Mohon tunggu...
Ida Mursyidah
Ida Mursyidah Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Anak Usia Dini

Ibu guru yang gemar membaca, bahkan membaca segala kemungkinan terburuk, untuk menyiapkan mental. Senang menulis, walaupun belum pernah menulis buku solo dan tak akan mampu menulis takdir sendiri. Suka menyimak, meskipun suara hati kecil sering terabaikan. Kadang berbicara, jika memang waktunya tiba dan membawa manfaat bagi yang mendengar.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Keluarga Sepia Bebi

7 Januari 2021   16:31 Diperbarui: 7 Januari 2021   16:41 257
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Canva design by Ida

Alkisah dalam sebuah cerita fabel, hiduplah seekor sapi betina bernama Sepia. Sumpah, namanya tidak diadaptasi dari judul lagunya Sheilaon7. Teman baik Sepia bernama Bebi. Sungguh Bebi buka nama panggilan sayang untuknya, walaupun Sepia sudah mendapatkan beberapa pedhet dari Bebi. 

Sepia dan Bebi berjanji sehidup semati di bawah saksi dan hidup bersama di bawah asuhan Pak Matraji, sang dukun sapi. Dukun sapi bertugas membawa mereka pergi merumput setiap pagi karena di pulau ini keluarga Sepia Bebi dan ratusan keluarga sapi lainnya harus mandiri. 

Tak ada kandang yang dibuatkan manusia untuk mereka sebut "home sweet home", tak ada juga layanan antar rumput yang datang layaknya room service. Pak Matraji mendata setiap ada pertambahan anggota keluarga atau kematian dalam keluarga Sepia Bebi untuk dilaporkan kepada si empunya keluarga sapi. 

Setiap pagi pak Matraji yang baik hati, suka menabung dan konon bakal berangkat hari sebentar lagi, menjemput mereka sekeluarga untuk mendatangi lapangan rumput di mana mereka sekeluarga, minus pak Matraji, akan memamah rumput sampai kenyang. Keluarga-keluarga sapi di sini kebanyakan tinggal menyebar di gunung-gunung kecil dan perbukitan yang menyebar seantero pulau. 

Pada bulan September, bukit hijau pulau ini bersilih warna, menyoklat serentak, kering, meranggas, tapi tetap jadi tempat andalan bagi pasangan-pasangan calon pengantin yang menggelar sesi foto-foto pra-pernikahan. Ah, untunglah dulu Sepia Bebi tak perlu pre-wed photography. Repot.  

Nenek buyut Sepia juga pernah bercerita bahwa acara foto-foto pra-pernikahan di tengah hutan jati yang meranggas tak pernah ada pada zamannya. Ritual itu banyak muncul sejak hadir sekelompok manusia yang kelebihan dana karena menjadi buruh di sebuah tambang di sebuah gunung nun jauh di ujung barat pulau ini. 

Maka pada bulan musim kemarau itulah keluarga Sepia Bebi akan berjalan lebih banyak dan jauh untuk menemukan padang rumput yang menyisakan rumput segar. Persaingan ketat antar keluarga sapi terasa memanas pada musim kering yang panas itu demi menjadi yang terdepan dan paling pagi tiba di padang rumput hijau.  

Dalam setiap cerita fabel yang Sepia bacakan kepada anak-anaknya yang betina; Sipya, Sapiya dan Syapaya dan juga anak-anak jantannya; Bebe, Bibo dan Bebya, Sepia selalu menyelipkan pesan agar anak-anaknya rajin dan giat bangun pagi. Beruntungnya Sepia, anak-anaknya selalu suka menyimak cerita-cerita yang ia sampaikan dan menuruti pesan emaknya untuk giat bangun pagi. 

Setiap sesaat setelah orang-orang selesai sholat shubuh, pak Matraji tiba di kebun tempat mereka ditinggalkan sehari sebelumnya. Keluarga Sepia Bebi sudah siap berangkat, tanpa cuci muka dan gosok gigi,senyum mereka selalu terlihat lebar dengan geligi yang cemerlang. Pak Matraji selalu senang disambut senyuman Sepia Bebi sekeluarga. 

Dengan telaten sabar pak Matraji menggiring mereka menuruni bukit yang coklat dan kering melintasi sungai kecil yang mengering di sana-sini. Ah, sungai yang mengering airnya membuat Bebe, Sipya dan Bibo kecewa. 

Bibo suka sekali menyebrangi sungai kecil untuk merendam kaki dan sesekali mengajak Bibo dan Sipya menghentak-hentakkan kaki untuk menggoda Sapiya. Sapiya akan melotot memperlihatkan mata indahnya dan tak lama suara cempreng manjanya mengadu, 

"Maaak, abang Bibo jahil lagi, nih!"

Sepia emak sapi tak banyak cakap. Lirikan matanya yang agak sipit dan berarti jangan-ganggu-Sapiya-atau-kamu-tak-boleh-makan-rumput-banyak-banyak  cukup membuat  Bibo menghentikan ulahnya sambil sok kalem berjalan di belakang Bebe. Sapiya paling tidak suka kecipratan air ulah Bibo karena katanya, itu bisa membuat kakinya gatal-gatal. 

Ah, Sapiya. Matanya yang belo selalu membuat siapapun yang memandang mendapatkan aliran semangat hidup. Tahun lalu Sapsap tetangga mereka yang akan disembelih berontak sedemikian hebat sehingga membuat pak Matraji hampir tersembelih. 

Kejadian itu berawal dari tatapan Sapiya yang melepas kepergian Sapsap yang dijemput pada suatu hari di mana pemilik Sapsap akan melaksanakan kaulnya yang berbunyi: jika ia berhasil terpilih menjadi kepala dusun, ia akan memotong sapi kesayangannya, si Sapsap itu. 

Lenguhan Sapiya yang melodius bisa membius siapa yang mendengarnya dan kemudian menuruti segala perkataannya. Itu semua menjadi anugerah bagi Sapiya karena ia lahir persis pada malam bulan purnama berhiaskan rintik hujan gerimis dan guncangan gempa 7.0 SR tanpa potensi Tsunami beberapa waktu lalu.

Jalan masih cukup lengang, suasana masih temaram saat langkah kaki Sepia sekeluarga menginjak ujung terendah bukit terakhir. Jalan aspal kelihatan masih sepi dari kendaraan bermotor. Satu-dua keluarga kuda terlihat mulai bekerja. Kudi dan Kodiya terlihat menarik delman ke arah pasar. 

Sementara Kudu dan Kedo menderap di bawah pecut sais delman yang sarat dengan muatan sayur-mayur juga buah-buahan. Mendekati jalan aspal pak Matraji terlihat tegang. Bebi memimpin rombongan di samping pak Matraji. Bebe, Bibo dan Bebya berjalan bersisian diikuti Sepia, Sapiya, Sipya dan Syapaya. 

Pak Matraji memberi kode agar mereka sekeluarga berhenti sejenak sebelum menyeberang jalan. Dua sepeda motor menderu di hadapan mereka. Setelah itu jalanan kosong. 

Pak Matraji menarik tali dan membuat mereka bergerak maju menyeberangi jalan. Bebi, Bebe, Bibo dan Bebya diikuti langkah Sepia, Sapiya, Sipya bergerak terus hingga ke seberang. Sayang, tak semua menyadari bahwa Syapaya tertinggal di seberang jalan. 

Sementara sebuah mobil bergerak sangat dekat dari Sepia yang bergerak berbalik arah untuk menjemput anaknya. Pak Matraji tahu mobil tak sempat melihat iring-iringan mereka yang terputus tadi. 

Saat Sepia berbalik arah, pak Matraji tahu akan terjadi sesuatu menimpa Sepia atau mobil. Tangannya melepas tali kendali. Besi pemancang berdenting di aspal yang dingin. Ia bergerak ke arah semak belukar di tepi jalan dan membiarkan takdir menentukan ujung cerita.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun