Mohon tunggu...
Ida Mursyidah
Ida Mursyidah Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Anak Usia Dini

Ibu guru yang gemar membaca, bahkan membaca segala kemungkinan terburuk, untuk menyiapkan mental. Senang menulis, walaupun belum pernah menulis buku solo dan tak akan mampu menulis takdir sendiri. Suka menyimak, meskipun suara hati kecil sering terabaikan. Kadang berbicara, jika memang waktunya tiba dan membawa manfaat bagi yang mendengar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keluarga Sepia Bebi

7 Januari 2021   16:31 Diperbarui: 7 Januari 2021   16:41 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bibo suka sekali menyebrangi sungai kecil untuk merendam kaki dan sesekali mengajak Bibo dan Sipya menghentak-hentakkan kaki untuk menggoda Sapiya. Sapiya akan melotot memperlihatkan mata indahnya dan tak lama suara cempreng manjanya mengadu, 

"Maaak, abang Bibo jahil lagi, nih!"

Sepia emak sapi tak banyak cakap. Lirikan matanya yang agak sipit dan berarti jangan-ganggu-Sapiya-atau-kamu-tak-boleh-makan-rumput-banyak-banyak  cukup membuat  Bibo menghentikan ulahnya sambil sok kalem berjalan di belakang Bebe. Sapiya paling tidak suka kecipratan air ulah Bibo karena katanya, itu bisa membuat kakinya gatal-gatal. 

Ah, Sapiya. Matanya yang belo selalu membuat siapapun yang memandang mendapatkan aliran semangat hidup. Tahun lalu Sapsap tetangga mereka yang akan disembelih berontak sedemikian hebat sehingga membuat pak Matraji hampir tersembelih. 

Kejadian itu berawal dari tatapan Sapiya yang melepas kepergian Sapsap yang dijemput pada suatu hari di mana pemilik Sapsap akan melaksanakan kaulnya yang berbunyi: jika ia berhasil terpilih menjadi kepala dusun, ia akan memotong sapi kesayangannya, si Sapsap itu. 

Lenguhan Sapiya yang melodius bisa membius siapa yang mendengarnya dan kemudian menuruti segala perkataannya. Itu semua menjadi anugerah bagi Sapiya karena ia lahir persis pada malam bulan purnama berhiaskan rintik hujan gerimis dan guncangan gempa 7.0 SR tanpa potensi Tsunami beberapa waktu lalu.

Jalan masih cukup lengang, suasana masih temaram saat langkah kaki Sepia sekeluarga menginjak ujung terendah bukit terakhir. Jalan aspal kelihatan masih sepi dari kendaraan bermotor. Satu-dua keluarga kuda terlihat mulai bekerja. Kudi dan Kodiya terlihat menarik delman ke arah pasar. 

Sementara Kudu dan Kedo menderap di bawah pecut sais delman yang sarat dengan muatan sayur-mayur juga buah-buahan. Mendekati jalan aspal pak Matraji terlihat tegang. Bebi memimpin rombongan di samping pak Matraji. Bebe, Bibo dan Bebya berjalan bersisian diikuti Sepia, Sapiya, Sipya dan Syapaya. 

Pak Matraji memberi kode agar mereka sekeluarga berhenti sejenak sebelum menyeberang jalan. Dua sepeda motor menderu di hadapan mereka. Setelah itu jalanan kosong. 

Pak Matraji menarik tali dan membuat mereka bergerak maju menyeberangi jalan. Bebi, Bebe, Bibo dan Bebya diikuti langkah Sepia, Sapiya, Sipya bergerak terus hingga ke seberang. Sayang, tak semua menyadari bahwa Syapaya tertinggal di seberang jalan. 

Sementara sebuah mobil bergerak sangat dekat dari Sepia yang bergerak berbalik arah untuk menjemput anaknya. Pak Matraji tahu mobil tak sempat melihat iring-iringan mereka yang terputus tadi. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun