Keesokan harinya, teman saya itu menelpon minta saya datang kerumahnya untuk mengambil surat izin tidak masuk kuliah dan kartu absennya.
Ternyata sejak hari itu teman saya tidak masuk kuliah lagi.
Selang kira beberapa Minggu, teman saya dan ibunya datang ke rumah saya, rupanya teman saya akan stop out dulu kuliah untuk memulihkan kesehatan mentalnya.
 Ibunya bercerita kepada ibu saya tentang gangguan kesehatan mental yang dialami teman saya itu bukan yang pertama kali, dulu waktu masih kuliah D3 teman saya pernah stop kuliah juga gara-gara mengalsmi hal yang sama yaitu berfikir negatif yang akut sehingga berdelusi.
Selain berpamitan ibunya berterima kasih kepada saya, padahal yang saya lakukan hanya menerima curhatan teman saya selama beberapa jam dan mengambilkan kartu absen ke rumahnya.
Beberapa teman, merasa nyaman curhat kepada saya, tapi itu bukan karena saya pandai menghibur, bukan pula karena saya orang yang bisa menunjukkan perhatian.
Saya dulu termasuk orang yang pendiam, dan cenderung kaku, dan juga cuek. Tapi rupanya karena hal itulah teman saya merasa nyaman curhat dengan saya, karena saya hanya diam dan menjadi pendengar yang baik. Mereka ternyata hanya butuh pendengar yang baik, dan bukan sekedar memberikan nasehat positif serta menghakimi atau meremehkan perasaan mereka.
Beberapa tahun lalu saya mendengarkan keluh kesah dari seorang teman yang sudah sekian tahun menikah tapi masih belum dikaruniai keturunan pada saat itu.
Teman saya jengah dengan perkataan orang-orang disekitarnya sering berkata "sabar" dengannya.
Teman saya lebih sebal lagi dengan orang yang memberikan saran-saran positif seperti: harus melakukan ini dan itu, seolah teman saya tidak melakukan usaha apapun untuk berusaha bisa hamil.
Hanya karena mereka berhasil melakukan hal-hal tersebut jadi menganggap teman saya itu kurang berusaha.