Mohon tunggu...
Ida Mursyidah
Ida Mursyidah Mohon Tunggu... Guru - Pegiat Literasi Anak Usia Dini

Ibu guru yang gemar membaca, bahkan membaca segala kemungkinan terburuk, untuk menyiapkan mental. Senang menulis, walaupun belum pernah menulis buku solo dan tak akan mampu menulis takdir sendiri. Suka menyimak, meskipun suara hati kecil sering terabaikan. Kadang berbicara, jika memang waktunya tiba dan membawa manfaat bagi yang mendengar.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Bahagia dalam Keragaman

30 Desember 2020   22:43 Diperbarui: 30 Desember 2020   23:09 149
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Aku lahir di ibukota. Anak Betawi, begitu istilah yang biasa disematkan kepadaku. Sebagai anak Betawi, aku tak sekaya Munirih yang mewarisi berpuluh-puluh sapi perah dari babanya. Aku juga tidak seperti Saenah yang meneruskan bisnis kontrakan 57 pintu milik enyaknya. Aku hanya mewarisi semangat menuntut ilmu dari bapak dan mental kaya dari ibu. 

Aku tumbuh di sebuah kampung daerah Tanah Abang yang ramai sepanjang tahun. Ramai karena memang aku tinggal di kawasan perumahan rakyat tradisional yang warganya merupakan penduduk yang sudah menempati daerah tersebut berpuluh tahun lamanya, mulai dari sang buyut hingga sang cicit. Yang sangat menarik dari kampungku adalah warganya yang seperti Indonesia mini.

Tetanggaku sebelah kiri persis adalah keluarga pak Guan yang Tionghoa. Setiap jelang Natal, aku paling suka melewati rumahnya dan berusaha menatap selama mungkin pohon terang yang terlihat jelas dari pintu rumah  yang terbuka. Keluarga Shahri yang bersuku Sunda tinggal di rumah sebelah kiri. Tiga anak gadisnya menganggapku dan adik-adik bagai adik mereka sendiri. Masjid Hasbiyallah terletak persis di depan rumah. Sebelah utara masjid ada rumah Haji Basalamah yang keturunan Arab. 

Dengan tampilan khas kumis baplang dan suara keras, ia suka mengajak bapak berangkat ke masjid untuk sholat Tarawih. Dua warung kelontong andalan ada di barat dan timur, milik Ci A Nyan dan Koh A Beng. Aku sering diminta ibu membeli kebutuhan sehari-hari di warung Ci A Nyan. Harganya murah dan hampir semua barang ada di sana. 

Anak-anak keluarga Jawa dan Padang tak lepas meramaikan suasana keseharian kami. Merla sering ledek-meledek  dengan panggilan "Jawa kowek" atau "Padang pelit". Tak pernah satu kalipun aku dengar ada keributan serius tentang olok-olokan itu. Sungguh aku bangga lahir dan besar di sana. 

Suku Betawi yang tinggal di kampungku biasanya berkerabat denganku, saudara dekat maupun jauh. Abang Togar yang bersuku Batak melengkapi kebinekaan kampungku.  

Ia andalan kami menjelang acara panggung peringatan tujuhbelasan. Suaranya yang merdu dan permainan gitarnya mengantarkannya menjadi pelatih tetap vocal group anak dan remaja. Ketelatenannya melatih benar-benar menjadikannya pelatih yang andal.

Setiap hari raya Natal dan Idul Fitri kami saling mengirimkan hidangan istimewa untuk dinikmati oleh tetangga. Prinsip berbagi kebahagiaan hari raya terasa benar dan sangat membekas hingga aku dewasa kelak. Kampungku terasa ramai juga karena untuk penduduk sebanyak itu, daerah yang ditempati tidaklah luas. 

Rumah-rumah terletak berdekatan dipisahkan jalan yang hanya cukup untuk dilalui 2 sepeda motor di dua arah berlawanan. Kampungku terasa ramai juga karena letaknya sangat dekat dengan sentra bisnis Pasar Tanah Abang sehingga lalu lintas yang melingkupi kampungku adalah lalu lintas yang sangat terpengaruh oleh peak season Tanah Abang dan geliatnya sepanjang tahun. 

Lagi pula mana ada low season untuk Tanah Abang? Sentra bisnis pakaian menggeliat sejak pagi hingga malam. Perputaran barang dan uang super dahsyat aku saksikan sejak masih balita. 

Beberapa tetanggaku merupakan pedagang di Pasar Tanah Abang. Ada ibu Marajo pedagang mukena khas Bukittinggi, ada juga Mang Husen yang biasa mengkreditkan pakaian yang diambilnya dari pedagang di Pasar Tanah Abang untuk dijual ke kampung-kampung.

Ibuku seorang ibu rumah tangga yang membuka usaha jahit pakaian di rumah. Berbelanja di Pasar Tanah Abang kerap dilakukannya untuk membeli kain bahan pakaian pelanggannya. Jarak rumahku ke Pasar hanya selama 15 menit berjalan kaki. Aku sering menemani ibu berbelanja. Ibu memiliki 3 orang karyawan tetap dan 1 orang karyawan musiman. 

Dua orang khusus menjahit menggunakan mesin jahit menyambung potongan-potongan kain yang sudah diukur, yang seorang lagi khusus menjahit dengan tangan. Biasanya untuk memasang buah kancing dan menjahit kelim atau mengesom. Ketiga karyawan ibu punya keterampilan menjahit dengan variasi yang unik. 

Ibu Pungky benar-benar lihai menjahit, jahitannya halus namun harus terus diingatkan untuk mengikuti arahan ibu. Kalau tidak, dia akan menghasilkan potongan yang berbeda dari yang dipolakan. Ibu Asmi dapat menjahit dengan rapi tapi jangan tugaskan ia untuk pakaian yang banyak aksen. Kemahirannya tidak berbunyi saat itu. 

Pakaian-pakain dengan model lurus, sederhana dan tak banyak ornamen akan dihasilkannya dengan sangat mengesankan. Ibu Murti jagonya mengesom. Keliman yang dibuat halus tak teraba. Seakan ia menempel ujung bahan dengan lem saja. Ketiga karyawan tetap ibu adalah single parent. Ibu Pungky bercerai dari suaminya sejak putri mereka berusia 5 bulan. 

Bu Asmi ditinggal wafat sang suami di usia pernikahan mereka yang kedelapan belas. Ibu Murti ditinggal suaminya yang menikah lagi dan tak pernah diberi kejelasan status. Mempekerjakan mereka sesuai keterampilannya adalah salah satu cara ibu memberi kesempatan bagi sesama perempuan untuk berdaya dan menyantuni sesama.

Ibu sibuk sepanjang hari. Mulai sejak pagi menyiapkan seluruh anggota keluarga untuk beraktivitas di luar rumah, bapak pergi ke kantor, aku kakak dan adik berangkat ke sekolah. 

Namun tahukah engkau? Otak ibu paling sibuk justru saat ia berbaring telentang di tempat tidur. Dalam posisi telentang, wajah ibu menatap ke atas matanya terbuka lebar. Tak lama mulutnya komat-kamit. Saat komat-kamit seperti itu, tak satupun orang atau kejadian yang bisa mengalihkannya. 

Ibu sedang konsentrasi mengaplikasikan rumus hitungan dalam pembuatan pola pakaian. Sebagai pemilik usaha jahit pakaian MIYIKA, ibulah yang memegang sepenuhnya bagian pembuatan pola dan pengguntingan kain atau bahan bakal pakaian yang akan dijahit. Karyawan musiman ibu adalah Darnila, seorang anak piatu yang harus menjadi "ibu" bagi 2 orang adiknya. 

Di rumahku, ia  membantu ibu mengerjakan pengemasan pakaian yang butuh dikirim lewat jasa ekspedisi. Dengan keterampilan khas anak muda ia menggunakan gawai untuk urusan pengecekan ongkos kirim dan pelacakan posisi barang kiriman. Pilihan ibu untuk jasa pengiriman barang selalu jatuh pada JNE. 

Sepanjang sejarah usaha ibu, pengiriman hasil jahitannya selalu tiba sesuai perkiraan, bahkan beberapa kali lebih awal daripada estimasi awal. Usaha ibu berkembang sangat baik dan menjadi langganan karyawati beberapa perusahaan swasta dan BUMN di kawasan sekitar Tanah Abang dan Kebon Sirih. 

Jasa bapaklah yang membuat usaha ibu menjangkau pelanggan di kantor-kantor tersebut. Bapak yang karyawan perusahaan swasta di daerah Cempaka Putih memasarkan jasa jahit pakaian yang ibu pimpin lewat teman kantor dan beberapa kenalannya. Dua dekade lebih bapak dan ibu bahu-membahu berbagi kebahagiaan di antara mereka dan menebar manfaat bagi sesama. Aku berjanji akan meneladani beliau berdua.

Label: 3 Dekade Berbagi Kebahagiaan

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun