Ada dua  soal  balapan yg jika ditanyakan, kita bisa jawab tanpa harus googling :  Siapa Michael Schumacher dan siapa Valentino Rossi.Tapi coba jika ganti pertanyaan, sebutkan siapa juara formula E dalam 3 tahun terakhir? Kebanyakan orang akan pasti akan geleng kepala dan pakai mbah google buat menjawab.
Ya, Formula 1 dan moto GP memang sebuah perhelatan olahraga prestisius,dramatik dan menegangkan, tak heran jadi bergengsi pula ketika suatu negara bisa masuk sebagai penyelenggara balapan. Mahal?? relatif..hitung saja berapa devisa kita tersedot tiap tahun ke singapura karena ribuan orang kita berbondong menyaksikan balapan F1 sirkuit jalan raya Marina bay Singapura, atau sekarang kita tahu bahwa Baku di Azerbaijan bukan hanya sekedar dikenal pernah melahirkan pecatur genius Garry Kasparov, tapi juga kota kosmopolit di tepi laut kaspia yang berani bikin balapan F1 di jalan raya. Tidak  usah kita tanya lagi bagaimana Valencia, apalagi Monaco diuntungkan bikin F1 di sirkuit jalan raya.
Bagaimana dengan Fomula E ? Ya itu tadi, anda harus butuh googling untuk tahu soal seluk beluk lomba balap mobil listrik di dunia. Artinya, secara prestise, posisi Formula E jelas jauh dibawah F1 dan Moto GP. Jadi, akan banyak pertanyaan yang harus dijawab oleh Gubernur DKI Anies Baswedan terkait dengan sikapnya yang seolah ngotot bahwa bahwa balapan Formula E harus dilaksanakan apapun yang terjadi.
Kengototan itu tercermin mulai dari gedenya total anggaran 1,6 trilyun -- di tengah-tengah Jakarta dikepung banjir terburuk -- maupun kenekatan menabrak beberapa aturan terkait keberadaan Monumen Nasional ( Monas) sebagai salah satu cagar budaya dan Ruang Terbuka Hijau.
Formula E ini jelas proyek rugi, jika toh dalam feasibility study ada hitungan keuntungan, itupun kemungkinan besar hanya keuntungan perkiraan yang jelas jauh dari 1,6 trilyun. Ini persis kayak  logika bikin perusahaan start up, biarpun rugi asal nilai valuasinya naik, dengan alasan ada intangible asset,  yang diperoleh dari penyelenggaraan balapan tersebut.
Maka sejak dari awal  Anies "pagari " dulu tujuan bikin formula E ini, adalah soal memperkenalkan isu lingkungan dan kampanye mobil listrik, bukan soal bisnis. Dengan memakai isu lingkungan dan mobil listrik, akan lebih mudah menjelaskan ke BPK maupun auditor mengapa Formula E itu merugi. Problemnya, untuk merebut intagible asset itu, identik ama bakar duit, ketidakpastian resiko, jangka panjang dan bisa jadi rugi besar.
Masayoshi Son, pemilik raksasa angel investor softbank untung besar dari investasinya di Alibaba, tapi juga rugi milyaran dollar atas investasinya di wework dan Uber. Alih alih jika rugi, Son pakai uang investor, Formula E ini pakai duit APBD di tengah- tengah Jakarta yang terkepung banjir paling buruk dalam sejarah.
Ukuran lain, jika Formula E ini menguntungkan dan meningkatkan intangible asset suatu kota atau negara dalam jangka panjang, pasti sudah jauh jauh tahun diambil Singapura, bukan ditawarkan  Jakarta. Artinya, secara nalar, tidak ada untungnya Jakarta menyelenggarakan balap mobil Formula E.
Tapi mengapa Anies ngotot soal Formula E ini? Duitnya yang gede memunculkan spekulasi. Apakah balap mobil listrik ini bukan sekedar proyek kamuflase buat menutupi aksi akumulasi logistik untuk mendukung ambisi politik seseorang. Capres 2024 misalnya?
Mari berhitung, comittment fee awal DKI harus bayar 24,1 juta dollar setara 345 Milyar ke FIA. Jumlah itu naik 2 persen tiap tahun. Tahun 2020 ini, DKI harus membayar lagi biaya penyelenggaraan sebesar 22 juta pound atau 378,46 M dan 35 juta euro setara 556,22 milyar untuk asuransi. Total jenderal DKI harus setor 934 milyar ke FEO ( Formula E Organization) EO yang ditunjuk FIA sebagai promotor Formula E.
Selain itu, ada 306 Milyar penyertaan modal ke BUMD Jakpro, yang ditunjuk Pemprov DKI sebagai OC lokal penyelenggara Formula E, mulai dari membabat pohon-pohon di Monas sampai pengaspalan baru-baru ini.
Inilah operasi dimulai. Tidak ada makan siang gratis dalam duit 1,6 trilyun. Soal setoran ke FIA misalnya? Apakah benar-benar transparan?apakah organisasi olahraga meski berkaliber Internasional kebal dari skandal korupsi? Ingat, FIA dan FIFA ini salah satu badan olahraga yang tidak pernah sepi dari skandal.
Yang lain, setoran ke FEO untuk biaya penyelenggaraan dan asuransi. Ingat, Formula E ini masih bau kencur, posisi kota penyelenggara lebih kuat ketimbang regulator dan EO, terbalik dengan F 1. Dalam posisi ini, semua hal bisa terjadi dalam negosiasi, apalagi ngomong soal asuransi, dimana praktek fee keagenan adalah legal dan sah.Â
Asuransi ini komponen biaya paling gede, 556 Milyar !!. Sebuah praktik lumrah dalam dunia asuransi, seorang atau institusi menerima fee 20 % atas premi apabila melakukan closing nasabah asuransi jenis apapun. Jika 10 % saja, hitung saja berapa feed back yang didapat " agen" dari proses transaksi jumbo ini, kan??
Penunjukan BUMD Jakpro selaku pelaksana lokal juga sudah dihitung matang. Lewat Pergub penugasan, maka Jakpro akan mudah mendistribusikan Rp.306 milyar rupiah lewat berbagai proyek tanpa harus melalui mekanisme tender di Biro Pengadaan Barang dan Jasa. Dengan model begini, bukankah Anies lewat Jakpro bisa dengan mudah mengatur harga dan menunjuk siapa orang-orang yang "bisa" dilibatkan" untuk menggarap proyek persiapan dan penyelenggaraan Formula E?
Jadi sudah jelas, Proyek Formula E ini hanyalah kedok. Kedok semua aksi konspirasi mengumpulkan logistik buat memenuhi ambisi seseorang. Kedok itu begitu sempurna, namun juga kejam. Kejam karena mengorbankan jutaan warga DKI Jakarta yang jadi bulan-bulanan banjir.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H