Kita bertanya: Kenapa maksud baik tidak selalu berguna, kenapa maksud baik dan maksud baik bisa berlaga. Orang berkata: kami ada maksud baik.
Dan kita bertanya: maksud baik untuk siapa? Ya! Ada yang jaya, ada yang terhina. Ada yang bersenjata, ada yang terluka. Ada yang duduk, ada yang di duduki. Ada yang berlimpah, ada yang terkuras.
Dan kita disini bertanya : " Maksud baik saudara untuk siapa?" saudara berdiri dipihak yang mana? Kenapa maksud baik dilakukan, tetapi makin banyak petani kehilangan tanahnya ? Tanah-tanah di gunung telah dimiliki orang-orang kota".
Dan di dalam udara yang panas kita juga bertanya :
Kita ini dididik untuk memihak yang mana ?
Ilmu-ilmu yang diajarkan di sini
akan menjadi alat pembebasan,
ataukah alat penindasan ?
Potongan puisi dari WS. Rendra ini akan mengawali keresahan saya terhadap persoalan pelik pada pemilu kali ini, ditambah dengan polarisasi masyarakat yang tak kian surut pasca - pemilu, pertikaian soal penghitungan suara dan hal-hal kontradiksi lainnya menguatkan saya untuk bertanya - tanya:
Inikah pesta demokrasi itu?
Atau, pantaskah Pemilu 2019 ini dijuluki sebuah pesta?
Pertentangan diskursif memang konstan terjadi di dalam suatu peradaban, apalagi bukan hal asing apabila kita menemuinya di negara demokrasi ini. Tentu anda boleh mengatakan bahwa setiap orang berhak berargumen dan itu jelas dilindungi oleh undang - undang. Namun, ada gejala yang sudah menciptakan dualisme ini menjadi semakin berkecamuk dan nampaknya pertengkaran ini lebih panas jika kita saksikan di dunia maya. Makna demokrasi ini tidak lagi soal tukar pikiran ataupun gagasan, namun lebih kepada interaksi amarah dan transaksi kebencian.
Ada sekelompok oknum yang boleh jadi secara massif dan terencana menyebarluaskan berita - berita tak utuh dan sebetulnya perlu dipertanyakan kebenarannya. Postingan hoax, ujaran kebencian dan dogma - dogma lain dituangkan dengan struktural didalamnya. Sungguh peristiwa ini menjadi lebih menyedihkan lagi bagi saya sebagai seorang muslim. Dengan pemilu ini, kini orang - orang sudah cakap dan lantang untuk menghina, menghujat dan memanjatkan doa - doa buruk bahkan terhadap ulama sekalipun.
Tidak jarang saya temui yang bahkan mereka sampai mendoakan agar ulama tersebut segera menjumpai kematiannya. Tentu, bagi oknum tersebut ini adalah sebuah pencapaian, mereka berhasil menggiring masyarakat untuk fanatik kepada salah satu paslon dan dengan itu informasi busuk dari mereka akan dapat tersebar dengan cepat secara kolektif keseluruh pelosok negeri. Secara tidak langsung, jati diri bangsa ini sedang dididik untuk benci terhadap perbedaan. Ini tidak lain adalah untuk mempermulus cita - cita kedua oknum yang berbaris dibelakang kedua paslon tersebut yaitu; Mempertahankan kekuasaan / merebut kekuasaan.
Atau bahkan barangkali ada oknum lain yang memang ingin mencederai sila ke-3 ideologi kita?
Ucapan terimakasih dan apresiasi kepada film "The Killers" yang baru saja rilis akhir - akhir ini. Produk langka yang tidak pernah saya temui di media informasi sekelas televisi. Film yang memuat informasi secara rinci bagaimana sisi kelam proyek raksasa yang melibatkan capres dan cawapres kali ini. Film ini telah merangsang nalar saya sehingga terbentuklah beberapa pertanyaan dibawah ini.
Apakah elite politik yang banting tulang demi kemenangan salah satu paslon itu sebetulnya berjuang demi kesejahteraan dan kelancaran proyek/ perusahaanya?
Bukan semata untuk hendak mewujudkan visi misi yang capres dan cawapresnya buat?
Atau, dibalik visi misi untuk mensejahterakan rakyat, adakah visi misi lain untuk mensejahterakan proyek raksasa elite yang duduk di meja koalisinya?
Tentu, saya harap tujuan dari kedua paslon bukan sekedar untuk hegemoni saja. Dan saya harap pertanyaan yang saya utarakan tersebut dijawab dengan kata "tidak".
Namun jika jawabannya "tidak". Mengapa tidak sedikit dari mereka justru menjilat lawan ketika kawannya terdesak dan dihantui kekalahan?
Mengapa janji untuk mensejahteraan rakyat itu terlihat cukup kontras dengan aktifitas peroyek kalian yang gemar melakukan penggusuran?
ADU DOMBA?
Dialog masyarakat mengenai pemilu kali ini sesungguhnya bukan lagi berdasarkan mana visi yang lebih baik, melainkan yang sangat signifikan adalah hal - hal menakutkan yang sering mereka temui di timeline media sosial mereka, atau boleh jadi mereka mendengarnya dari beberapa demagogi yang diteriakan sekelompok orang tak bertanggung jawab. Seperti hal - hal yang akan terjadi jika si calon a atau b terpilih. Katakan saja jika saya memilih a; khilafah akan terbit, atau jika saya tidak memilih a; PKI akan bangkit. Pada akhirnya kedua kubu merepresentasikan dirinya sebagai penyelamat.
Dengan fitnah dan hoax yang mereka bingkai dengan dalih kebenaran mereka buat jati diri bangsa baru dari setiap potongan kebencian. Tentu ini tidak selaras dengan visi misi yang kedua paslon buat.
Apakah gotong royong untuk membenci orang lain?
Apakah maksud perdamaian itu adalah berdamai dengan kebencian? Bukankah kebencian itu harus dilawan?
Masyarakat seakan sedang di adu domba, mereka dijadikan alat untuk menyebar berita propaganda. Padahal setelah mereka mengantri dan mencoblos surat suara, setelah itu kembalilah mereka kerumahnya masing - masing dan kembali ngutang ke warung terdekat.
Bisa jadi, sebenarnya masyarakat juga tidak memahami esensi dari pesta demokrasi ini?". Banyak kita temui masyarakat yang jangankan siapa calon DPR/DPD, kepala daerah (Bupati dan Wakil Bupati, Gubernur dan Wakil Gubernur) mereka yang tengah menjabat saja tidak tahu. Tentu, saya berasumsi bahwa ini karena wakil rakyat/ calon wakil rakyat tersebut hanya 5 tahun sekali menjadi good people yang menjumpai rakyatnya.
Pesta ini seakan hanyalah pesta bagi para elite politik menjelang rotasi kekuasaan. Berbondong - bondong menunggu bagian untuk duduk di kursi kebahagiaan. Kursi yang dapat mewujudkan keinginan rakyat. Namun, alih - alih mewujudkan keinginan rakyat, tidak sedikit dari mereka malah mewujudkan keinginan itu untuk mereka nikmati sendiri. Saya cukup setuju dengan potongan kalimat yang diutarakan oleh cepot (Seniman) di pertunjukan wayangnya. Kira - kira begini:
Rakyat ingin kaya, mereka wakili
Rakyat ingin makan enak, mereka wakili
Rakyat ingin sejahtera, mereka wakili
Dan selain dari itu, sebetulnya apakah sistem dan kebijakan di negara ini sudah benar - benar berasal dari rakyat? Atau kehendak dari petinggi - petinggi partai?
MUSIBAH?
Dari konflik dan semua pertikaian yang terjadi akhir - akhir ini, apakah itu tidak akan menjadi hal yang mengundang musibah untuk negeri ini? Fitnah, kebohongan, celaan dan hinaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan cebong dan kampret. Dua organisme yang terlanjur larut dalam fanatisme yang semu.
25 Triliun dana dialirkan untuk pesta di tahun 2019 ini. Pesta yang telah melahirkan dualisme dan keretakan. Dan mungkin juga musibah bagi 6 ibu yang telah keguguran karena dikabarkan mengalami kelelahan akibat kegiatan pemilu ini, bagi 527 jiwa yang telah meninggalkan dunia dengan penuh misteri dan bagi 11.239 orang petugas yang masih terbaring sakit. Data ini saya ambil dari siaran pers Kementerian Kesehatan yang diterima di Jakarta, Kamis (16/5/2019), seperti dikutip Antara, jumlah korban sakit dan meninggal tersebut hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019
Anda boleh tidak setuju dan tidak sependapat dengan saya. Namun, dengan honor petugas yang hanya sebesar Rp. 500.000,- . (Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-118/MK.02/2016 tentang Penetapan Standar Biaya Honorarium Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, serta Tahapan Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota Serentak) ini mereka harus memikul beban yang sangat berat ditambah lagi dengan pelaksanaan pilpres pileg yang dilaksanakan serentak. Tentu ini menjadi pikulan tambahan bagi mereka.
Kotak suara berbahan kardus ini nampaknya sudah menghabiskan uang terlalu besar sehingga tidak dapat menjadi penghemat anggaran untuk meningkatkan upah petugas.
Pilpres dan pileg yang dilaksanakan serentak ini juga ternyata tidak bisa menjadi suatu upaya penghematan anggaran untuk nantinya bisa menciptakan honor yang sedikit lebih besar kepada petugas.
Dengan waktu kerja yang lebih dari 24 jam bahkan berhari - hari dan disertai lembur, honor Rp.500.000 ini begitu tidak wajar jika kita memperhatikan Undang - Undang Ketenagakerjaan dan Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia. Tentu terlalu sadis jika saya katakan bahwa ini adalah suatu bentuk perbudakan. Semoga kedepannya kejadian seperti ini selalu menjadi bahan evaluasi menuju sistem yang lebih baik lagi.
Kami sedang bertanya, tolong jangan kalian jawab dengan senjata
Kiranya kutipan yang saya ambil dari WS. Rendra di atas mengakhiri catatan ini.
Catatan ini tidak saya tulis dengan maksud menggiring pembaca agar tidak lagi minat dan berpartisipasi dalam pemilu selanjutnya. Tidak ada pula maksud dari diri saya agar pembaca tidak lagi ikut serta dalam pesta selanjutnya. Ini hanya sekilas ganjalan yang tinggal dalam benak saya dan semoga bisa menajadi suatu refleksi untuk pembaca. Tentu, saya juga tidak berniat membuat pembaca menjadi tidak peduli lagi terhadap perhelatan pemilu, karena sesungguhnya dengan tulisan ini, saya sedang mencoba peduli terhadap demokrasi dan pesta demokrasi di negeri saya ini.
Ada sepotong kalimat dari tere liye yang terlibat memotivasi saya untuk membuat artikel ini;
Jika kita memilih tidak peduli, lebih sibuk dengan urusan masing - masing, nasib negeri ini persis seperti sekeranjang telur di ujung tanduk, hanya soal waktu akan pecah berantakan.
Semoga tuhan selalu membuat kita berpikiran terbuka dan saling sayang menyayangi
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H