Mohon tunggu...
Ida Hutasoit
Ida Hutasoit Mohon Tunggu... Penulis - Penulis. Editor

Menulislah dengan hati. Menulislah karena cinta. Niscaya tulisanmu berguna.

Selanjutnya

Tutup

Lyfe

KEEGOISAN MENGHANCURKAN RUMAH TANGGAKU

22 Maret 2021   23:52 Diperbarui: 23 Maret 2021   22:56 164
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Lyfe. Sumber ilustrasi: FREEPIK/8photo

Hampir sepuluh tahun hidup pernikahan Isnandar dan Novi bagai neraka. Pertikaian, kekerasan, bahkan pengkhianatan mewarnai perjalanan rumah tangga mereka. Di tengah keputusaasaan kedua pasangan ini, Tuhan turun tangan menolong dan memulihkan pernikahan mereka.

Saya dan istri menikah pada tahun 2001. Pernikahan kami diberkati di gereja, di saksikan keluarga besar masing-masing. Awalnya rumah tangga kami berjalan baik-baik saja. Seperti pasangan baru menikah umumnya, kami pun menikmati masa-masa bulan madu. Namun memasuki usia tiga bulan pernikahan, kami mulai sering cekcok. Hampir setiap hari saya dan istri terlibat pertengkaran. Pemicunya seringkali masalah-masalah sepele. Seperti lupa mematikan kran air atau mematikan lampu.

Saat marah, tak jarang saya melontarkan kata-kata kotor. Begitu pun kalau saya sedang punya masalah berat di kantor, sesampainya di rumah istri kerap saya jadikan pelampiasan amarah. Kalau emosi memuncak, tak segan saya melakukan kekerasan dengan memukul atau menendangnya.

Saat berhubungan intim, saya selalu menuntut istri mengenakan pakaian-pakaian seksi untuk merangsang birahi saya. Saat duduk di bangku SMA hingga kuliah, saya kerap menonton video porno. Saya juga senang berselancar ke situs-situs porno di internet. Makanya tak aneh setelah menikah saya menjadikan istri sebagai obyek pelepasan nafsu seks semata. Hal itu pada gilirannya membuat istri saya stres, bahkan depresi. Ia merasa dirinya tak berharga. Bayangkanlah, suami sendiri memperlakukan dirinya bak pelacur.

Setiap bulan saya hanya memberi istri uang belanja sebesar 500 ribu rupiah. Saya tak peduli uang itu cukup atau tidak. Istri saya terpaksa bekerja demi mendapat uang tambahan agar kebutuhan bisa tercukupi. Tapi sialnya, istri saya malah terlilit utang kartu kredit yang cukup besar, sampai-sampai kami tak sanggup membayar!  Akhirnya saya meminjam uang pada orangtua untuk melunasi semua tagihan kartu kredit.

Sampai suatu hari, saya mengetahui rahasia yang sangat mengejutkan sekaligus menyakitkan.  Istri saya kedapatan selingkuh dengan pria yang tak lain sahabat kami sendiri. Sebut saja namanya X. Mungkin karena istri saya sering mendapat perhatian dari X, sesuatu yang tidak pernah saya berikan padanya, istri saya pun jatuh ke pelukan lelaki itu. Jiwa saya benar-benar terpukul. Harga diri saya terluka berat. Padahal kalau saya mau jujur,  itu pun terjadi akibat kesalahan saya sendiri yang tak memperlakukan istri dengan baik. Tapi ego sebagai lelaki mematahkan akal sehat saya. Alih-alih mengakui kesalahan, lalu memperbaiki hubungan kami, saya justru menyudutkannya, dan memakai kesalahannya itu sebagai alasan untuk semakin membencinya.

Saya memintanya untuk segera memutuskan hubungan dan meninggalkan X. Di depan muka saya, ia memang menyanggupi. Tetapi di belakang saya mereka ternyata tetap menjalin hubungan. Betapa murkanya saya mengetahui hal itu. Dengan membabi buta dan tanpa ampun, saya pukuli istri saya sampai babak belur. Tak ayal ia  pun mengalami luka yang cukup serius. Lantaran takut dan tak tahan dengan perlakuan saya, istri saya lantas kabur dari rumah. Untuk beberapa waktu lamanya kami benar-benar putus kontak.

Beberapa bulan kemudian, saya jatuh sakit yang cukup serius. Mendengar kabar kalau saya sakit, istri saya pada akhirnya pulang ke rumah untuk mengurus dan mengantar saya ke rumah sakit. Meski dia sudah memperhatikan kebutuhan saya dan mendampingi saat saya sakit, tapi pandangan saya terhadap dirinya tak berubah. Buat saya ia tetaplah wanita murahan yang tak punya harga diri.  Betapa jahatnya saya bukan?

Pada saat anak kami berulang tahun, istri saya mengandakan pesta perayaan. Kami mengundang beberapa teman gereja dan kolega. Saya pikir keadaan rumah tangga kami mulai memperlihatkan titik terang. Saya berharap permasalah yang terjadi di antara kami selama ini akan menemukan jalan keluar. Tapi dugaan saya meleset. Usai acara ulang tahun, entah muasalnya apa, saya dan istri kembali bertengkar hebat. Saking hebatnya, malam itu saya memutuskan untuk pergi ke rumah orangtua saya dengan membawa anak dan pembantu kami. Keesokan harinya, ketika saya pulang ke rumah, saya tidak menemukan istri saya.  Lagi-lagi ia memutuskan untuk kabur dari rumah. Saya tak berupaya mencarinya. Saya pikir, nanti juga ia akan kembali seperti yang sudah-sudah. Tapi perkiraan saya meleset. Istri saya tak kunjung kembali. Bahkan semenjak itu saya tidak lagi mendengar kabar apapun darinya. 

Percobaan Bunuh Diri yang Gagal

Akhirnya yang saya takutkan terjadi. Istri saya melayangkan gugatan cerai. Saya sempat terkejut dan marah. Ingin rasanya saat itu saya mencari dia agar bisa membunuhnya dengan tangan saya sendiri. Tapi saya tahu itu tak mungkin saya lakukan. Jauh di dasar hati saya masih mencintai dan mengharapkan istri saya kembali.

Selama proses persidangan berlangsung, saya dilanda depresi. September 2010, surat keputusan pengadilan keluar. Kami resmi bercerai dan istri saya memenangkan hak asuh anak. Tak lama setelah perceraian, saya hidup di rumah orangtua. Dalam kesendirian, saya sering kepikiran untuk mengakhiri hidup. Saya memang punya materi karena orangtua yang kaya raya. Namun saya merasa kosong dan hidup seolah tiada guna. Itu membuat saya frustasi dan terus menerus menyalahkan Tuhan. Mengapa Ia izinkan semua ini terjadi? Saya juga merasa sepertinya tidak ada yang peduli dengan kesusahan dan kesedihan saya.

Setiap malam saya minum obat penenang dalam dosis tinggi. Bahkan beberapa kali saya mencoba bunuh diri lantaran tidak tahan dengan keadaan. Saya pikir kalau saya mati, semua orang, termasuk istri saya, tentu akan lebih tenang hidupnya. Saya mencoba gantung diri di pohon di halaman belakang rumah. Tapi anehnya saya selalu gagal. 

Di suatu malam, saya benar-benar tak bisa tidur. Saya lantas menyalakan televisi, berharap dengan itu kantuk bisa datang. Saat itu saya memilih tontonan "Solusi". Ini adalah acara yang menayangkan kesaksian orang-orang yang mengalami "berbagai keajaiban TUhan". Bukan suatu kebetulan kalau tayangan yang saya tonton saat itu menceritakan sebuah rumah tangga yang hancur, lalu Tuhan pulihkan. Tapi dasarnya saya orang yang congkak dan bebal, bukannya tersentuh dan sadar diri. Saya malah merasa iri dan kecewa, mengapa keluarga lain Tuhan selamatkan, sementara keluarga saya tidak? Sungguh itu tidak adil!

Di akhir acara, sang presenter mengajak pemirsa untuk berdoa. Entah mengapa secara spontan saya menaruh tangan di dada dan mengikuti doa itu. Saat sedang berdoa, saya menangis sejadi-jadinya. Airmata saya meluncur deras tanpa mampu saya tahan. Ada perasaan sesal yang begitu menyesakkan. Entah apa yang menjamah saya, seketika itu saya seperti disadarkan dengan dosa-dosa yang saya perbuat selama ini. Termasuk kesalahan demi kesalahan yang saya perbuat terhadap istri. Saya pun bersujud, memohon belas kasih dan ampunan Tuhan. Saya menaruh harapan TUhan akan buka jalan. Saya pun jadi rutin mengikuti acara televisi itu. Saya seperti diberi kekuatan sekaligus pengharapan bahwa masalah saya pun akan ada solusinya suatu saat nanti.

Pertolongan itu akhirnya datang juga! Suatu hari teman kantor yang tahu permasalah yang menimpa saya, menawarkan saya untuk ikut HMCC, sebuah seminar kerohanian untuk para pria yang ingin hidupnya dipulihkan. Awalnya saya ragu, toh istri saya sudah tak mencintai saya lagi. Toh, saya dan istri sudah berpisah. Jadi buat apa? Tapi entah mengapa, akhirnya saya menyetujui ajakan itu. Di tengah perjalanan sempat terlintas pikiran jahat. Saya berniat akan menelanjangi perbuatan istri saya yang sudah selingkuh, dan saya adalah korban yang perlu mendapat simpati serta dukungan. Saya seolah ingin memberitahu semua orang bahwa yang bersalah adalah istri saya, dan bukan saya.

Tapi Tuhan berperkara lebih dulu dengan saya. Di sesi pertama, saya sudah mengalami jamahan Roh Kudus. Belas kasihanNya turun atas saya, sehingga saya pada akhirnya bersedia mengampuni istri saya. Bukan hanya itu, kasih saya terhadap istri seperti dikembalikan.

Setelah peristiwa pemulihan rohani dan luka batin itu, Tuhan membukakan pintu-pintu yang tertutup selama ini. Tertutup karena dosa dan keegoisan yang saya perlihara. Tapi semenjak saya membuka diri dan menerima kasih Tuhan, hidup saya seperti dibarui setiap hari. Ternyata tanpa saya ketahui, bukan hanya saya saja yang Tuhan lawat. Tetapi kehidupan istri saya pun mengalami pemulihan. Saya mengetahuinya setelah Tuhan mempertemukan kami kembali dengan caraNya yang ajaib.

Kami mulai menjalin komunikasi kembali.  Selangkah demi selangkah kami berusaha memperbaiki hubungan yang selama ini telah retak. Memang tidak mudah. Kami melewati proses jatuh bangun yang acapkali menyakiti keakuan kami masing-masing. Tapi saya percaya, Tuhanlah yang akan menolong dan memampukan kami untuk merekatkan satu persatu serpihannya, hingga kami bisa disatukan kembali sebagai keluarga. TUhan akan membawa pernikahan kami kembali berjalan dalam rencanaNya yang indah. Mungkin bukan hari ini. Mungkin bukan sekarang. Tapi suatu hari nanti impian itu akan tergenapi di dalam waktu Tuhan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Lyfe Selengkapnya
Lihat Lyfe Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun