Pesta ini seakan hanyalah pesta bagi para elite politik menjelang rotasi kekuasaan. Berbondong - bondong menunggu bagian untuk duduk di kursi kebahagiaan. Kursi yang dapat mewujudkan keinginan rakyat. Namun, alih - alih mewujudkan keinginan rakyat, tidak sedikit dari mereka malah mewujudkan keinginan itu untuk mereka nikmati sendiri. Saya cukup setuju dengan potongan kalimat yang diutarakan oleh cepot (Seniman) di pertunjukan wayangnya. Kira - kira begini:
Rakyat ingin kaya, mereka wakili
Rakyat ingin makan enak, mereka wakili
Rakyat ingin sejahtera, mereka wakili
Dan selain dari itu, sebetulnya apakah sistem dan kebijakan di negara ini sudah benar - benar berasal dari rakyat? Atau kehendak dari petinggi - petinggi partai?
MUSIBAH?
Dari konflik dan semua pertikaian yang terjadi akhir - akhir ini, apakah itu tidak akan menjadi hal yang mengundang musibah untuk negeri ini? Fitnah, kebohongan, celaan dan hinaan yang sudah menjadi bagian dari kehidupan cebong dan kampret. Dua organisme yang terlanjur larut dalam fanatisme yang semu.
25 Triliun dana dialirkan untuk pesta di tahun 2019 ini. Pesta yang telah melahirkan dualisme dan keretakan. Dan mungkin juga musibah bagi 6 ibu yang telah keguguran karena dikabarkan mengalami kelelahan akibat kegiatan pemilu ini, bagi 527 jiwa yang telah meninggalkan dunia dengan penuh misteri dan bagi 11.239 orang petugas yang masih terbaring sakit. Data ini saya ambil dari siaran pers Kementerian Kesehatan yang diterima di Jakarta, Kamis (16/5/2019), seperti dikutip Antara, jumlah korban sakit dan meninggal tersebut hasil investigasi Kemenkes di 28 provinsi per tanggal 15 Mei 2019
Anda boleh tidak setuju dan tidak sependapat dengan saya. Namun, dengan honor petugas yang hanya sebesar Rp. 500.000,- . (Berdasarkan Surat Menteri Keuangan Nomor S-118/MK.02/2016 tentang Penetapan Standar Biaya Honorarium Tahapan Pemilu Anggota DPR, DPD, DPRD, Presiden, dan Wakil Presiden, serta Tahapan Pemilihan Gubernur/Bupati/Wali Kota Serentak) ini mereka harus memikul beban yang sangat berat ditambah lagi dengan pelaksanaan pilpres pileg yang dilaksanakan serentak. Tentu ini menjadi pikulan tambahan bagi mereka.
Kotak suara berbahan kardus ini nampaknya sudah menghabiskan uang terlalu besar sehingga tidak dapat menjadi penghemat anggaran untuk meningkatkan upah petugas.
Pilpres dan pileg yang dilaksanakan serentak ini juga ternyata tidak bisa menjadi suatu upaya penghematan anggaran untuk nantinya bisa menciptakan honor yang sedikit lebih besar kepada petugas.
Dengan waktu kerja yang lebih dari 24 jam bahkan berhari - hari dan disertai lembur, honor Rp.500.000 ini begitu tidak wajar jika kita memperhatikan Undang - Undang Ketenagakerjaan dan Upah Minimum Regional (UMR) di Indonesia. Tentu terlalu sadis jika saya katakan bahwa ini adalah suatu bentuk perbudakan. Semoga kedepannya kejadian seperti ini selalu menjadi bahan evaluasi menuju sistem yang lebih baik lagi.
Kami sedang bertanya, tolong jangan kalian jawab dengan senjata
Kiranya kutipan yang saya ambil dari WS. Rendra di atas mengakhiri catatan ini.
Catatan ini tidak saya tulis dengan maksud menggiring pembaca agar tidak lagi minat dan berpartisipasi dalam pemilu selanjutnya. Tidak ada pula maksud dari diri saya agar pembaca tidak lagi ikut serta dalam pesta selanjutnya. Ini hanya sekilas ganjalan yang tinggal dalam benak saya dan semoga bisa menajadi suatu refleksi untuk pembaca. Tentu, saya juga tidak berniat membuat pembaca menjadi tidak peduli lagi terhadap perhelatan pemilu, karena sesungguhnya dengan tulisan ini, saya sedang mencoba peduli terhadap demokrasi dan pesta demokrasi di negeri saya ini.