Mohon tunggu...
Referensi Wildan
Referensi Wildan Mohon Tunggu... Insinyur - Menulis untuk akal sehat

Sedang berlayar

Selanjutnya

Tutup

Money

Apakah 212 Mart Bangkrut? Waktunya Ganti Nama!

2 Desember 2020   22:14 Diperbarui: 3 Desember 2020   06:16 6123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Apa yang terbayang dalam benak anda ketika saya mengatakan 212?

Sebuah geng yang kerjaannya demo? Organisasi politik yang ingin menurunkan presiden? Atau sebuah gerakan kebangkitan umat?

Apapun jawaban anda, mari kita tengok sebentar sebuah survey menarik yang dilakukan oleh Goodfirm.co. Survey ini dilakukan pada 114 responden marketing dari berbagai industri dan bisnis.

Goodfirm mempertanyakan, apakah sebuah merek harus mengambil posisi politik? 63.2% atau mayoritas responden mengatakan harus.

Responden berpendapat bahwa konsumen lebih mudah menghabiskan uang untuk merek yang berani mengekpresikan pilihan politiknya. Jika sejalan, setiap kali menghabiskan uang untuk merek tersebut, konsumen merasa telah melakukan amal kebajikan. Hal ini diperkuat dengan hasil survey lain dari consumer culture report yang menyatakan bahwa 85% millenial lebih memilih merek yang sejalan dengan nilai-nilai yang mereka yakini.

Contoh dalam kasus AirBnB. Ketika Trump menandatangai keputusan untuk tidak memberi ijin masuk para pengungsi, AirBnB menunjukkan sikap berbeda dengan kampanye "We Accept". Kampanye ini sukses mendongkrak pemasukan sekaligus mengembalikan nama baik AirBnB. Yang sebelumnya sempat tercoreng kasus diskriminasi ras.

Maka dari survey ini, saya memahami kenapa kemudian ada sebuah toko kelontong yang dinamai 212 mart. Kok berani sekali? Apa nilai yang yang hendak ditawarkannya kepada konsumen? Saya meraba kemungkinan ada 3 nilai yang ditawarkan 212 mart. Keadilan, gotong royong, dan kesalehan.

Pertama, keadilan. 212 mart mewajibkan setiap cabangnya untuk menyediakan space bagi UKM sebesar 20%. Sekalipun minimalis, hal ini tidak pernah ditawarkan oleh toko kelontong lain seperti Alfamart dan Indomart.

Kedua, gotong royong. Ini keren sekali. Konsepnya adalah toko milik anggota, dikelola anggota dan produk dibeli oleh anggota.

Ketiga adalah kesalehan. 212 mart konon tidak menjual rokok dan minuman keras. Ia juga tutup ketika adzan berkumandang.

Ketiga nilai inilah yang saya yakin menjadi nilai tawar bagi 212 Mart. Namun ada yang menggelitik saya. Ternyata, meski dengan nilai yang sedemikian hebat, ternyata perkembangan 212 mart tidak sebaik saingannya. Padahal seharusnya tawaran nilai ini sangat menarik bagi Muslim yang mayoritas. Tapi kenapa sulit berkembang?

Per 2018 Gerai 212 mart tercatat hanya 207 buah dimana 192 gerainya ada di Jabotabek. Saya belum mendapat data update di situs resminya. Namun, yang saya baca di internet justru sepi dan bangkrutnya beberapa cabang 212 mart. Datanya memang perlu divalidasi. Namun, jika benar, ada apa ini?

Jika berdasar pada penelitian mengenai daya tarik nilai tadi, kita bisa melihat nilai di 212 mart akan saling bertentangan.

Di nilai yang pertama, 212 mart menawarkan keadilan bagi UKM. Ini benar. Namun ia menjadi invalid karena pegiat 212 begitu getol meneriakkan sentimen rasis yang tidak adil pada kaum minoritas. Mereka juga dengan tidak adil seenaknya melabeli seseorang atau kelompok yang tidak sejalan dengan istilah antek asing, antek aseng, kafir, dan berbagai kosa kata tak pantas lainnya. 

Di nilai kedua, 212 mart menawarkan gotong royong. Tapi dilain sisi demo-demo yang dilakukan banyak mengganggu aktifitas masyarakat. Ia menimbulkan kemacetan. kerusakan fasilitas umum, rasa tidak aman dan menjadi pemicu terjadinya perpecahan antar golongan.

Dinilai ketiga, 212 mart menawarkan kesalehan. Tapi lain sisi, pegiat 212 banyak menyebarkan berita-berita bohong atau hoax untuk mengarahkan massa. Saya masih bisa memaklumi perilaku nyinyir dan negatif campaign. Tapi kalau membuat dan menyebar hoax, bukankah itu kelakuan iblis, akhi?

Jadi menurut saya, sudah tepat 212 mart itu mengambil sebuah sikap politik. Namun, ia jadi bermasalah jika merek yang dipakai adalah 212. Ia bisa terasosiasi dengan nilai keadilan sekaligus ketidak adilan. Ia bisa menjadi simbol gotong royong sekaligus simbol kerusakan dan ketidak nyamanan bagi masyarakat. Terakhir ia seakan menjadi perlambang sebuah kesalehan, namun palsu.

Dengan begitu banyaknya nilai yang bertabrakan, 212 jelas sangat tidak tepat dijadikan nama toko kelontong. Jika boleh usul, dengan segala kerendahan hati, mbok ya diganti saja namanya. Nama apapun boleh. Asal tidak 212. Eman-eman.

Apalagi, saya lihat gerakan 212 belum ada tanda-tanda akan melakukan strategi politik etis nan islami dalam season ini. Bau anyir hoax, ujaran kebencian dan politik identitas rasanya masih akan jadi senjata andalan. Demikian juga kubu lawannya. Angel angel...

Referensi

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun