Bulan Januari masih menjadi puncak curah hujan meskipun sepanjang tahun saya juga mengalami beberapa masa di mana curah hujan tiba-tiba meninggi bergantian dengan panas matahari yang terik.Â
Di daerah tempat saya berdomisili, akhir Desember hingga masuk bulan Januari, hujan yang tadinya berpola malam-malam-malam, artinya hujan turun deras atau dalam wujud gerimis hanya dan pasti pada malam hari, perlahan menggeser posisi dan membentuk pola baru menjadi siang-sore-malam, artinya hujan bisa turun kapan saja tanpa pola pasti seperti beberapa minggu sebelumnya. Sebelumnya, hujan lebih sering turun di pagi hari.Â
Selain kelompok pekerja dan anak sekolah, hujan di pagi hari menjadi tantangan bagi pekerja di luar ruangan, seperti petugas sampah dan penjaja makanan keliling.Â
Beberapa penjaja sayur yang saya kenal harus mengatur siasat untuk dapat melewati pola hujan pagi hari saat harus berdagang. Seorang penjaja sayur keliling menyampaikan rumusnya khusus musim hujan: "Jika hujan turun saat saya masih di rumah, belum pergi ke pasar, bisa dipastikan saya libur jualan pada hari itu.Â
Tapi jika hujan turun saat saya sudah sampai di pasar, saya tetap berjualan". Setiap setelah shubuh, si ibu sayur perlu berbelanja di pasar induk untuk mengisi gerobak yang ditempel ke badan bagian belakang sepeda motornya sebelum berkeliling.Â
Sayur-mayur, ikan, daging, masakan matang dan beragam jenis kudapan serta jajan pasar itulah yang menjadi barang dagangannya. Jika hujan turun sebelum dia sempat keluar rumah untuk ke pasar, ditetapkanlah hari itu sebagai hari libur berjualan.Â
Jadi pola hujan pagi hari kurang menguntungkan penjaja sayur keliling. Jam kerja mereka pun cukup singkat; berbelanja di pasar mulai pukul 5 pagi hingga pukul 6 lebih sedikit. Mulai berkeliling di kawasan yang sudah terbagi dalam perjanjian tak tertulis antar pedagang sayur keliling mulai pukul 6.30 hingga sekitar pukul 10.30. Kemudian hujan bergeser ke siang hari.
Pola hujan siang hari pada Bulan Oktober lalu berbarengan dengan musim kawin. Pola hujan siang hari tidak menguntungkan bagi pelaksanaan acara-acara adat yang lazim dilaksanakan pada siang hari.Â
Salah satu contohnya adalah acara pra-pernikahan yang disebut sorong serah atau seserahan. Acara ini selalu dilaksanakan pada pukul 2 siang. Sebenarnya saat musyawarah dua keluarga berlangsung, hujan sudah mapan dengan pola turun siang hari. Bukan bermaksud tidak sopan atau menggugat adat, saya sempat berpikir mengapa kedua pihak keluarga calon mempelai tidak mencari alternatif waktu untuk kepastian berlangsungnya acara tanpa ancaman hujan.Â
Acara yang sering diadakan di luar rumah lengkap dengan tenda bagaimanapun pasti lebih nyaman jika berlangsung tanpa guyuran hujan. Kalau cukup beruntung, hujan turun setelah semua rangkaian acara tuntas dilaksanakan, namun tak jarang dua pertiga agenda acara harus dilangsungkan di bawah guyuran hujan.Â