Namun apa mau dikata, tahun ajaran berikut kami terpaksa pisah lokasi, saya harus pindah ke asrama di Bogor, sementara dia, yang seharusnya pindah juga, mengajukan keringanan untuk tetap di asrama yang di ibukota dengan alasan: mengidap biduran parah, alergi hawa dingin.Â
Ya ampun, sepanjang jalan dalam bus yang membawa saya pindah asrama, lagu Richard Mark "If You Were My Baby" kontan saya hapal luar kepala dan resmi menjadi lagu patah hati saya yang pertama. Berpisah karena biduran. Adakah alasan yang lebih elit daripada itu?
Tahun-tahun berikut berisi keceriaan khas remaja yang senang bereksplorasi. Salah satu keistimewaan sepanjang weekend; hari Sabtu dan Minggu saat di asrama adalah semua siswa boleh mengakses televisi dan radio. Duh, senangnya bisa menyimak siaran radio favorit dalam 2 hari full.Â
Radio saya terus stay tuned di stasiun radio yang setia memanjakan telinga dengan lagu-lagu pada zaman itu, di antaranya Teardropsnya The Radios, Wild Worldnya Mr. Big, Wind of Change dari Scorpions, I Swear kepunyaan All For One dan masih sederet panjang lagu-lagu Michael Learns to Rock, Aerosmith, Bryan Adams, Roxxette, Â dan Airsupply menemani saya belajar mengurus diri sendiri; mencuci pakaian, menyetrika, merapikan isi lemari, menyampul buku-buku, mengerjakan tugas, menghapal kosakata dan menyusun pidato dua bahasa.Â
Untuk dua tugas terakhir, lagu-lagu berbahasa Inggris punya banyak konstribusi dalam perkembangan kosakata dan struktur kalimat yang saya pelajari. Â
Sementara lagu-lagunya Nike Ardilla dan Poppy Mercury menorehkan kenangan tentang seorang sahabat yang tutup usia di masa sekolah. Ia seorang penggemar berat lagu dua penyanyi cantik itu. Ia anak rantau asal Bangka yang dengan manis menjalin persahabatan, bukan hanya dengan saya, namun dengan seluruh anggota keluarga saya.Â
Semoga almarhumah beristirahat dengan tenang. Khusus lagu Bintang-Bintangnya Titi DJ menemani saya dan seorang teman sekelas yang gila-gilaan bernyanyi seusai kelas tambahan di malam hari, di saat semua orang menikmati makan malam dan hanya kami berdua tersisa di ruang kelas.Â
Binar mata ceria dan jenakanya yang sangat menghibur masih terbayang hingga sekarang. Suara kami yang sama-sama sumbang tak sedikitpun mengurangi kesenangan malam itu. Ditambah joget-joget nggak jelas yang berujung tertawa ngakak bebas tak terkendali. Kegilaan yang dirindukan. Terima kasih, teman.
Kemudian suatu saat saya punya teman dekat, cowok. Lagu kebangsaan kami saat itu Alwaysnya John Bon Jovi. Hahaha! Kalau diingat-ingat, mungkin saat itu kita bilang "always" saja dulu. Kalau ternyata kita tak berlanjut? Yah, tinggal resmikan "Goodbye"nya Air Supply untuk menjadi lagu penutup dan perpisahan. Hehehe.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H