Mohon tunggu...
Ida Hutasoit
Ida Hutasoit Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Editor

Menulislah dengan hati. Menulislah karena cinta. Niscaya tulisanmu berguna.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Lolos dari Lubang Maut

3 September 2021   19:58 Diperbarui: 3 September 2021   20:51 172
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Takkan pernah kulupa peristiwa naas yang terjadi di malam itu. Sepulang dari kantor, aku menyempatkan diri ke salon untuk memangkas rambutku yang sudah cukup panjang. Sebetulnya badanku sudah sangat lelah sehabis mengejar deadline kerja di kantor. Tapi karena jarak antara salon dan rumahku cukup dekat dan searah, jadi kupikir tak apalah mampir sebentar.

Selesai cukur, aku bergegas pulang ke rumah. Kupacu motor dengan kecepatan lumayan tinggi, tanpa helmet (Ini menjadi peringatan berharga: selalu kenakan helmet saat mengendarai sepeda motor). Entah karena badan yang penat atau pikiran sedang penuh, aku tak melihat lubang di depanku. Saat menyadarinya, cepat kubanting stang motor ke kanan untuk menghindar. Tapi tanya dinyana, muncul motor yang melaju dengan kecepatan tak kalah tinggi dari arah berlawanan. Bummm! Tabrakan keras pun tak terhindarkan!

Seketika tubuhku terpelanting dan mendarat di aspal. Motorku hancur, jaket dan celana jinsku sobek, tulang belakang patah dan kepalaku mengalami pendarahan hebat. Aku langsung tak sadarkan diri di tempat kejadian. Aku segera dilarikan ke rumah sakit terdekat oleh polisi yang datang tak berapa lama kemudian.

Khawatir aku belum pulang padahal hari sudah larut, adikku lantas menghubungi telepon genggamku. Adikku heran saat yang mengangkat orang lain. Dan makin terkejut saat diberitahu kalau aku berada di rumah sakit akibat kecelakaan. Mamaku pun sempat shok mendengar kabar itu!

 ANTARA HIDUP DAN MATI

Karena cedera yang cukup parah, pihak rumah sakit tidak berani mengambil tindakan apa pun. Padahal dari kepalaku darah tak henti mengucur. Barulah setelah keluargaku muncul, aku ditangani. Mereka meminta keluargaku selekasnya mencari donor darah karena rumah sakit kehabisan stok. Saat mencari ke PMI, ternyata persediaan golongan darah O di sana pun sedang kosong. Untunglah akhirnya ada orang yang bersedia mendonorkan darahnya buatku.

Dari rontgen dan CT-Scan, ditemukan pendarahan yang cukup luas di bagian kepalaku. Aku terus merintih kesakitan. Sampai akhirnya aku tak sadarkan diri, dan kemudian dinyatakan koma. Menurut medis, kesadaran normal manusia berada di angka 15-12. Sementara aku berada di bawah 5. Dokter pun memvonis, besar kemungkinan aku tidak akan mampu bertahan.

Aku mesti segera dimasukkan ke ruang ICU (Intensive Care Unit). Tapi lantaran di rumah sakit itu tidak ada ruang ICU, aku dirujuk ke rumah sakit lain. Tanpa membuang banyak waktu, keluarga dan teman-temanku bergegas mencarinya.  Namun setelah menjelajah hampir ke semua rumah sakit, hasilnya nihil karena semua ruang ICU terisi penuh.

Terpujilah Tuhan! Keesokan siangnya, RS. Mitra Kemayoran Sunter mengabarkan ada satu tempat tidur kosong di kamar ICU mereka. Sesampainya di sana, aku kembali di-CT Scan oleh dokter ahli syaraf. Hasilnya, aku harus segera dioperasi. Kalau tidak, nyawaku bakal terancam. Tapi keluargaku bingung dengan biayanya yang sangat besar. Uang darimana?

Kondisiku kian buruk dan kesadaranku terus menurun. Entah berapa banyak selang yang menempel di tubuhku. Sewaktu di CT Scan ulang, sebagian otak sebelah kananku terlihat menghitam. Menandakan adanya kerusakan yang cukup parah. Dokter katakan kemungkinanku untuk hidup amat kecil. Kalau pun aku sadar, bisa dipastikan aku akakn cacat dan sebagian besar memoriku akan hilang.

Ada dua pilihan yang diperhadapkan keluargaku: operasi atau cabut selang. Kalaupun operasi, peluang berhasilnya hanya 50:50. 50 persen hidup tetapi cacat fisik, 50 persen meninggal dunia. Setelah berunding, dengan berat hati papa mama memutuskan untuk tidak melakukan tindakan operasi. Mereka tidak tega melihatku cacat nantinya. Mereka pasrahkan hidup matiku pada Tuhan. Kalaupun Tuhan mau sembuhkan, biarlah itu dilakukan dengan mukjizatNya.

Aku yakin itu adalah keputusan tersulit yang pernah mereka buat. Karena menurut cerita mamaku, papa yang amat jarang meneteskan air mata, sampai menangis keras lantaran harus menempuh jalan itu.

 MUKJIZAT ITU ADA!

Teman-teman gereja makin banyak yang berdatangan ke rumah sakit. Pada suatu Minggu, pukul 3 pagi, keluarga dan teman-teman sengaja berkumpul. Mereka saling bergandeng tangan, membentuk lingkaran dan menaikkan pujian penyembahan. Tanpa mereka sadari, di saat yang bersamaan Tuhan mulai mengerjakan mukjizatNya atas tubuhku.  Jari-jari tanganku mulai bergerak dan mataku perlahan terbuka.

Saat menerima kabar kalau aku sudah sadar, keluargaku sempat tidak percaya. Apalagi selang nafasku saat itu sudah dicabut. Akhirnya teman-teman dan keluargaku berhamburan ke ruang ICU untuk melihat dengan mata kepala mereka sendiri. Di saat itulah mereka menyaksikan bahwa mukjizat Tuhan itu benar-benar ada!

Hari ketiga di ruang ICU, kondisiku berangsur membaik. Ajaibnya, dan ini sangat kusyukuri, aku masih mengenali wajah dan nama orang-orang yang datang menjengukku. Apa yang dokter ucapkan kalau aku akan hilang ingatan, sama sekali tidak terbukti! Maha besar kuasa Tuhan Yesus! Hari keempat, aku dipindahkan ke ruang HCU (High Care Unit), dan tak lama pindah ke ruang perawatan biasa.

Sekitar 2 minggu aku berada di rumah sakit. Waktu yang cukup singkat untuk kasus cedera berat seperti aku. Kesembuhanku jelas mukjizat Tuhan! Bagaimana tidak, aku yang menurut dokter harus dioperasi dan setelah operasi pun akan menderita cacat, tetapi Tuhan justru perlihatkan tanpa operasi aku bisa sembuh! Pekerjaan tangan Tuhan memang sungguh mengagumkan!

Allah adalah Jevova Jireh, itu aku percaya. Biaya perawatan dan pengobatanku selama di rumah sakit nominalnya sangat besar. Secara manusia, keluargaku tidak mungkin sanggup. Tetapi berkat Tuhan mengalir pada keluargaku lewat gereja, teman-teman dan tempat aku bekerja. Mereka menggalang dana sehingga keluargaku mampu melunasi tagihan rumah sakit. Sungguh, aku berterima kasih atas doa dan bantuan yang mereka berikan.

Sekarang aku semakin percaya, mukjizat itu benar ada. Aku ingat khotbah pendeta di gerejaku, Pak Wiryo, jika ingin alami mukjizat kita mesti bersedia lebih dulu melewati ujian. Dan lucunya sebelum peristiwa yang kualami, aku pun kerap membagikan kebenaran itu pada teman-teman di CC Youth.  Tak kusangka, justru aku sendiri yang langsung diperhadapkan.

Namun ujian berat yang Ia izinkan untuk kulewati, justru membuatku bisa menikmati berkat Tuhan yang luar biasa. Besarnya jauh melebihi ujian itu sendiri. Aku sungguh mengalami kasih dan kuasaNya yang sempurna.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun