Proses Pendidikan yang dijalankan guru harus dapat berpihak pada murid sehingga Ketika merencanakan pembelajaran maka muridlah yang menjadi bahan pertimbangan dalam perencanaan proses pembelajaran yang akan dilakukan, mengedepankan pada kebutuhan anak yang berbeda dan memfasilitasinya dengan media dan ruang untuk memaunculkan potensi yang dimiliki masing-masing anak.
Karna anak bukan buku putih yang bisa ditulis apapun oleh guru namun anak memiliki kodrat alam sendiri sejak lahir yang memunculkan potensi yang berbeda-beda satu sama lain, anak diibaratnya ketika lahir memiliki garis-garis samar sendiri dan orang dewasalah yang akan menebalkan garis-garis samar tersebut.Â
Ketika kita memandang anak sebagai individu, itu akan membuat proses pendidikan yang kita lakukan berbeda dibandingkan jika kita memandang anak sebagai kertas kosong. Dengan memandang anak sebagai individu, kita lebih melibatkan anak dalam proses pendidikan untuk dirinya sendiri; kita mendengarkan dan memperhatikan pendapat mereka serta menjadikannya sebuah hal yang penting dalam proses pendidikan anak.
Jika kita meyakini bahwa fungsi utama pendidikan adalah mengeluarkan potensi-potensi yang dititipkan Tuhan pada anak-anak kita, maka kita akan menempuh rute dan nilai-nilai yang berbeda dalam mendidik anak-anak kita , Mendidikan anak harus dengan ketelatenana, kesabaran dan kasih sayang seperti halnya kita menanam.Â
Pandangan Ki Hadjar Dewantara mengenai Pendidikan diibaratkan seperti kita menanam padi,dalam hal ini padi diibaratkan olehnya seperti anak (murid) dan petani sebagai guru yang menyebarkan benih atau bibit padi, tidak bisa memaksakan tanaman padi menjadi tanaman lainnya. Hal tersebut juga dimaksudkan kepada anak-anak yang sudah mempunyai minat dan bakatnya masing-masing, tidak bisa dipaksa untuk menjadi apa yang diinginkan oleh guru atau orang tua untuk tujuan tertentu.Â
Beliau juga menegaskan bahwa petani tidak boleh membedakan darimana asal padi, pupuk, dan hal lainnya, karena minat anak begitu beragam dan berbeda-beda, namun mempunyai hak yang sama untuk tumbuh dan berkembang menjadi anak yang cerdas atas kemauannya sendiri.
Metode pembelajaran yang di kenalkan KHD saat itu adalah menggabungkan unsur pancaindera dan permainan karna kedua metode pembelajaran ini juga dikenalkan oleh Montessori dan Frobel namun keduanya hanya menggunakan salah satu yang menjadi titik beratnya, jika Montessori menitik beratkan pada pelajaran panca indra, hingga ujung jari pun dihidupkan rasanya, menghadirkan beberapa alat untuk latihan panca indra dan semua itu bersifat pelajaran.Â
Anak diberi kemerdekaan dengan luas, tetapi permainan tidak dipentingkan, lain halnya dengan Frobel yang mengutamakan permainan anak-anak, kegembiraan anak, sehingga pelajaran panca indra juga diwujudkan mengadi barang-barang yang menyenangkan anak.
Namun, dalam proses pembelajarannya anak masih diperintah. Taman Siswa bisa dikatakan memakai kedua metode tersebut, akan tetapi pelajaran paca indra dan permainan aka itu tidak dipisah, yaitu dianggap satu. Sebab, salam Taman Siswa terdapat kepercayaan bahwa dalam segala tingkah laku dan segala kehidupan anak-anak tersebut sudah diisi Sang Maha Among (Pemelihara) dengan segala alat-alat yang bersifat mendidik si anak.
Menurut KHD Pendidikan harus bersifat holistic sehingga penekanan pembelajaranaanya bersifat menyeluruh baik jiwa maupun raga, murid tidak hanya di munculkan kecerdasan kognitifnya saja namun juga afektif dan psikomornya juga bisa terasah dengan baik.
Selain holistic Pendidikan juga harus bersifat kontekstual dan berpusat pada siswa, menjunjung kearifan local dan mendekakan lingkungan terdekat siswa sebagai bahan pembelajaran sehingga siswa dapat meneksplorasi pembelajaran dengan melalui pengalaman belajar dan pembelajaran bermakna diharapkan dapat melahirkan profil pelajar Pancasila yang mempunyai nilai-nilai yakni beriman, bertakwa kepada Tuhan YME, mandiri, berpikir kritis, kreatif, bergotong royong, dan berwawasan global.Â