Saat berusaha mengingat masa-masa di sekolah, eh, ralat. Saya tidak butuh usaha untuk mengingat. Saat saya teringat masa-masa di sekolah dulu. Semua ada lekat dan lengkap dalam ingatan saya. Ini mungkin yang dinamakan ingatan jangka panjang. Kok tidak ada yang tidak menyenangkan untuk diingat, ya?Â
Sesulit apapun para guru menargetkan objektif pembelajaran, rasanya saya tidak punya memori buruk tentang saya yang stress karena kadang tidak mampu memenuhi target tersebut. Ish, bukan berarti saya murid yang pandai, lho.Â
Sekeras apapun disiplin yang diterapkan di sekolah dan asrama (saya menghabiskan tingkat sekolah menengah pertama dan menengah atas di sekolah berasrama), saya tak punya memori menyedihkan tentang menjalani hukuman atau yang sejenisnya walaupun jelas saya pernah melanggar dan dihukum karena melakukan pelanggaran.Â
Sebagaimanapun prihatin kehidupan jauh dari orangtua, saya tak punya memori tentang saya yang homesick. Sebenarnya saat menjalani semua itu ada duka dan lara yang kerap menyapa hari-hari anak remaja yang bersekolah dalam asrama yang penuh peraturan lengkap dengan hukuman dan konsekuensi akibat pelanggaran.Â
Sebenarnya tak kurang air mata menetes jika hati didera nestapa ala anak asrama; uang habis sementara hari-hari dalam sebulan masih panjang berbaris, pelajaran kian saat muatan padahal saat itu inginnya main-main saja, fokus belajar dimulai, kantuk tiba-tiba menggelayut, perut kerucukan minta dimanja, lidah iseng ingin ngemil saja. Ah! ABG segala proses pertumbuhannya.Â
Belum lagi kesusahan dan duka lara tentang uang jajan yang menipis, kehilangan sandal berkali-kali dan betapa inginnya makan berlauk rumahan buatan ibu sendiri... Â Yang terpahat dalam ingatan saya hanya manis dan manis saja. Kini saya mulai meraba apakah ini semua efek masa remaja yang ditemani musik 90s alias lagu-lagu tahun 90an? Coba saya ingat-ingat lagi, ah.
Saya ingat pertama kali naksir seorang cowok yang sangat eligible, dalam artian ini cowok kalem terlihat pinter, fisiknya OK dan rasanya sih gemar belajar. Tipe saya banget, lah. Kok ya tiba-tiba saya dapet sepotong puisi dari dia? Alamaaak! cocok, nih.
Ternyata saya bukan bertepuk sebelah tangan, dong. Perasaan yang mengatakan ada orang yang yang kita suka ternyata juga suka kita (Saya aja, deh. Masak kita semua!) membuat hari-hari bertambah ceria. Cerah.Â
Walaupun tak ada kontak apapun setelah potongan puisi itu, saya yakin saja kita sudah "satu rasa". Haha. Namanya di asrama, kontak terintim kami ya curi pandang saja dari jarak lantai 2 gedung A ke lantai 3 gedung B. Kebayang kan betapa "dekatnya"? Terima kasih kepada penglihatan yang masih sempurna.Â
Nah, itu sudah cukup membuat seharian senyum-senyum sendiri.Â
Namun apa mau dikata, tahun ajaran berikut kami terpaksa pisah lokasi, saya harus pindah ke asrama di Bogor, sementara dia, yang seharusnya pindah juga, mengajukan keringanan untuk tetap di asrama yang di ibukota dengan alasan: mengidap biduran parah, alergi hawa dingin.Â
Ya ampun, sepanjang jalan dalam bus yang membawa saya pindah asrama, lagu Richard Mark "If You Were My Baby" kontan saya hapal luar kepala dan resmi menjadi lagu patah hati saya yang pertama. Berpisah karena biduran. Adakah alasan yang lebih elit daripada itu?
Tahun-tahun berikut berisi keceriaan khas remaja yang senang bereksplorasi. Salah satu keistimewaan sepanjang weekend; hari Sabtu dan Minggu saat di asrama adalah semua siswa boleh mengakses televisi dan radio. Duh, senangnya bisa menyimak siaran radio favorit dalam 2 hari full.Â
Radio saya terus stay tuned di stasiun radio yang setia memanjakan telinga dengan lagu-lagu pada zaman itu, di antaranya Teardropsnya The Radios, Wild Worldnya Mr. Big, Wind of Change dari Scorpions, I Swear kepunyaan All For One dan masih sederet panjang lagu-lagu Michael Learns to Rock, Aerosmith, Bryan Adams, Roxxette, Â dan Airsupply menemani saya belajar mengurus diri sendiri; mencuci pakaian, menyetrika, merapikan isi lemari, menyampul buku-buku, mengerjakan tugas, menghapal kosakata dan menyusun pidato dua bahasa.Â
Untuk dua tugas terakhir, lagu-lagu berbahasa Inggris punya banyak konstribusi dalam perkembangan kosakata dan struktur kalimat yang saya pelajari. Â
Sementara lagu-lagunya Nike Ardilla dan Poppy Mercury menorehkan kenangan tentang seorang sahabat yang tutup usia di masa sekolah. Ia seorang penggemar berat lagu dua penyanyi cantik itu. Ia anak rantau asal Bangka yang dengan manis menjalin persahabatan, bukan hanya dengan saya, namun dengan seluruh anggota keluarga saya.Â
Semoga almarhumah beristirahat dengan tenang. Khusus lagu Bintang-Bintangnya Titi DJ menemani saya dan seorang teman sekelas yang gila-gilaan bernyanyi seusai kelas tambahan di malam hari, di saat semua orang menikmati makan malam dan hanya kami berdua tersisa di ruang kelas.Â
Binar mata ceria dan jenakanya yang sangat menghibur masih terbayang hingga sekarang. Suara kami yang sama-sama sumbang tak sedikitpun mengurangi kesenangan malam itu. Ditambah joget-joget nggak jelas yang berujung tertawa ngakak bebas tak terkendali. Kegilaan yang dirindukan. Terima kasih, teman.
Kemudian suatu saat saya punya teman dekat, cowok. Lagu kebangsaan kami saat itu Alwaysnya John Bon Jovi. Hahaha! Kalau diingat-ingat, mungkin saat itu kita bilang "always" saja dulu. Kalau ternyata kita tak berlanjut? Yah, tinggal resmikan "Goodbye"nya Air Supply untuk menjadi lagu penutup dan perpisahan. Hehehe.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI