik, kita lanjutkan dulu...
Online dating sites marak digunakan akhir-akhir ini sebagai sarana untuk mencari pasangan yang menurut individu tepat baginya.Â
Meskipun awalnya berbekal face validity saja, tampaknya ada asumsi dari pengguna situs ini untuk selanjutnya dapat mengenal calon pasangan prospektifnya secara lebih komprehensif.
Nah, pertanyaannya adalah mengapa mencari pasangan di situs itu yang dipilih sebagai cara mengawali relasi romantis? Penelitian terdahulu menyebutkan bahwa tingginya penggunaan situs ini berkaitan dengan ketakutan individu mengalami penolakan (Hafen, Spilker, Chango,Marston, & Allen, 2014; Levy, Ayduk, & Downey, 2001).Â
Individu mempersepsikan dirinya lebih sulit bertemu calon pasangan kencan dan memulai hubungan kencan dalam pengaturan kencan yang lebih tradisional, misalnya melalui perkenalan yang diperantarai teman atau biro jodoh konvensional.
Ketakutan mengalami penolakan sehingga sangat sensitif terhadap berbagai respon yang dimunculkan oleh lawan bicara merupakan salah satu bentuk kecemasan sosial. Â
Individu takut mendapatkan penilaian buruk dan maka dari itu, ia cenderung melakukan evaluasi negatif yang berlebihan pada dirinya sendiri. Individu yang memiliki kecemasan sosial cenderung memilih untuk menghindar dari lingkungan sosialnya.Â
Ia akan merasa lebih aman apabila terbebas dari situasi yang berpeluang memunculkan penilaian dari orang lain, akibat keyakinan dirinya yang rendah (Glashouwer, Vroling, de Jong, Lange, & de Keijser, 2013).
Penjelasan ini menjadi masuk akal untuk kita kaitkan dengan mengapa individu yang pencemas secara sosial ini kemudian kesulitan untuk menjalin relasi romantis secara tradisional (Porter & Chambless, 2017), seperti mengajak berkenalan, berjabat tangan, mengajak ngobrol tentang topik yang sedang trend, atau menawarkan makan bersama.Â
Individu dengan kecemasan sosial sulit membangun relasi yang lebih intim karena resiko untuk mendapatkan penilaian dari pasangan -atau bahkan masih calon pasangan- akan lebih tinggi jika dibandingkan dengan relasi sosial pada umumnya yang melibatkan lebih banyak orang. Hal ini menyebabkan keragu-raguan untuk mengungkapkan diri yang sebenarnya pada pasangan -atau calon pasangan.Â
Dilematis bukan?
Individu dihadapkan pada kondisi kesepian yang mungkin dijalani ketika tidak berpasangan dan berpotensi juga mengalami kondisi cemas ketika akan membangun relasi romantis.Â
Menurut pendapat saya, memang tidak selalu ya..status jomblo itu akan memunculkan perasaan kesepian pada individu.Â
Hanya saja, jika kita mengkaji dari sudut pandang teori psikologi perkembangan manusia, memang ada tahapan usia dimana individu merasakan kebutuhan yang lebih kuat untuk berpasangan, belajar untuk membina hubungan dan membentuk keluarga (Hurlock, 1999).Â
Selanjutnya, pada individu (memang tidak semua ya...) akan muncul konflik internal antara upaya pemenuhan kebutuhan untuk menyelesaikan tugas perkembangan dan ketakutan-ketakutan di dalam dirinya yang spesifik berkaitan dengan kecemasan sosial ini.Â
Online dating sites menjadi "penyelamat". Melalui situs ini, individu dapat melakukan "testing of the water" dulu, dengan menjawab pertanyaan "sekiranya aman atau tidak ya melakukan pengungkapan diri seperti ini?"Â
Ada banyak hal yang bisa dikelola -saya tidak menggunakan kata manipulasi ya, nanti kesannya antagonis hehe - misalnya: foto, ini diambil yang terbaik atau bahkan dengan bantuan aplikasi photo editor; curriculum vitae dengan hanya menampilkan outstanding achievement saja; dan upaya pengelolaan kesan lainnya. Hal ini memang lazim dilakukan untuk mengelola citra diri individu, terutama jika dia melakukannya dalam rangka mencari pasangan (Hance, Blackhart, Â & Dew, 2017). Harapannya, kan juga dapat memperoleh pasangan yang sama kerennya?
Bahayanya adalah bagaimana jika kedua belah pihak melakukan upaya pengelolaan seperti ini? Artinya, mereka tidak menjadi diri mereka yang sejujurnya ketika mengawali sebuah relasi.Â
Memang sih, tidak mungkin sekali kenalan di dating sites terus langsung berkomitmen menjalin relasi romantis, tetapi setidaknya perkenalan yang genuine dan dapat dipercaya, merupakan awalan yang baik untuk sebuah relasi ke depannya, bukan begitu?Â
Nah ini, peran kemampuan interpersonal menjadi penting untuk ditengok kembali. Sebuah penelitian menyebutkan bahwa pengalaman bersama orang tua membuat anak-anak belajar kemampuan interpersonal yang nantinya dapat meningkatkan atau menghambat hubungan romantis saat dewasa (Masarik, Conger, Donnelian, & Stallings, 2014).Â
Tapi, saya tidak akan membahas peran pengalaman masa lalu dalam tulisan ini. Sekarang kita kembali ke fokus bahasan kita, yaitu kecemasan sosial dan relasi romantis.Â
Kecemasan ini, tadi sudah saya singgung, akan mendorong individu untuk melakukan mekanisme pengelolaan diri yang berpeluang melemahkan hubungan.Â
Kecemasan sosial dapat menjadi faktor rendahnya kualitas hubungan (Monk, Vennum, Ogolsky, & Fincham, 2014). Ketika kualitas hubungan rendah, pasangan akan menemui kesulitan untuk membangun hubungan jangka panjang yang mutual.Â
Tantangan bagi pengguna dating sites adalah untuk mulai menampilkan diri mereka secara tulus, jika memang hendak mensubstitusi pencarian pasangan melalui situs tersebut.Â
Kalau tujuannya hanya untuk mendapatkan partner untuk one-night-stand, tentunya ceritanya akan beda lagi. Ya kan?
Baik melalui online dating sites (yang diasumsikan lebih aman untuk individu yang mengalami kecemasan sosial) atau melalui pertemuan pencarian jodoh secara konvensional (yang diasumsikan "lebih seram" karena langsung berhadapan dengan sumber kecemasan), relasi romantis akan tetap mengarah pada interaksi yang tulus, hangat, dan suportif dari kedua belah pihak.Â
Dengan demikian, mengenali kondisi kecemasan yang dialami, bersedia terbuka untuk membahasnya (bisa dengan profesional atau orang terpercaya), dan berkeyakinan untuk terus bertumbuh menjadi pribadi yang lebih baik merupakan awal yang bagus untuk memulai sebuah relasi romantis.Â
Agaknya, saya sepakat dengan quote "pasangan yang tepat akan menerima kita apa adanya".Â
Jika belum menemukan yang tepat, ya nggak papa.. lanjutkan proses pengembangan diri dan tentunya proses pencarian si jantung hati :)
Referensi:
- Glashouwer, K. A., Vroling, M. S., de Jong, P. J., Lange, W-G. & de Keijser, J. (2013). Low implicit self-esteem and dysfunctional automatic associations in social anxiety disorder. Journal of Behavior Therapy and Experimental Psychiatry. 44(2), 262-270.
- Hafen, C. A., Spilker, A, Chango, J., Marston, E. S., & Allen, J.P. (2014). To accept or reject? The impact of adolescent rejection sensitivity on early adult romantic relationships. Journal of Research on Adolescence, 24, 56-64. DOI:10.1111/jora.12081
- Hance, M.A, Blackhart, G. & Dew, M. (2017): Free to be me: the relationship between the true self, rejection sensitivity, and use of online dating sites, The Journal of Social Psychology, DOI: 10.1080/00224545.2017.1389684
- Hurlock, E. B. (1999). Psikologi Perkembangan: Suatu pendekatan sepanjang rentang kehidupan. Jakarta: Erlangga.
- Levy, S. R., Ayduk, O., & Downey, G. (2001). The role of rejection sensitivity in people's relationships with significant others and valued social groups. In M. R. Leary (Ed.), Interpersonal rejection (pp. 251-289). New York: Oxford University Press.
- Masarik, A., Conger, R., Donnelian, M., & Stallings, M. (2014). For Better and for Worse: Genes and parenting interact to predict future behavior in romantic relationships. Journal of Family Psychology, 28(3).
- Monk, J. K., Venuum, A. V., Ogolsky, B. G. & Fincham, F. D. (2014). Commitment and sacrifice in emerging adult romantic relationships. Marriage & Family Review. 50(5), 416-434.
- Porter, E., & Chambless, D. L. (2017) Social anxiety and social support in romantic relationships. Behavior Therapy, 48, 335-348.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H